Majalah Sunday

Karena Untuk Kenapa

Sepertinya aku dikalahkan lagi. Berkali-kali. Berulang-ulang. Hingga rasanya tak ada lagi ruang yang tersisa. Setiap hari, kamu datang. Satu detik, dua detik, satu menit, dua menit, satu jam, dua jam, satu hari, dua hari, dan entah ini hari yang ke berapa. Tapi, kurasa aku ingin sekali melambaikan tangan, pada langit. Aku ingin mengatakan, “Sudah. Cukup. Jangan lagi.”

Tapi, langit hanya diam. Lalu tersenyum. Katanya, “Jangan menyerah,” aku tertawa lirih. Jangan menyerah katanya? Jika situasinya berbeda, aku tak mungkin menyerah. Aku akan dengan sukarela mendekapnya. Dengan senang hati menunggunya. Dengan tawa lebar berlari ke arahnya. Tapi, aku tidak bisa melakukan itu. “Langit, mengapa kau berikan ini jika kau tak ingin aku meraihnya?”

Kamu sempat hilang, termakan waktu dan lupa. Tapi, sepertinya langit senang bermain-main. Langit munculkan kamu kembali melalui waktu dan ingatanku yang mulai pulih. Kala itu, aku tak mengerti, lalu seolah tak peduli. Tapi, lagi-lagi langit memaksaku kembali, langkahku dipaksa untuk berbalik, ke sana, ke arahmu. Aku tak mengerti kenapa. Namun, aku ikuti maunya. Mencari jawaban karena dari kata kenapa yang berlarian di kepalaku. “Langit, kamu ingin menunjukkan apa padaku?”

Aku termenung, menatap hujan yang perlahan turun, ditemani bayanganmu yang sedang berlarian tak kenal lelah di kepalaku. Mataku terpejam, meresapi rupamu yang entah sudah berapa waktu terlewatkan, hingga tak mampu lagi kutatap. “Aku rindu. Sungguh,” bisikku pada langit yang sedang menangis di sana. Aku sudah menuruti keinginanmu, langit. Lalu, mengapa seperti ini? Mengapa hanya rasa sesak yang kudapat? Aku tidak bisa meraihnya. Dia terlalu jauh, hingga tak bisa kugapai dengan kedua tanganku ini. Mungkinkah ini hanya pertemuan untuk memisahkan? Atau mungkin kau hanya ingin aku menyelesaikan sesuatu lalu ditinggalkan?

Pagi yang cerah. Sungguh. Secerah senyumku yang sudah melengkung indah sejak matahari mulai menampakkan sinarnya. Dia menyambut uluran tanganku. Ya, walau tidak menggenggamnya. Tapi, kurasa ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku terus menatap ke atas, menatap langit cerah berwarna biru, tanpa awan menghiasi. Hatiku berbisik lirih, dengan senyuman yang tak pernah pudar, tak pernah bosan menemaniku pagi ini, “Terima kasih, langit.”

Hari-hariku kini penuh dengannya. Sampai aku lupa untuk menyapa langit. Bahkan hanya sekadar mengingatnya pun tak sempat. Kepalaku dan hatiku penuh dengannya. Sungguh. Sampai rasanya tak ada celah untuk siapa pun masuk, termasuk langit. Aku lupa akan satu hal. Aku melupakan hal paling penting. Hingga akhirnya aku tersandung, lalu jatuh, terseret hingga dasar. Tubuhku penuh luka, darah mulai mengalir, napasku tercekat, air mataku mengalir deras. “Langit, maafkan aku.”

Kini aku tahu jawaban dari pertanyaan kenapaku kala itu. Aku sudah menemukan jawabannya. Terima kasih sudah menghadirkannya kembali dalam ingatanku. Kini aku mengerti, kenapa dia hanya menyambut uluran tanganku, dan tidak menggenggamnya. Karena aku pun belum siap untuk itu. Karena kakiku masih harus terus melangkah, mencari diriku sendiri, mencari jawaban untuk diriku sendiri, untuk meyakinkan hatiku sendiri, bahwa langit tak pernah mempertemukan jika tak ada maksud dan tujuan. Rasaku memang telah kulepas bersama hembusan angin, tapi rindu itu akan terus melekat setiap harinya, di sini, di dalam diriku, hingga langit memerintahkan sang waktu untuk mempertemukan aku dan kamu kembali, nanti.

 

Puja Sindia
Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?