Majalah Sunday

Di Antara Kita

“Bukan aku pembunuhnya. Mungkin saja di antara kita ada orang-orang yang tak nampak. Siapa tahu tak ada Impostor atau Crewmate.Kita tak akan tahu.”

Aku ingin menulis cerita. Ide ceritaku muncul ketika aku memainkan games Among Us. Aku tunggu kamu malam ini pukul 20.00 di 40 Code Street! Ini akan menjadi malam terbaik bagi kita, pesan itu masuk ke aplikasi pesan singkat. Aku berhenti bermain. Menoleh cermin, mengatur posisi poniku supaya ‘adil’. Inginku bertanya pada cermin, ‘Apakah aku cantik?’. Kutahu takkan ada suara yang menjawab, selain diriku sendiri. Aku lagi-lagi mengingat Andrew. Pikiranku akhir-akhir ini memang selalu tentangnya. Aku hampir kehilangan warasku.

Andrew berencana menjadikan malam ini sebagai malam yang tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Sejak sore ia sudah melicinkan kemeja putihnya. Tiga kancing atas kemeja itu dibiarkan terbuka. Ia mendengus kesal melihat bulu dadanya. Tapi aku tak kalah keren dengan Fabio Lanzoni, begitu pikirnya. Setengah jam dihabiskannya untuk berdandan. Ia tersenyum melihat hidungnya yang berdarah. Ia menatap rambutnya. Gondrong. Berhati-hati menyisir rambutnya. Berulang kali bercermin memuji kemiripannya dengan pembalap asal Perancis itu. Ia lalu menyambar jaket jeans yang digantung di samping pintu masuk rumahnya. Setelah itu ia keluar mengendarai mobilnya.

Ada sebuah pesta semacam Halloween tapi bukan Halloween. Ini pesta biasa, dirayakan bukan pada akhir Oktober. Tidak banyak buku dan film horror yang menghabiskan waktuku. Aku membaca, menonton dan menyukai genre fantasi. Di balik cermin, kami berdiskusi hingga menemukan solusi. Gara-gara undangan pesta ini, aku dan saudara perempuanku, Levinna, harus menyemir rambut kami. Kami terlahir Brunette. Selepas menyemir kami berebut hak sebagai Elle Woods, Legally Blonde.

Punya saudara kembar adalah keistimewaan. Ketika kecil diberi pakaian yang sama. Kuyakin orang-orang selalu memperhatikan saat setiap langkah anak kembar. Levinna tampak cantik dengan gaun shocking pink-nya. Rambut pirangnya dibuat ponytail. Kepalanya dihiasi mahkota peri. Sangat menggoda. Namun menakutkan melihat riasan tren operasi plastiknya. Superbloody! Ia takut melihat wajahnya sendiri.

Kali ini cermin juga tidak bisa menjadi teman yang menyenangkan. Aku tadinya nampak cantik seperti Stephanie Seymour. Meski gaun pernikahan yang kukenakan tak sama dengan milik Carmela Sutera di musik Guns N’ Roses, November Rain. Aku mendapati bayangan wajahku seperti zombie. Wajahku penuh coretan, jaring laba-laba dan seolah banyak jahitan di bibir. Riasan hitam di sekitar mata. Aku ingin berpikir aku mengenakan topeng. Rambutku sengaja terurai, dibuat lebih keriting, mengembang serta berantakan.

Bibi Gracie, mengadakan pesta Halloween dengan menyewa sebuah rumah kosong yang dikelilingi restoran Cina, Dominika dan Italia. Jujur saja, aku malas datang ke pesta ini. Aku mendengus kesal mengingat hari-hari saat aku harus berhati-hati menaikkan cangkir ke bibirku yang hampir tak pernah tanpa gincu. Menurut Bibi Gracie aku bukan perempuan idaman keluarga Andrew. Aku tersenyum kecut. Ia cukup baik sekaligus sangat ketus. Ia hobi bertamasya khususnya wisata sejarah.

“Perjalanan terbaikku adalah saat aku hidup berbulan-bulan bersama suku Hmong di pegunungan Tiongkok Selatan. Aku belajar menyanyi dan menari lusheng. Kau akan mengagumi kebudayaan mereka,” ucap Bibi Gracie.

Aku mengangguk. Sekali dua kali memantik topik obrolan yang dilemparkannya. Aku cukup perhatian memilih kata, takut ia tersinggung. Raut matanya menampakkan kebencian telinganya mendengar aku bertanya, apakah Andrew punya sepupu? Bibi Gracie sudah bercerai sejak lima belas tahun lalu. Tak ada anak yang harus diurus selain keponakannya, Andrew.

“Leej twg tuag” kata penjaga di depan pintu masuk. Mereka berpenampilan spooky serba hitam.

Aku dan Levina saling berpandangan. Trick or treat? Apa lagi mantra yang kira-kira diucapkan saat perayaan Halloween. Bim salabim. Aku kesulitan menerka. Dunia hari ini dipenuhi kuis tebak-tebakan. Ketika Tuhan Menciptakan Saya, Ramalan Kematian, hingga teka-teki Siapa Yang Mati?

