Majalah Sunday

Perjalanan yang Nyaris Menyudahi Usia Kami

Penulis: Muhammad Amin Azzaki – Universitas Sumatera Utara

“Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan…” tampaknya lirik pembuka dari lagu berjudul “Berita kepada kawan” karya Robert G. Ade ini cocok untuk menggambarkan pengalamanku. Perjalanan mendaki gunung tanpa izin orang tua yang nyaris menghabisi nyawa kami semua.

Kita semua paham kalo gunung bukan tempat sembarangan. Niat mau ngedaki Gunung, tapi tanpa izin orangtua. Endingnya jadi begini!

Salah satu gunung populer di Sumatera Utara.. (Pinterest)

Hari Sabtu, di bulan Oktober

Aku dan lima orang temanku berencana mendaki salah satu gunung populer yang ada di Sumatera Utara.

Mengingat hari Senin esok sudah kembali masuk kuliah, tapi niat buat mendaki gak padam juga, kami mutusin buat tektok. Jujur aku belum pernah ngedaki gunung. Jadi awalnya aku gatau apa itu tektok karena baru pertama kali dengar. Ternyata tektok adalah ketika kita ngedaki gunung tanpa nginap atau berkemah.

Sepulang kuliah, jam 1 siang, ngumpullah 6 orang mahasiswa bujangan ini di kos teman yang paling dekat. Kami membahas benda apa saja yang akan kami bawa, berapa duit yang harus kami kantongi, kendaraan apa yang akan kami naiki, dan berapa jam lamanya perjalanan ke sana.

Hasil pembahasan tersebut adalah; tas ransel yang isinya kamera, air minum, jaket dan makanan ringan; masing-masing 200 ribu rupiah; sepeda motor; lihat nanti.

Ya, di bagian berapa jam perjalanan, lihat nanti. dikondisikan dengan situasi lapangan.

Setelah pembahasan usai, aku baru ingat,

“Aku belum izin sama orang tua we.”

 

Teman-teman laknat ini memiliki berbagai jawaban,

“Seumur hidup aku ke mana-mana, gak pernah aku izin.”

“Udah besar, ngapain pigi kek gini aja pake izin. Macam mau meranto?”

“Kau tu laki-laki, potong b*r*ng kau kalo perkara izin kita gak jadi pigi.”

 

Sialan, pikirku.

 

Alhasil, aku nekat pergi tanpa memberitahu kedua orang tuaku. karena kalo izin dulu, kemungkinan besar pasti ga akan dikasih.

 

Beat karbu tua yang tinggal tulang.. (Pinterest)

Sekitar jam 6 sore, kami memulai perjalanan. dengan sepeda motor yang alakadarnya. 

Bersama Beat karbu tua dengan body terkelupas, minyak rem tinggal sedikit, oli yang belum diganti, dan lampu yang kadang hidup kadang mati, aku menantang jalanan terjal penuh kerikil ini.

Kondisi sepeda motor mereka tak jauh beda, namun punyaku adalah yang paling buruk.

Tanjakan yang tinggi membuat Beat karbu tua ini tak dapat melaju dan mengharuskan teman-temanku membantuku mendorongnya. Turunan curam yang muncul setelahnya membuat sol sepatuku makin tipis karena harus ngerem pake kaki. Kampas rem nyaris habis inilah yang bertanggungjawab atas ini semua. Kejadian ini terus menerus berulang hingga hari berubah jadi malam dan sepeda motor kami tak lagi dapat membersamai.

Kini, kami tinggal harus mendaki pake kaki. Kami melewati sebuah warung tempat para pendaki lain beristirahat, dan aku menyarankan agar kami semua berhenti sejenak, namun teman-teman laknat ini tidak mengindahkannya. Mereka ingin langsung melanjutkan pendakian sambil mengejar waktu.

tektok

Pendakian dengan hanya satu buah senter.. (Pinterest)

Gelapnya malam yang menutupi jalur pendakian berusaha. kami tembus hanya menggunakan sebuah senter yang cukup terang . Pun demikian, kami tetap melanjutkan perjalanan dan mulai mendaki gundukan tanah liat yang dilumuri kerikil beraneka ukuran. Aku merasa kami sudah mendaki tinggi sekali, namun tak kunjung sampai ke puncak. Jujur, bagiku hal ini sangat menguras tenaga.

Dan, hal buruk yang sudah kita tunggu-tunggu pun terjadi.

