Majalah Sunday

Ngoik! Ngoik!

Penulis: Salsabila Azahra – Universitas Negeri Jakarta

Waktu makan tiba. Bapak Peternak dan anaknya menyajikan makanan untuk kami. Secara tampilan, makanan ini biasa saja. Warnanya cokelat, bentuknya pipih kecil-kecil, tidak ada yang menarik. Bahkan, beberapa kali Bapak Peternak memberi kami makanan yang lembek. Tapi menurutku rasanya tetap enak. Kadang seperti rasa bayam, kangkung, atau jagung. Yang kali ini aku makan rasanya seperti pisang meskipun bentuknya tidak.

Aku makan dengan lahap. Moncong hidungku belepotan makanan ini, tapi aku tidak bisa mengusapnya. Sulit makan dengan elegan sebagai babi. Hidungku terlalu panjang dan terlalu menempel dengan mulut. Ditambah lagi aku tidak punya tangan. Jadi biar sajalah makanan yang menempel di beberapa area wajahku ini. Toh, nanti setelah makan pun Bapak Peternak akan menyiram kami. Jadi untuk apa menahan diri makan dengan anggun?

Hidup sebagai babi di Indonesia tidaklah mudah. Bagaimana cara Pigu si babi ternak bertahan hidup? Baca kisahnya dalam cerpen "Ngoik! Ngoik!"
Pigu si babi ternak

Bapak Peternak berkeliling kandang memandangi kami makan. Senyumnya tersemat di bibir sambil sesekali mengelus kepala kami. Kandangku berada di paling ujung jadi kepalaku belum dielusnya. Saat ia sudah berada di depan mataku, tangannya terangkat siap mengusap kepalaku dengan sayang. Namun, tangannya mengambang di udara. Lalu diturunkan kembali. Ia segera menghampiri lima orang yang baru sampai di kandang.

Aku tidak yakin kelima orang itu datang dengan maksud baik. Raut wajah mereka seperti mengajak permusuhan. Sang Pemimpin yang berada di paling depan berdiri dengan kaki terbuka, dahinya berkerut, dan alisnya hampir menyatu saat matanya mengamati kandang. Bapak Peternak berhadapan dengan Sang Pemimpin, keempat orang lainnya mengelilingi mereka. Posisi kandangku yang strategis memudahkanku menguping pembicaraan enam laki-laki itu. Beberapa kali aku mendengar mereka menyebut masalah izin peternakan. Bapak Peternak berkali-kali mengatakan bahwa peternakan ini memiliki izin, bahkan ia bersedia menunjukkan surat izin yang dimilikinya.

Perdebatan mereka tidak berlangsung lama. Kelima tamu itu meninggalkan peternakan dengan muka yang jauh lebih jelek dari saat mereka datang tadi. Bapak Peternak bergegas masuk ke rumahnya, ia tidak kembali ke kandang untuk mengusap kepalaku yang belum sempat dilakukannya.

Besoknya, kelima orang itu datang lagi, dengan hampir separuh warga desa. Mereka meneriakan bermacam-macam kalimat. Beberapa yang bisa tertangkap telingaku berbunyi, “Tutup peternakan babi,” atau “Babi haram tidak boleh ada di kampung ini.”

Bapak Peternak kewalahan menyambut tamu yang tiba-tiba datang itu. Aku tidak paham apa yang sedang terjadi saat ini. Namun, sudah pasti tamu-tamu itu tidak datang dengan damai. Jelas sekali mereka menatap para babi dengan jijik, apalagi kandangku yang paling terlihat oleh mereka.

Semakin lama tamu itu di peternakan, semakin panas pula suasananya. Salah satu laki-laki yang kemarin ikut mengelilingi Bapak Peternak dan Sang Pemimpin menendang bambu yang terpalang secara horizontal di kandangku. Bambu itu patah. Jika aku tidak sigap menghindar, mungkin ujung bambu yang runcing akan mengenai perut buncitku. Aku berteriak kencang, tetapi tentu saja orang-orang itu hanya mendengarnya sebagai suara babi yang menjijikan.

Mereka mulai menyerang kandang babi yang lain. Para babi mulai terusik, “Ngoik! Ngoik!” suara kami memenuhi peternakan. Tidak semua tamu itu kebagian merusak kandang, beberapa sedikit melerai dengan takut-takut, sisanya diam saja.

Setelah kejadian pagi itu, Bapak Peternak tidak bisa mempertahankan kami. Peternakan ditutup, para babi dijual ke peternak lain di luar kota. Kami digiring masuk ke truk oleh dua laki-laki yang baru aku temui hari ini. Langkah pertama keluar dari kandang, aku merasakan angin segar yang belum pernah kuhirup. Langit begitu cerah, seolah-olah matahari menyambutku di luar kandang. Pepohonan di luar peternakan melambai-lambai memanggilku. Keempat kakiku yang pendek melangkah dengan ringan mengikuti hembusan angin, menghampiri pepohonan yang menari.

Aku mendengar suara teriakan di belakang, memanggil namaku. Pigu kembali! Angin semakin kencang membawaku ke pepohonan. Tanpa sadar, kakiku pun berlari semakin cepat. Masih dengan suara teriakan di belakang. Babi itu kabur, sialan!

