Penulis: Wafiq Azizah – Universitas Negeri Jakarta
Warna merah muda dengan sapuan manis krem menjadi pilihan warna si gadis untuk kamar pribadinya. Umurnya baru 10 tahun, tetapi kamar miliknya mungkin lebih besar daripada dapur di rumah itu. Seperempat bagian dari kamar adalah lemari pakaian, seperempat lagi adalah kamar mandi pribadi, seperempatnya lagi adalah kasur dengan warna merah muda agak sedikit ungu, dan seperempatnya lagi adalah rak dan meja belajar yang diisi dengan mainan. Berbagai jenis boneka dan mainan anak perempuan di kamarnya telah mengambil bagiannya masing-masing.
Setiap pulang dari sekolah, si gadis akan betah berlama-lama di kamarnya, semuanya karena ia memainkan mainannya sendiri. Sepanjang hari, ia tidak akan menemui kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. Itu sebabnya, ia tak punya alasan untuk berada di tempat selain kamarnya. Meskipun begitu, si gadis selalu punya caranya sendiri untuk mengungkapkan perasaannya.
“Mabel, kamu kesepian nggak kalau mama sama papa tinggal di rumah bareng Mba Icha aja?”
“Enggak, Mama. Aku selalu ditemenin boneka-bonekaku!”
Kelak, di saat mama dan papa harus pergi untuk beberapa hari yang lama dalam perjalanan dinas, mereka akan menghadiahkan boneka baru untuk Mabel. Boneka yang dimaksud bukanlah berbentuk karakter beruang atau anjing, melainkan sebuah Barbie. Mabel sudah mengoleksi banyak boneka Barbie di kamarnya. Ia bahkan memiliki rumah Barbie yang setinggi dirinya.
Mabel selalu menjaga semua mainannya dengan baik, terutama Barbie yang dimilikinya. Rasa sayang terhadap mainannya sebanding dengan rasa sayang terhadap kedua orang tuanya. Bagi pikiran anak seumuran Mabel, siapa saja yang menemaninya berarti menyayanginya.
Pada suatu waktu, Mabel harus ditinggal oleh mama dan papanya seperti biasa. Namun, mereka pergi tanpa pamit ketika Mabel sampai rumah setelah pulang sekolah dijemput sang sopir pribadi. Mabel merasa itu tak penting, tetapi jauh di relung hatinya, ia membutuhkannya. Hal itu terbukti tatkala malam harinya, Mabel tak bisa tidur. Sudah dua jam ia hanya mengganti-ganti posisi tidurnya. Akhirnya, ia putuskan untuk peluk salah satu boneka Barbie. Rambut Barbie itu berwarna merah, dengan pakaian piyama putih yang menutupi tubuhnya. Boneka itu ia coba peluk selama tidurnya.
Betapa benar firasat sang bocah yang pada paginya terbangun dengan boneka Barbie rambut merah yang masih berada di pelukannya. Akan tetapi, ia terbangun dengan kaki boneka itu yang patah di sebelah kiri. Kendati sedikit sedih, ia tidak memusingkannya. Ia pun bangun untuk sarapan sambil membawa boneka yang telah menemaninya semalaman itu.
“Neng Mabel kenapa bawa boneka? Tumben-tumbenan,” sapa Mba Icha sambil menyuapi Mabel sesendok nasi goreng.
“Dia udah nemenin aku semaleman, Mba! Jadi, buat hari ini, aku bakal mainan sama dia terus.”
Mba Icha yang mendengarnya pun memoles senyum tulus. Ia tahu Mabel sesungguhnya sedang kesepian, ia juga tahu Mabel tidak seperti biasanya.
Mabel menepati janjinya. Ia sungguh-sungguh bermain dengan boneka Barbie rambut merahnya itu selama seharian penuh. Ketika malam tiba, ia kembali tak bisa tidur dengan pulas. Lantas boneka yang sama Mabel coba peluk lagi agar ia mudah terlelap. Hal itu terus berulang sampai mama dan papanya pulang. Akan tetapi ketika keduanya sampai, yang ditunjukkan oleh Mabel adalah fakta bahwa kaki kanan, serta kedua tangan Barbie itu telah rusak pula. Jadilah Barbie itu buntung di tangan dan kakinya.
