Majalah Sunday

Musim Semi 2120

Jangan keluar atau pecah.

Tubuh kami akan pecah jika sekali-sekali saja kami coba-coba untuk keluar rumah. Kami kini sebuah porselen antik yang semakin hari semakin langka. Di jajarkan dengan apik dalam lemari kaca di tengah kota. Dirawat telaten sedemikian rupa demi kepentingan bersama.

“Nori! kemari bantu ibu sebentar Nak.” Panggil Ibuku dari dapur.

Aku masih sedang asyik menatap dunia luar. Menatapi atau meratapi hampir tidak berjarak sekarang. Namun begitu, bunga sakura masih bermekaran dengan menawan. Cukup untuk menghibur pagiku yang selalu sama saja setiap hari. Setidaknya agak sedikit berbeda untuk hari ini.

“Oh.. Ibu tiba-tiba ingin membuat jus stroberi?” Tanyaku pada Ibu yang sudah menata blender juga semangkuk buah stroberi yang telah terpisah dari pucuk daunnya.

Ia mengangguk pelan sembari tersenyum singkat. ” Kamu tolong bantu ibu keluarkan es batu dari lemari es ya, tangan ibu gemetaran tadi saat coba mengeluarkan mereka. ”

“Iya Bu.” Aku segera membuka lemari es.

Cetakan es batunya agak terjebak oleh bunga es, pantas saja tangan ibu tidak kuat.

Kami menyebutnya virus kaca. Pandemi yang melanda dunia saat ini. Nama aslinya terlalu sulit dilafalkan sehingga orang sekitar menyebutnya begitu. Virus ini lebih bahaya dari influenza. Konon katanya jika virus ini masuk ke dalam tubuhmu, seluruh tubuhmu akan berubah menjadi kaca. Tubuhmu yang telah mengkristal akibat serangan virus tersebut tidak akan tahan percikan air. Jika terpercik setetes saja, tubuhmu akan pecah, rapuh menjadi butiran kaca.

“Stroberinya manis sekali ya.” Ucap ibuku dengan raut wajah bahagia.

“Iya bu. ” Aku menyeruputnya sekali lagi “Aku rindu kita pergi ke kebun stroberi bersama.”

Ibu mengedipkan matanya dua kali. Memutar sedotan stainless miliknya berlawanan dengan arah jarum jam. Matanya menerawang masa-masa indah kami sekeluarga memetik buah stroberi bersama.

“Ibu rindu Ayahmu, Nak.” Ujarnya disusul setetes air mata yang luluh menelusuri pipi.

Ayahku. Benar ayahku telah pergi. Kadang kami membayangkan kalau dia sekarang masih hidup dan sedang menyebut-nyebut nama kami dalam igauannya. Ayahku terkena virus kaca. Ayah dibawa setelah menunjukan tanda-tanda pengkristalan. Kulit kering, tubuh kaku, haus terus-menerus, dan sulit berkedip. Beliau ingin menangis saat tahu kalau dirinya positif, tapi matanya hanya memerah dan berkaca-kaca.

Aku tidak pernah melihatnya lagi setelah tenaga medis membawanya pergi. Aku tidak pernah melihat siapapun mati menjadi butiran kaca langsung dengan mataku sendiri. Aku tidak bisa melihat virus itu, mataku tidak sanggup.

Setiap seminggu sekali orang pemasok makanan mengantar persedian di depan pintu utama. Sebelum pintu utama diberi jarak sekitar satu meter dari pintu terluar, dan jarak diantara pintu tersebut adalah ruang sterilisasi. Bahan makanan setiap minggunya berbeda dan bervariasi. Semua teratur rapi sesuai perintah dan kami hanya tinggal mengolahnya saja.