Kakiku baru berhenti lari saat memasuki hutan. Suara teriakan di belakangku tidak lagi terdengar. Suasana di sini benar-benar sejuk, aku dikelilingi pepohonan. Di peternakan, Bapak Peternak selalu menyiram kami agar kami tidak kepanasan. Di tempat ini aku tidak perlu menunggu siraman air dari Bapak Peternak.

Suara derap langkah menggangguku menikmati hembusan angin. Tiga babi hutan muncul dari sela-sela pepohonan. Mereka berwarna hitam, berbeda denganku yang berwarna merah muda.

Hidup sebagai babi di Indonesia tidaklah mudah. Bagaimana cara Pigu si babi ternak bertahan hidup? Baca kisahnya dalam cerpen "Ngoik! Ngoik!"
Babi hutan, kawan baru Pigu

“Siapa kau? Tidak pernah aku melihatmu di hutan ini,” Babi Sedikit Tinggi bertanya seraya mengendus-endus tubuhku.

“Pigu. Babi ternak,” jawabku dengan percaya diri.

“Oh, babi elite rupanya!” Babi Moncong Pendek sedikit tertawa saat mendengar jawabanku. Aku tersinggung dengan jawabannya. Memang apa bedanya babi ternak dan babi hutan? Kami semua babi, hewan berhidung besar, hanya warnanya saja yang berbeda. Meskipun sambutan mereka membuatku sakit hati, tetapi mereka memperbolehkanku bergabung. Aku berkelana keliling hutan dengan ketiga babi hutan itu. Mereka mengajariku banyak hal, termasuk berkubangan di lumpur. Di peternakan, kami tidak pernah bermain lumpur. Bapak Peternak selalu menyiram tubuh kami agar tetap lembab.

“Kau memang babi elite,” Babi Moncong Pendek mengatakan itu lagi.

Hidup di hutan begitu menyenangkan. Aku lebih bebas, bisa memakan apa pun yang kumau. Udara di sini pun jauh lebih segar daripada di peternakan. Hingga suatu pagi, kami berlari sekencang mungkin. Menaruh nyawa di empat kaki pendek yang terus bekerja keras. Di belakang kami, tiga orang pemburu mengejar dengan tombak di tangan. Perut Babi Kepala Botak terhantam tombak. Kami bertiga—sebagai babi yang tersisa—berteriak kencang. Berduka atas kepergian kawan kami yang pendiam.

Di peternakan, aku jarang menggunakan kakiku untuk berlari kencang. Jadi dalam kondisi seperti ini, sudah pasti aku berada paling belakang. Di depanku ada Babi Moncong Pendek dan yang paling depan tentu saja Babi Sedikit Tinggi. Para pemburu benar-benar berada di belakangku. Kedua kawan baruku berada jauh di depan. Mereka berbelok dengan cepat. Aku tidak siap dengan belokan yang tiba-tiba terguling ke jurang, menghantam ranting dan batu kecil di tanah. Selama beberapa detik kupikir hidupku sebagai babi sudah berakhir.

Aku menguatkan kakiku untuk kembali berjalan. Sepertinya aku terlempar dari hutan. Di depanku terpampang nyata aspal jalanan dan sesekali kendaraan lewat. Tidak ada lagi pemburu yang mengejarku, tapi aku terpisah dari kawan yang baru kukenal satu minggu itu. Aku tidak tahu mereka berhasil kabur dari cengkaraman pemburu atau malah tertusuk tombak. Membayangkan kemungkinan kedua saja aku ngeri.

Aku melihat gubuk kecil di seberang jalan, beberapa orang sedang bermain kartu. Laki-laki cungkring dengan rambut acak-acakan membanting kartu di tangannya, kemudian berdiri sambil berteriak.

“AH, BABI! KARTU SIALAN!” Aku terkejut mendengar teriakannya, dia memanggilku. Apa mereka tahu aku ada di seberang jalan? Apa mereka ingin menangkapku juga? Kaki pendekku segera membawaku pergi dengan langkah pelan. Rupanya ia belum sanggup berlari. Kehidupan di luar kandang ternyata tidak enak, benar-benar mengerikan. Aku rindu peternakan, Bapak Peternak, dan juga siraman airnya.

Aku tidak sadar saat mobil sedan hitam berhenti beberapa meter di depanku. Dua orang turun dari mobil, mengangkatku. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk memberontak. Aku sudah memasrahkan hidupku. Aku diletakan di kursi samping sopir. Mobil sedan ini begitu sejuk. Tidak terasa kupejamkan mata. Beristirahat sejenak sebelum dibawa entah ke mana. Saat membuka mata, aku tidak dapat melihat apa pun. Ruangan ini terasa sempit dan hanya ada sedikit udara. Tubuhku terasa aneh, tapi aku tidak tahu apa yang aneh.

Sedikit demi sedikit cahaya masuk ke ruang ini. Yang pertama kali kulihat adalah seorang gadis. Ia mengenakan tanda pengenal dengan tulisan “WARTAWAN”. Belum selesai aku membaca namanya, ia berteriak kencang. Beberapa orang mengerubunginya, salah satu di antaranya melongok ke dalam ruang.

“Kepala babi…”

Detik itu aku baru sadar apa yang aneh dari tubuhku.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 6
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?