Penulis: Olivia Elena Hakim – Majalah Sunday
Saat berbicara tentang kuliah di luar negeri, banyak orang langsung memikirkan negara seperti Australia, Amerika Serikat, atau Inggris. Namun, tahukah Anda bahwa ada alternatif yang lebih terjangkau, berkualitas, dan mudah diakses di kawasan ASEAN? Filipina adalah salah satu destinasi yang menarik untuk studi internasional, termasuk bagi mahasiswa Indonesia.
Untuk menggali lebih dalam, Majalah Sunday berbincang dengan lima mahasiswa dari Fakultas Sastra dan Bahasa Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang mengikuti program pertukaran pelajar ke Filipina selama satu semester. Berikut pengalaman mereka!
Kelima mahasiswa ini ditempatkan di beberapa universitas terkemuka di Filipina:
Para mahasiswa menjelaskan bahwa program ini merupakan hasil kerja sama UKI dengan berbagai universitas di Filipina. Seleksi didasarkan pada prestasi akademik, nilai TOEFL, dan rekomendasi fakultas. Menariknya, UKI juga menjadi tuan rumah bagi mahasiswa Filipina yang mengikuti pertukaran pelajar di Indonesia.
“Saya pertama kali mengenal Don Mariano Marcos Memorial State University (DMMMSU) setelah menjadi buddy bagi 14 mahasiswa Filipina yang datang ke UKI dalam program pertukaran sebelumnya. Setelah mereka kembali ke Filipina, mereka menyarankan saya untuk mencoba kuliah di sana,” ujar Yepsan.
Di Fakultas Sastra Inggris UKI, pendaftaran untuk mengikuti program ICT (International Credit Transfer) dibuka di semester genap, untuk para mahasiswa Sastra Inggris yang ingin mulai berkuliah di luar negeri saat semester ganjil. Dengan demikian, para mahasiswa mendapatkan kesempatan merasakan kuliah di luar negeri, termasuk Filipina, setiap semester 5 dan semester 7.
Di UKI, program pertukaran ini sebenarnya dibuka setiap semester genap dan ganjil, khususnya pada semester empat dan tujuh. “Jadi buat yang rajin mencari peluang, kesempatan ini selalu terbuka di UKI,” ujar mereka.
Salah satu keuntungan kuliah di Filipina dibandingkan negara Barat adalah proses administrasi yang lebih sederhana.
Sebelum berangkat, para mahasiswa harus melalui beberapa tahapan seleksi, salah satu syarat utama adalah nilai TOEFL yang cukup tinggi.
Selain itu, ada beberapa dokumen wajib seperti surat keterangan kesehatan, surat dari kepolisian, serta wawancara terkait kesiapan finansial dan kesehatan pribadi.
Syukurnya, Fakultas Sastra dan Bahasa UKI membantu para mahasiswanya yang mengikuti pertukaran ini, dalam biaya perpanjangan visa. Meski tidak semua biaya ditanggung, kesempatan ini tetap menarik karena Filipina menawarkan kualitas pendidikan yang baik dengan biaya lebih terjangkau.
Filipina memang bukan pusat industri hiburan atau destinasi wisata yang banyak dipromosikan. Mereka mengakui bahwa bayangan awalnya tentang Filipina cukup sederhana. “Kesan pertama, Filipina vibesnya mirip Jakarta di tahun 90-an. Beberapa daerah memang modern, tetapi banyak juga yang masih terasa seperti kota kecil di Indonesia,” kenang Matthew.
Sementara itu, Sela yang ditempatkan di Makati, menggambarkan area tersebut mirip dengan kawasan elite di Jakarta Selatan. “Di Makati, suasananya seperti tempat gaya hidup orang-orang elite, dengan banyak restoran dan gedung perkantoran,” katanya.
“Sebelum berangkat ke Filipina, saya membayangkan bahwa saya akan merasa sendirian tanpa teman dan bahwa dosen di sana akan sangat tegas dan strict. Namun, ternyata ekspektasi saya salah. Orang-orang di sana sangat ramah, humble, dan dosennya pun sangat friendly serta membantu,” ujar Sela.
Lucky, yang tinggal di San Lorenzo, menuturkan bahwa daerahnya jauh lebih aman daripada Jakarta. “Di sini, orang bisa meninggalkan dompet atau ponsel di meja tanpa takut dicuri. Bahkan perempuan bisa berjalan sendirian di malam hari tanpa rasa khawatir,” jelasnya.
Namun, di Manila, pengalaman berbeda dialami oleh Matthew. “Saya pernah mengalami kejadian kehilangan handphone di area yang ramai,” ungkapnya.
