Majalah Sunday

Heaven: Mystery of Hidden Gem School
Part 07: Pencarian, Kota Lama, dan Penyelamatan Tameem

Penulis: Ingesia Aulia Kamila – Universitas Negeri Malang

Chapter 7: Pencarian, Kota Lama, dan Penyelamatan Tameem.

“Menurut halaman ini, penulisnya suka berkeliling lewat pintu-pintu yang menghubungkan antara satu gedung dan gedung lainnya. Ia membaca denah kota lama secara langsung” Ab menunjukkan bagian yang ia maksud dalam buku yang mereka temukan di gudang dua pekan lalu.

Setelah aku benar-benar pulih kami melanjutkan rencana pencarian kami, selepas pulang sekolah kami langsung ke kota lama, mencoba mencari petunjuk di sana, menyusuri tempat-tempat yang sekiranya sesuai dengan gambaran kota lama dalam tulisan di buku. Nihil.

Setiap kami ke sana, kami seperti hanya menghabiskan waktu bermain di kota lama,  memasuki gedung-gedung yang sudah diisi dengan para penjual, kafe-kafe, kantor cabang dari bank, bahkan membeli tiket karena gedung yang kami tuju sedang digunakan untuk pameran, galeri seni dan lainnya.

Kami juga masih anak 15 tahun yang suka dengan bermain, kota lama yang memang sudah menjadi destinasi wisata membuat jiwa remaja kami meronta untuk menikmati tiap sudut kota lama yang terlalu luas hanya dengan waktu tiga sampai empat jam, di tengah-tengah pencarian, kami mencoba berbagai makanan ringan yang dijual di setiap sudut kota lama, sembari membayangkan suasana yang digambarkan dalam buku, terkadang bertanya juga kepada penjual di sana, siapa tahu ada petunjuk, tapi rata-rata penjual menjawab “Kami baru saja berjualan di sini beberapa tahun yang lalu” atau “Kami hanya pekerja di sini, kami tidak tahu banyak terkait gedung ini”

“Fiuh, coba saja gurumu itu tidak menghilang” Daisy menghembuskan nafas, lelah. Ia duduk lesehan di tengah lapangan, seperti pengunjung lainnya.
Jam di hapeku sudah menunjukkan pukul 03.45, matahari sudah mulai bergerak condong ke arah timur, kota lama makin ramai, jadi tempat nongkrong muda mudi, katanya menjelang petang ada live music di depan salah satu gedung.

“Kamu kira itu salah Heaven, guru Kashmir menghilang?” Ab menyenggol lengan Daisy. Yang disenggol hanya bersungut, mengipas wajahnya dengan kipas portable yang selalu menggantung di tasnya.

Aku tersenyum kecut mengingat salah satu guru dekatku menghilang tanpa jejak lagi, kali ini bahkan sebelum menghilang yang kuingat hanya wajah datarnya, entah ia pergi atau menghilang diculik? Siapa tahu ada orang yang dendam kepada guru Kashmir, aku tahu di masa mudanya ia pasti orang penting, apalagi ia juga kenalan ayah dan ibu.

Aku menoleh ketika tangan Tameem sudah melingkar di pundakku, ia tersenyum, menyerahkan sebungkus plastik berisi jajanan ringan.

“Terima kasih”

Tameem mengangguk, mulutnya sedang mengunyah.

Hari ini kami ke gedung yang sudah menjadi kantor pengurusan Visa dan sejenisnya, berpura-pura ada tugas dari sekolah, tak lupa membawa surat, ini bagianku, aku belajar memalsukan surat dari guru Kashmir. Tapi, gedung itu tampak biasa saja, tidak ada hal yang mencurigakan, selain beberapa ruangan yang memang tidak terbuka untuk umum, ruang arsip data. Kami menghormati itu, tidak perlu masuk ke sana.

Jadi, di sinilah kami berakhir, duduk menikmati kota lama yang makin ramai, meskipun besok masih hari aktif kerja dan sekolah. Setelah 30 menit beristirahat kami memilih untuk pulang, sebentar malam kami akan lanjut berdiskusi online seperti malam-malam sebelumnya, membahas bagian buku yang sudah dianalisa tulisannya oleh Ab, beberapa bagian dari buku itu tulisannya sudah pudar dan kurang jelas karena ditulis tangan, Ab dari keluarga yang kesehariannya bergulat dengan berbagai jenis buku, jadi ia paham hal seperti ini.

Tepat pukul delapan malam, setelah makan malam, aku masuk ke kamar, bersiap untuk nongkrong di depan komputer, diskusi secara online bersama ketiga temanku.

Di layar komputer sudah terlihat Ab menampilkan halaman yang akan kami bahas untuk di tebak, ke arah mana lagi besok kami akan menyisir. Ab tampak berada di ruang keluarga, terlihat ayahnya yang sedang duduk di sofa, sepertinya sedang menonton televisi, terkadang ibunya lewat bolak balik menggendong adiknya yang sedang rewel tidak mau tidur. Ab memang sudah dari awal tahu dia dan keluarganya adalah keluarga yang spesial, jadi ketika ia membahas ini di depan orang tuanya, mereka tampak biasa saja, aku sempat bertanya kenapa tidak bertanya pada ayahnya saja, ia menolak, katanya ini soal harga dirinya, ini adalah langkah awal untuk membuktikan bahwa ia memang pantas menjadi manusia spesial.

