Penulis: Nur Rina Khadijah – UNJ
Pernahkah kamu merasa jantung berdebar lebih cepat hanya karena melihat seseorang? Atau merasa dunia runtuh hanya karena satu pesan tidak dibalas? Cinta dii usia remaja, bisa terasa lebih penting daripada segalanya. Rasanya nyata, menggebu, dan sering kali menyita seluruh perhatian. Tapi apakah semua yang kita rasakan itu selalu benar? Atau justru kita perlu berhenti sejenak dan berpikir: apakah cinta cukup dengan rasa saja, atau perlu memakai logika?
Masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Segala sesuatu terasa baru dan mendebarkan. Di saat emosi sedang labil dan otak belum berkembang sepenuhnya, remaja kerap terbawa arus perasaan yang belum tentu sehat. Kehilangan fokus belajar, bahkan kehilangan kepercayaan diri karena cinta yang tidak dikelola dengan bijak.
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana cinta di usia remaja bisa menjadi pengalaman yang membangun, jika dituntun dengan perasaan dan logika, serta wawasan dari sisi ilmiah yang dijelaskan oleh dr. Ryu Hasan.
Dalam menjalani cinta, terutama di usia remaja, sering kali kita berada di antara dua kekuatan: hati dan akal. Keduanya penting, tetapi memiliki peran yang berbeda.
Hati adalah pusat rasa. Ia membuat kita bisa merasakan sayang, kagum, rindu, bahkan sedih saat cinta tidak terbalas. Hati adalah sumber kehangatan cinta, tetapi juga bisa membutakan jika tidak dikendalikan. Banyak remaja bertahan dalam hubungan yang tidak sehat hanya karena merasa “sudah terlalu sayang”.
Di sisi lain, akal adalah penuntun. Ia membantu kita berpikir:
Apakah hubungan ini baik untukku?
Apakah aku tetap bertanggung jawab atas diriku sendiri?
Apakah aku sedang tumbuh atau justru melemah karena cinta ini?
Akal tidak mematikan rasa, tapi menuntun agar rasa tidak salah arah. Dengan akal, kita bisa mencintai tanpa kehilangan harga diri dan masa depan.
Cinta yang dijalani hanya dengan hati bisa berujung luka. Sementara cinta yang hanya mengandalkan akal bisa terasa dingin. Maka, cinta yang sehat adalah ketika hati dan akal berjalan seimbang.
Dalam video YouTube oleh dr. Ryu Hasan berjudul “Cinta Lebih Adiktif daripada Narkoba” dijelaskan bahwa cinta bukan hanya soal perasaan. Secara ilmiah, cinta melibatkan zat kimia di otak, salah satunya adalah dopamin.
Dopamin adalah zat yang membuat kita merasa senang dan “melayang”. Zat ini juga muncul saat orang mengonsumsi narkoba. Itulah mengapa jatuh cinta terasa adiktif. kita ingin terus dekat, terus diperhatikan, terus bersama.
Namun, dopamin bisa menumpulkan logika. Saat cinta menguasai otak, kita bisa:
Sulit berpikir jernih.
Mengabaikan tugas dan tanggung jawab.
Bertindak impulsif tanpa mempertimbangkan akibatnya.
Menurut dr. Ryu, inilah alasan banyak remaja membuat keputusan keliru saat sedang jatuh cinta. Mereka tidak menyadari bahwa otaknya sedang “dibanjiri” senyawa yang mengganggu rasionalitas.
Cinta yang tidak seimbang antara rasa dan logika bisa menimbulkan banyak masalah, terutama di usia remaja. Dampaknya bisa berupa:
Cinta yang baik adalah cinta yang membuat kita berkembang, bukan tenggelam. Beberapa langkah penting agar cinta tetap sehat:
Saat jatuh cinta, jangan buru-buru untuk mengambil keputusan yang besar. Beri waktu untuk berpikir. Jangan langsung percaya dengan semua omongan sampai rela melakukan apa pun hanya karena kamu “terlanjur sayang”.
Buat aturan yang jelas, misalnya tentukan kapan waktu untuk ngobrol, seberapa sering ketemu, atau hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jangan sampai hubungan ini bikin kamu lupa belajar atau kehilangan kontrol atas dirimu sendiri.
Ingat, cinta di masa remaja belum tentu berakhir di pelaminan. Tapi pendidikan dan impianmu adalah investasi nyata. Jangan korbankan masa depanmu hanya demi kisah cinta sesaat.
Jika bingung atau memilki masalah cinta, coba curhat ke orang tua, guru, atau kakak pembina. Mereka bisa kasih masukan yang lebih jernih dan bantu kamu berpikir lebih luas.
Sebelum mencintai orang lain, pastikan kamu sudah mengenali dirimu sendiri, apa yang kamu mau, dan apa yang bikin kamu bahagia. Cinta yang baik dimulai dari rasa sayang pada diri sendiri.
*****
Cinta di usia remaja menjadi pengalaman yang indah dan penuh warna. Tapi rasa saja tidak cukup. Perlu logika untuk menjaga agar cinta tidak berubah jadi luka. Dengan hati yang terbuka dan akal yang sadar, cinta bisa jadi kekuatan yang membangun, bukan menjatuhkan.
Untuk kamu para remaja, jangan takut jatuh cinta tapi jangan juga sembarangan dalam mencinta. Dengarkan hatimu, tapi ajak logikamu bicara. Kenali dirimu, hargai dirimu, dan bangun cintamu di atas pondasi yang sehat. Karena kamu pantas untuk tumbuh, bahagia, dan dicintai dengan cara yang benar.
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.