Mabel kira dirinya akan berhenti bermain dengan boneka buntung itu sebab dirinya telah bersama mama dan papanya di rumah. Usut punya usut, ia masih memainkan boneka itu. Berhari-hari, sampai rambut dari Barbie itu mulai rontok karena Mabel terus menyisirnya. Kala itu, Mabel bahkan tak menyadari bahwa dirinya sedang menyisir kepala Barbie yang botak. Ia baru menyadarinya ketika mamanya masuk ke kamarnya.
“Mabel, bonekamu udah rusak begitu kok masih dimainin?”
Mabel sontak terkejut dan saat ia sadar, kepala Barbie itu telah menggelinding dan hilang entah ke mana.
“Ih, Mama! ‘Kan, jadi ilang kepalanya!” teriak Mabel.
“Uh, maafin Mama, ya, sayang,” mama membalas sambil menghampiri Mabel untuk memeluknya, “nanti kita beli lagi, oke?”
“Oke, makasih Mama!”
Sungguh seribu sayang, tidak ada yang menerka sebelumnya bahwa itu akan jadi awal berubahnya perspektif bocah perempuan yang merupakan anak semata wayang di keluarga kecil itu.
Tidak lama lagi, mama dan papanya akan menghadiahkannya boneka Barbie edisi terbaru. Mereka kemudian akan menemani Mabel memainkan boneka barunya itu. Momen langka yang sulit Mabel dapatkan bersama kedua orang tuanya.
Selang beberapa lamanya, boneka Barbie Mabel kembali buntung kaki, tangan, dan kepalanya. Perihal yang diidamkan Mabel pun kembali terjadi. Ia dapat bermain bersama kedua orang tuanya dengan waktu yang begitu lama. Dari situ, Mabel seolah tercerahkan, bahwa agar bisa bermain bersama orang tuanya, ia harus dibelikan mainan baru. Itu berarti, ia juga harus berusaha untuk membuat orang tuanya membelikannya.
Sesuai dengan rencana, berbagai upaya Mabel lakukan untuk membuat mainannya rusak, dibelikan yang baru oleh orang tuanya, hingga bermain bersama mereka. Siklus itu terus dilakukannya demi menabung kenangan yang selalu ia impikan.
Hari demi hari Mabel siasati berbagai rencana membuat mainanya menjadi rusak. Ia sengaja mematahkan kaki atau tangan boneka Barbienya, mempreteli kepalanya, hingga membuang seluruh anatominya ke tong sampah.
“Tangan sama kakinya ilang nggak tahu ke mana, Ma.”
Hal itu terus dilakukan Mabel, tak peduli sudah berapa jumlah boneka yang dibeli dan rusak keesokan harinya. Karena sudah sering membeli boneka baru, orang tua Mabel mulai berubah pikiran. Mereka merasa telah memanjakan putri mereka satu-satunya. Akhirnya, di satu waktu mama dan papa Mabel berhenti membelikan mainan baru untuknya.
“Boneka Barbie aku udah rusak, nih, Ma!”
“Wah, iya bener rusak. Tapi kayaknya sekarang mama sama papa nggak bisa beliin kamu boneka Barbie lagi. Kita udah terlalu sering beli boneka Barbie juga, nih. Nggak apa-apa, ya?” balas mama Mabel dengan pertanyaan yang menghendaki afirmasi segera.
Nyatanya, yang diajak bicara hanya merengut. Mamanya tidak melanjutkan negosiasi dan hanya mengelus pucuk kepala Mabel sebentar untuk kemudian pergi. Mabel masih diam, tetapi langkahnya membawanya menuju kasur. Di atas kasur, ia terbaring menatap langit-langit kamar. Setelah menatap ke atas selama beberapa waktu, Mabel melihat ke arah kanannya, seluruh mainan ada di sana, termasuk boneka Barbie rusak yang memang sengaja ia rusak.