Menit berikutnya Daisy masuk bersamaan dengan Tameem, Daisy seperti biasa, ia diskusi sembari membersihkan wajahnya sebelum tidur, entah berapa banyak cairan yang ia gunakan di wajahnya itu.

“Kamu di mana Tameem?” Ku lihat sekitar Tameem tampak gelap, sebelum-sebelumnya ia berada di kamar.

“Aku di gudang toko, hari ini toko tutup cepat, sepi pembeli, baba ada di ruang makan, tepat di samping kamarku, biasanya baba jauh lebih sensitive kalau toko sepi” 

Kami mengangguk, memaklumi, di antara kami berempat yang paling tidak aman keadaannya hanya Tameem.

“Baiklah, di sini aku akan membacakan halaman selanjutnya, kalau halaman sebelumnya mengarah ke gedung yang sudah jadi kantor Visa, sekarang pemilik bukunya menuliskan, dirinya bertemu seseorang di sore hari akhir pekan waktu itu, mereka mengobrol banyak tentang bagaimana keadaan negara ini, seorang pribumi dengan pakaian rapi dan tampak terdidik, ia menjual koran di sudut kota lama, tapi ia hanya menjual di waktu ini saja, saat pemilik buku berpamitan ia menyampaikan bisa bertemu pekan depan lagi jika ingin berdiskusi, maka  sekali sepekan mereka bertemu dan berdiskusi, tidak lupa pemilik buku bahkan membantu penjual koran itu lewat informasi-informasi terkait pergerakan bangsa penjajah yang tak lain bangsanya sendiri, hasil ia menguping pembicaraan.

Maka, tiap koran yang dijual hari khusus tersebut, akan ada satu informasi baru lagi yang terjual, tersebar ke masyarakat, bisik-bisik riuh sambung menyambung dari satu orang ke orang lainnya. Beberapa orang mulai melakukan protes atas perlakuan pemerintah yang terkesan lebih membela pihak penjajah dibanding bangsa sendiri. Seperti itulah yang tertulis di sini”

Kami mengangguk mengerti.

“Berarti kita harus mencari tahu siapa pria penjual koran dan dari penerbit mana koran tersebut kan?” Aku menyimpulkan.

“Ya, benar sekali”

“Hmm, tahun itu belum banyak penerbit yang bisa mencetak koran dalam jumlah banyak dan jurnalis yang berani seperti itu bisa dihitung jari” Tameem memberi komentar.

“Aduh, ini masih lama ya? Aku mau ke kamar mandi dulu ya, tidak bisa bawa tab, nanti kalian ngintip lagi” Daisy terlihat melepas earphone-nya dan berlari kecil keluar kamarnya.

“Enak saja, dia pikir kita laki-laki apaan” Tameem mendengus.

“Memangnya kamu laki-laki apaan?”

Kami buru-buru menutup kamera kami, suara baba Tameem terdengar. Di layar tampak ruangan tempat Tameem menjadi terang.

“Sedang apa kau di gudang?! Kenapa tidak belajar?”

Tertangkap basah, Tameem buru-buru berdiri mencoba menutupi laptopnya. Ia diam saja, tampak tidak tahu hendak menjawab apa.

“JAWAB KALAU BABA TANYA!!”

Baba Tameem mengambil laptop yang dipegang Tameem, tepat sedetik sebelum Ab mengakhiri ruang diskusi online kami, baba Tameem sempat melihat layar yang dibagikan Ab dan wajah Daisy yang baru saja kembali dari kamar mandi.

Entah apa yang terjadi dengan Tameem, aku berharap ia baik-baik saja.

Besok paginya kami sepakat untuk mengunjungi toko sekaligus rumah Tameem setelah tidak mendapati Tameem mengikuti kelas hari ini.

Tiba di depan ruko baba Tameem kami mempersiapkan mental, meskipun sebelumnya aku pernah ke sini, tapi jika harus kembali menghadapi wajah seram baba Tameem aku tidak mau.

Kami saling dorong mendorong sampai ditegur oleh penjaga toko kain di sebelah toko baba Tameem. Katanya menganggu pengunjung yang akan masuk ke tokonya.

Daisy bersungut, mendoakan tokonya sepi hari ini.

“Hush, mulutmu itu” Ab seperti biasa, menegur sahabat kecilnya itu.

“Terima kasih, sebentar sore akan kami antarkan ke alamat ini” Baba Tameem tampak mengantar keluar salah satu pelanggannya, ia tersenyum ramah, berbeda dengan tadi malam, namun sedetik kemudian ketika ia hendak berbalik masuk ke toko, tepat ketika tatapan mata kami bertemu, wajahnya langsung berubah drastis, datar, penuh kebencian. Kami buru-buru membelakangi, pura-pura tidak lihat.

“Ah, bapak Tameem itu ada masalah apa sih?” Daisy kembali bersungut.

“Iya, padahal baru saja bertemu” kali ini Ab mendukung ucapan Daisy.

“Sudah kubilang, beliau jauh lebih menyeramkan jika bertemu langsung” Aku menambahi.

To be continued ~

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 81