“Di setiap tempat, pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Yang penting adalah bagaimana kita bisa beradaptasi dan mengambil pelajaran dari pengalaman ini,” tutup Sela.
Secara akademik, mahasiswa UKI tetap mengambil mata kuliah yang sesuai dengan program studi mereka. Sela, misalnya, tetap mengambil jurusan Sastra Inggris, tetapi dengan variasi mata kuliah yang lebih berfokus pada pendidikan.
“Saya belajar tentang Inclusive Education, Child Development, dan Mental Health in Education, yang semuanya baru bagi saya,” ujarnya. “Proses pembelajaran di sana juga sangat menyenangkan. Biasanya, kelas dimulai dengan sesi meditasi selama 5-7 menit sebelum memasuki materi utama. Saya juga terkesan dengan betapa aktifnya mahasiswa di sana dalam berbagai kegiatan kampus maupun di luar kampus tanpa adanya paksaan. Mereka sangat friendly dan terbuka.”
“Selain itu, saya juga mendapatkan banyak ilmu baru, terutama dalam mata kuliah seperti Inclusive Education, Adolescent and Child Learning Principles, serta berbagai pendekatan modern dalam pendidikan.”
Sementara itu, Matthew dan Ifo mengambil mata kuliah seperti Persuasive Communication dan Technical Writing. “Kami juga mendapat pengalaman mengajar langsung di kelas sebagai bagian dari tugas akhir,” kata Ifo.
Tantangan terbesar bagi mereka adalah bahasa. “Karena semua materi harus disampaikan dalam bahasa Inggris, kami harus berpikir dua kali sebelum menjelaskan sesuatu,” tambahnya.
Selain perkuliahan, mahasiswa UKI juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus, mulai dari seminar, event budaya, hingga kompetisi. Yepsan bercerita tentang pengalamannya mengikuti Living Theater dan berhasil meraih juara pertama bersama timnya.
Sementara itu, Sela bergabung dengan klub hip-hop di kampus. “Yang paling berkesan adalah kesempatan saya untuk bergabung dalam klub dance hip-hop kampus. Latihan di klub ini sangat intens dan jauh lebih disiplin dibanding pengalaman saya sebelumnya di Indonesia. Meski lebih berat, saya merasa senang karena bisa belajar banyak hal baru dan meningkatkan keterampilan saya dalam dance.”
Di sisi lain, Matthew memiliki pengalaman unik berpura-pura menjadi mahasiswa lokal. “Saat mengikuti tur dengan mahasiswa dari Indonesia lainnya, saya sengaja tidak mengungkapkan bahwa saya juga dari Indonesia. Mereka sempat mengira saya dari Filipina sampai akhirnya saya mengaku di akhir tur,” kenangnya sambil tertawa.
Selama berbulan-bulan di Filipina, mereka merasakan masyarakat Filipina sangat hangat dan suportif kepada mereka sebagai pelajar asing.”Mereka selalu memastikan kami baik-baik saja, bahkan sering membantu jika kami mengalami kesulitan akademik,” ungkapnya.
Meski demikian, mahasiswanya lebih kompetitif dibandingkan di Indonesia. “Mahasiswa di sana benar-benar serius dalam setiap kompetisi, baik itu akademik maupun seni,” kata Sela.
ari pengalaman mereka, jelas bahwa mengikuti program pertukaran pelajar bukan hanya soal belajar di negara lain, tetapi juga tentang membangun jaringan, memahami budaya baru, dan mengembangkan keterampilan hidup.
Para mahasiswa sepakat bahwa pengalaman ini sangat berharga. Mereka tidak hanya mendapatkan wawasan akademik baru tetapi juga kesempatan untuk mengenal budaya Filipina lebih dekat. Meski menghadapi tantangan adaptasi bahasa dan lingkungan, mereka merasa pengalaman ini sangat berkesan dan akan membawa dampak positif bagi masa depan mereka.
“Setelah kembali dari Filipina, saya menyadari bahwa orang-orang di sana sangat ramah dan sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan masyarakat Indonesia. Ada banyak kesamaan, terutama dalam bahasa dan budaya,” kenang Sela.
“Semoga lebih banyak mahasiswa UKI yang bisa merasakan kesempatan seperti ini di tahun-tahun mendatang; yang penting jangan ragu. Kalau ada peluang, ambil saja, karena kesempatan seperti ini tidak datang dua kali,” ujar mereka.
*****
Cek info lebih lanjut mengenai beasiswa untuk studi S1 Sastra Inggris di UKI dengan klik di sini
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.