Perlahan-lahan, Mabel terisak. Ia menangis tanpa suara yang mampu terdengar hingga keluar kamar. Rasanya ada yang salah dengan dirinya. Kenapa ia harus begitu sedihnya hanya karena mamanya tidak mau membelikannya mainan yang baru? Apa sebaiknya ia tidak dengan sengaja merusak boneka Barbienya? Karena tak kunjung bisa memberikan jawaban atas pertanyaan itu, Mabel semakin terisak. Matanya lelah, sampai ia akhirnya terlelap di jam 1 siang.
Ketika Mabel membuka matanya, ia tak lagi berada di atas kasur. Ia terperangkap di dalam kotak berwarna merah jambu dengan plasti bening di depannya. Tampak seperti … kotak kemasan Barbie! Mabel terkejut bukan main. Ia kemudian melihat ke sekitarnya, dan seluruhnya menjadi raksasa, termasuk kasur yang tadi ia tempati. Ia menggerutu oleh sebab dirinya yang menjadi mainan begitu saja. Setidaknya menjadi mainan boneka Barbie lebih baik daripada mainan jenis lain.
Tanpa sadar, ternyata kotak kemasan yang ditempati Mabel seakan bergoncang dan sedang dibuka. Seorang bocah mengambil tubuh Mabel kemudian menyisirnya. Setelah cukup lama ia perhatikan, ternyata bocah yang mengambil tubuhnya adalah Mabel versi raksasa. Ia mulai gamang. Tak tahu mana dirinya yang asli.
Ia begitu takut, merasa telah menduga apa yang akan dilakukan oleh Mabel Raksasa selanjutnya. Mabel pun terkesiap. Ia dimainkan oleh Mabel Raksasa selayaknya ia memainkan boneka Barbie. Sepanjang hari berjalan lancar tanpa hal buruk terjadi. Namun, keesokan harinya semuanya berubah.
Mabel Raksasa mulai bermain dengan kasar. Ia banting-banting terus tubuh Mabel. Mabel merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya. Ia mual, tetapi seluruh tubuhnya juga dipenuhi nyeri. Belum selesai rasa sakit dari dibanting, Mabel merasakan sesuatu yang tajam menyentuh betisnya. Rupanya, Mabel Raksasa sedang memotong kakinya. Di saat itu, Mabel ingin kabur sekarang juga. Akan tetapi, semuanya tak pernah berhasil. Mabel mulai merasakan kesakitan yang luar biasa saat kakinya dipotong menggunakan gunting. Hari itu berakhir.
Di hari selanjutnya, Mabel Raksasa kembali memainkan Mabel. Kali ini, kaki satunya yang digunting. Rasa sakit dari sehari yang lalu masih membekas, sementara muncul rasa sakit yang baru. Mabel pasrah, laksana tak berarah.
Hari silih berganti, Mabel Raksasa masih memainkan Mabel, tetapi lebih seperti memutilasinya hidup-hidup. Hanya saja tak ada darah, tulang, dan otot. Walaupun begitu, Mabel merasakan perih dan sakit yang dahsyat. Saat ini, giliran tangannya. Begitu pula hari esok, tangan kanan satunya menjadi target selanjutnya.
Mabel Raksasa ternyata belum membiarkannya sampai di situ. Di hari esoknya lagi, Mabel Raksasa kembali mengambil Mabel. Tahu-tahu, tangannya mengarah ke kepalanya. Di detik itu juga, Mabel mulai merasakan perasaan sakit yang mencekik di sekitar kepala. Kepalanya perlahan dicopot oleh Mabel Raksasa kemudian dibuang ke sembarang arah. Ia masih merasakaan sakit di lehernya. Rasa sakit itu begitu kuat, sampai ia tersedak secara tiba-tiba.
Mabel kembali membuka matanya. Yang baru saja terjadi rupanya adalah mimpi. Mimpi yang begitu realistik sampai Mabel ketakutan untuk sengaja merusakkan boneka-boneka Barbienya lagi. Mabel pun beranjak ke luar dari kamar hendak melanjutkan pembicaraan dengan mamanya.
Tanpa Mabel ketahui, ada salah satu Barbie yang kaki, tangan, dan kepalanya berserakan di lantai. Barbie itu memakai pakaian yang sama dengan Mabel, sebuah kaos berwarna kuning dan rok denim yang melingkari pinggangnya.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.