Cuaca yang tadinya cerah berubah mendung. Angin berhembus kencang, menerjang tubuh enam orang mahasiswa semester akhir yang berusaha mendaki mati-matian. Dinginnya bertambah berkali-kali lipat karena saat ini kami tengah berada di dataran tinggi. Tidak lupa, turun hujan yang awalnya perlahan, tapi makin lama makin tak tertahankan.

Kakiku mulai gontai, kehilangan tenaga. Pada momentum yang tepat, licinnya tanah liat yang berbaur dengan air hujan membuatku tergelincir dan terjatuh menuruni jalur pendakian. Aku berteriak, namun suaraku tersamarkan oleh derasnya hujan dan sesekali disertai sambaran petir yang menggelegar. Entah seberapa jauh aku menggelinding, yang jelas proses ini berlangsung cukup lama.

Aku berusaha menggapai-gapai apapun untuk menyeimbangkan tubuh yang tinggal tulang ini, namun sia-sia. Aku baru berhenti terjatuh setelah menghantam sebuah batu besar. Dalam kesadaran yang semakin menjauh, samar-samar aku mendengar suara teman-teman yang memanggil namaku. Sebelum akhirnya aku mendengar suara benda yang terjatuh secara berurutan dan kesadaranku menghilang dengan sempurna.

Keesokan paginya, aku terbangun di atas dipan warung yang kami lewati semalam. Aku ingin berdiri, namun tubuhku rasanya sakit semua. Bahkan untuk bangkit dari dipan ini pun rasanya sulit sekali.

“Udah, rebahan aja dulu. Ini, diminum tehnya.” Seorang ibu paruh baya mendatangiku sambil membawakan secangkir teh hangat.

Di luar, pendaki lain memadati warung makan ini sembari sarapan pagi, duduk sejenak, bersiap untuk mendaki, bahkan sekadar merokok dan berbincang-bincang.

“Woy, udah bangun kau?” Suara yang familiar itu membuatku menoleh. Kelima orang temanku mendatangiku dengan kondisi yang jauh lebih baik, meski dengan beberapa bekas luka. Namun raut wajah mereka berusaha menyembunyikan rasa takut ketika melihatku.

“Anj*ing!” Aku memaki sembari mengacungkan jari tengah ke wajah mereka. Tapi mereka tak membalas, justru malah tersentak mundur kebelakang.

Aku bertanya-tanya, mengapa lima orang bajingan ini begini? Biasanya mereka pasti akan langsung membalas makianku.

Ibu pemilik warung pun menjelaskan semuanya.

Ketika aku terjatuh dan berteriak, mereka semua seperti mendengar suaraku yang berada dalam bahaya. Namun ketika menoleh, mereka melihatku berjalan kedepan tanpa ragu, tanpa misuh-misuh, dengan langkah yang tegas dan mantap, mendahului mereka semua di barisan paling depan.

Mereka yang tidak ambil pusing lalu mengikuti saja. Hujan yang mulai mereda dan cuaca yang perlahan membaik membuat Rey, salah seorang temanku mengeluarkan Handycam miliknya, berniat ngevlog untuk mengabadikan momen seseorang yang baru pertama kali mendaki gunung, tapi seolah seperti pendaki yang paling senior.

Rey menyorot mereka semua dan menyuruh mereka melihat ke kamera, merekam wajah mereka satu per satu. Namun ketika kamera diarahkan kepadaku, Handycam itu tak dapat melihat wujudku. Alias, aku tidak dapat terekam oleh Handycam milik Rey. Rey yang mulai merasa ada yang tidak beres, memberitahukan hal ini kepada teman yang lain satu per satu. Mereka semua terkejut, namun mengurungkan niat untuk berteriak.

Akhirnya mereka tidak jadi melanjutkan pendakian dan memilih putar balik menuruni jalanan terjal nan licin itu. Saat menuruni jalur pendakian itulah, mereka mendengar panggilan “aku” yang palsu, membuat mereka memutuskan untuk terjun bebas ke bawah, dan berakhir dengan nasib yang tidak jauh beda denganku.

Kalau saja aku pergi dengan izin kepada kedua orangtuaku. Mungkin saja hal ini takkan terjadi.

*Terinspirasi dari kisah nyata

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Hati-hati, kisah yang kamu baca mungkin benar, berwaspadalah! Dapatkan cerita misteri lainnya dari Majalah Sunday.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 14
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?