Sebuah sketsa gambar menampakkan manusia mendorong bola besi dari tempat tertinggi. Bola itu akan menggelinding setelah melewati papan datar diagonal. Diantara papan terdapat tiga manusia. Pertanyaan yang muncul, berapa orang yang akan mati. Siapa yang bakal mati akibat bola besi yang melintas itu.

Andaikata hari ini hujan, aku tak akan terlibat bermain Canasta dengan Bibi Gracie. Pesta ini hanya didatangi orang-orang tertentu. Mungkin kerabat Bibi Gracie dan Andrew. Penampilan tamu undangan sungguh niat dan mengesankan. Ada yang menjadi monster, zombie, vampire dan hantu ala negeri Asia Timur. Aku mulai ketakutan. Di bawah meja, Levinna menepuk pahaku. “Aku bersamamu” katanya berbisik.

Aku merinding mendengar lagu Szomoru Vasarnap pada pemutar piringannya yang kuno. Sesekali ia bernyanyi dengan lantangnya. Ia lebih meyakinkan sebagai zombie daripada aku. Lihatlah kukunya yang tak dipotong sejak tiga tahun lalu itu.Gaun putihnya berlumuran darah. Riasannya dibuat senyata mungkin. Semakin mengerikan melihat bagian lehernya yang dibuat luka seperti diiris pisau tajam. Kalau ini acara TV, aku ingin melambaikan tangan ke CCTV tepat di atas meja ini.

Ah, celaka! Ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba aku merasakan suasana yang lebih mencekam dari sebelumnya. Listrik di rumah ini padam. Cahaya remang-remang tak dapat menyembunyikan keganjilan wajahnya. Aku benar-benar menaruh rasa curiga. Dalam mitologi Yunani terkenal, ada Castor dan Pollux. Anak kembar yang mengilhami terciptanya rasi bintang Gemini. Pollux merasa kehilangan saat Castor terbunuh dalam pertempuran.

Tak ada cahaya lampu yang membuat pisau itu berkilat. Tak pernah ada darah segar yang muncrat. Aku terpekik. Seorang perempuan menjerit. Aku yakin itu suara Levinna. Aku dengar langkah kakinya bergerak cepat entah ke mana.

Mati listrik ini bukan skenarioku. Semua mata kuharap terbelalak ketika lampu menyala. Apa yang terjadi, kiranya itu yang akan ada dalam pikiran mereka. Jantung Levinna berdebar. Levinna merasakan ketegangan. Ia tidak mampu menahan tangis. Dadanya bergemuruh.

Wajah Andrew pucat. Jantungnya seakan ditikam. Irama jantungnya terganggu. Vertigo memutari kepalanya. Ia jatuh. Sayup-sayup aku mendengar jeritan Bibi Gracie bersamaan dengan tubuhnya yang terhuyung ke belakang. Ambruk ke lantai. Tak sadarkan diri. Andrew?

Levina menatap ventilasi di hadapannya, memicingkan matanya lalu menarik napas. Huh. Ambulance akan datang tak lama setelah panggilan darurat itu selesai. Terjadi self report. Ia melaporkan penemuan mayat itu. Berpura-pura tidak mengetahui pembunuhnya.

Suara lonceng akan berbunyi bila pintu dibuka. Dua lelaki penjaga memperhatikan langkah kaki yang semakin mendekati pintu keluar. Aku tersenyum.

“Leej twg yog tus tua.” Kata mereka

Aku memperhatikan mereka hingga beberapa menit lamanya. Aku bersungut, berbicara dengan diri sendiri seperti sedang mengobrol dengan orang lain. Aku tertawa bengis sambil mengangkat alis, “Bukan aku pembunuhnya.”

Aku selalu bisa menghadapi kesendirianku. Levinna jarang datang. Aku tak bisa memaksa kapan dia harus datang. Namun aku mengurung diri bersamanya semenjak kematian Andrew. Dia menginterogasi aku, menemukan titik terang dari masalah aku dan Andrew. Aku merasa cemas tetapi juga merasa terbantu dengan kehadirannya. Ia membantuku menyelesaikan cerita ini.

Aku suka menulis cerita fantasi. Lembaran kertas menjadi ruang imajinasi. Tempat berbagi cerita yang lebih luas. Levinna bilang aku perempuan ilusif. Awalnya aku tak paham. Aku sering bertanya, “Ayah, Ibu apa artinya ilusif?”. Keripuhan mereka membuatku rapuh. Aku senang, penulisan cerita ini membuatku memahami perkataan Levinna. Aku penuh delusi.

Kondisi emosi dan beban pikiran menyulitkanku menghadapi masalah secara nyata. Aku sering pindah rumah. Sedari kecil orang tuaku menyediakan rumah sebagai ruang penyendiri. Mereka sibuk bekerja. Hingga usiaku dua dekade aku diasuh Bibi Gracie. Aku sangat kehilangan sejak kematiannya, satu minggu lalu. Keponakannya, Andrew menikamnya saat ia tertidur. Aku kehilangannya. Kehilangan satu-satunya raut wajah yang khawatir tiap kali aku berkata “Aku mau di kamar saja, Levinna tak ingin bermain di luar”.

Ditulis oleh : Masriah – Universitas Negeri Jakarta

Leave A Comment

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?