Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Suryakara, 2024
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Deva berdiri dengan gelisah di taman kota, mengenakan jaket abu-abu favoritnya. Tangannya menggenggam ponsel dengan eratnya, memeriksa waktu berulang kali. Setiap detik terasa seperti jam. Ia tidak pernah merasa setegang ini, bahkan saat menghadapi bos terkuat di Hearts of Luvenia sekalipun.
“Nirvana benar-benar dateng nggak ya?” gumamnya dalam hati.
“Deva?”
Sebuah suara lembut langsung membuyarkan pikirannya. Deva langsung menoleh, dan di depannya berdiri seorang gadis dengan rambut hitam lurus, mengenakan sweater biru muda. Matanya bulat sedikit sipit, menatap Deva dengan campuran rasa gugup dan penasaran. Dia tidak perlu bertanya untuk tahu—ini Nirvana.
*****
“Nirvana?” Deva hampir berbisik, seolah takut momen ini hanya mimpi.
Gadis itu mengangguk kecil. “Ya… maaf ya udah buat kamu nunggu.”
Deva tersenyum canggung, kata-kata apapun pasti tidak cukup untuk menggambarkan perasaannya saat ini. “Nggak apa-apa kok. Aku juga baru aja datang.”
Mereka berjalan beriringan di sepanjang taman kota, memulai percakapan sederhana. Awalnya, pembicaraan mereka terasa canggung, penuh dengan jeda panjang. Tetapi seiring waktu, obrolan mereka mulai mengalir lebih alami. Mereka berbicara tentang Hearts of Luvenia, tentang anggota guild, dan perlahan menyentuh kehidupan nyata masing-masing.
Nirvana menunduk, suaranya sedikit bergetar. “Kamu tahu, aku hampir nggak berani datang, Dev. Aku… takut. Dunia nyata nggak kayak dunia game. Mirip yang pernah aku bilang. Di sana, aku bisa menjadi siapa aja, tapi di sini… aku cuma seorang gadis biasa dengan segudang masalah yang nggak pernah selesai.”
Deva berhenti melangkah, menatap Nirvana dengan serius. “Nir, aku ngerti perasaan itu. Dunia nyata rasanya memang berat. Tapi kamu nggak boleh berpikir diri kamu rendah, karena aku yakin… kamu bukan cuma gadis yang aku temui di game. Kamu tuh orang yang bisa buat aku ngerasa diterima, bahkan saat berpikir kalau aku sendirian.”
Kata-kata itu membuat Nirvana menatapnya, matanya sedikit berkaca-kaca. “Makasih ya… kamu juga, Dev. Pas aku ngerasa tertekan, kamu yang bisa orang yang membuatku tertawa. Sebelumnya aku nggak pernah menganggap ada yang benar-benar peduli sama aku… sampai aku bertemu kamu.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, tetapi kali ini terasa nyaman. Seperti di dunia Hearts of Luvenia, mereka tidak perlu kata-kata untuk saling memahami. Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, ponsel Nirvana tiba-tiba bergetar. Dia menghela napas panjang, wajahnya berubah tegang.
“Orang tuaku,” katanya pelan. “Aku harus pulang. Mereka pasti marah kalau tahu aku pergi tanpa izin.”
Deva mengangguk, meskipun ada rasa kecewa yang menyelinap di hatinya. “Aku ngerti. Tapi… Nir, boleh nggak kita ketemu lagi kedepannya? Di dunia nyata?”
Gadis itu tersenyum tipis, penuh dengan keraguan namun juga terlihat ada harapan. “Aku nggak janji ya, Dev. Tapi aku bakal coba usahakan. Lagian, kan kita selalu bisa ketemu di Hearts of Luvenia.”
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Nirvana pergi meninggalkan taman, sementara Deva tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah dia menghilang. Hatinya penuh dengan rasa hangat sekaligus rasa ingin tahu yang belum terjawab. Dunia nyata memang lebih rumit daripada dunia game, namun malam itu, Deva merasa bahwa langkah kecil yang mereka ambil bersama adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
Dengerin Podcast
Penasaran? Yuk, tonton sekarang di YouTube!
Lampu LED portable yang dilengkapi tiang lampu fleksibel dan cahaya yang bisa disesuaikan.