Ibu bilang, pagi hari itu ayah harus keluar memperbaiki mesin air yang rusak. Padahal ada kontak darurat untuk meminta segala bantuan demi menaati protokol kesehatan, tapi tetap ayah bersikeras. Ibu meragukan perkataan ayah dan mengatakan kalau

“Ada suara-suara yang memintanya keluar di hari itu. ” Tutur ibu setelah usai mengulum sedotan.

Aku dan ibu juga mendengar suara-suara yang sama. Dalam tidur kami. Saat kami makan. Ketika kami mandi. Setelah mendengarkan musik. Sebelum memandang cermin.

Suara itu seperti enggan pergi. Kami pikir itu hanya halusinasi belaka tapi, itu bukan hanya kami. Satu persatu tetangga kami keluar dari rumah dan mereka yang sudah keluar tidak ada yang selamat. Orang-orang di televisi juga mencoba keluar dari rumah mereka persis seperti apa yang terjadi disini .

Satu persatu dari mereka menghilang. Baik karena virus itu atau bukan, mereka lenyap dengan atau tanpa jejak. Salah satunya Bu Laras. Beliau adalah teman akrab ibu kalau belanja ke pasar. Bu Laras keluar dari rumah sambil teriak-teriak serta berlari kesana-kemari. Kami, keluarganya, dan warga sekitar hanya mampu menyaksikan tingkah lakunya dari balik kaca. Di hari yang sama, ada anak kecil yang juga lari dari rumah untuk mengejar kucing yang kebetulan lewat. Belum selesai di sana, secara tak terduga ada supir truk pengangkut barang hilang kendali melewati pemukiman komplek rumah kami.

Kecepatan truk itu tak beraturan. Bu Laras masih tidak sadarkan diri. Kakinya yang tak bisa tenang menapak di tengah jalan. Tubuhnya tak terhindarkan dari truk. Warna garis putih di tengah jalan terisi dengan warna merah. Merah muda bunga sakura ikut menua. Anak kecil itu juga tidak lari dari kepala truk tersebut. Tubuhnya terpental menabrak kaca rumah kami. Menempel disana sambil berdecit pelan-pelan.

DDRIITTT..

DRRRIITTTT. .

DDRRIITTTTT

Menampilkan senyum dengan gigi yang beberapa sudah hilang. Dari mulutnya keluar semburan darah. Satu matanya sudah menjorok keluar. Hidungnya mimisan seperti air terjun yang membasuh kaca rumah kami yang berdebu.

Aku dan ibu langsung mengeluarkan isi lambung kami bersamaan. Malam hari setelah kejadian mengerikan tersebut, terselip bola mata anak itu di atas makan malam kami berdua, dan senyumannya yang juga terpantul di permukaan air putih yang hendak kami teguk.

Seperti itu terus sampai akhirnya kami mulai menutup mata, hidung, telinga, juga hati kami. Menghancurkan televisi. Memblender ponsel pintar, dan memutus kontak dengan siapapun.

“Jangan pernah dengarkan mereka bu. ” Kataku mengingatkan ibuku.

Ibuku memeluku erat-erat. “Kita harus tetap disini apapun yang terjadi.”

Mereka tidak pernah pergi. Mereka tidak akan menyerah sampai kami keluar rumah.

“Ayo petik bunga sakura”

“Hirup aromanya dalam-dalam”

“Udara hari ini adalah udara paling segar sepanjang masa”

“Ada yang membutuhkan pertolongan di luar”

“Ayah pulang”

“AYAH PULANG”

“AYO KELUAR”

“KELUARLAH”

Kami tidak akan pernah pergi, begitupun suara-suara itu, kami terus bertahan satu sama lain entah sampai kapan. Kita tidak pernah tahu ancaman apa sebenarnya yang ada di luar. Entah virus kaca yang mematikan, atau mungkin juga mimpi buruk yang lebih panjang bersama suara-suara misterius ini.

 

Pertanda,

Nori,

2 April 2120

 

oleh: Maharani Laksmi Dewi, Universitas Negeri Jakarta. 

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?