Penulis: Afifah Fayza – Universitas Kristen Indonesia
Kelas XII IPA sebenarnya kelas biasa… kalau saja tidak seperti oven kos-kosan yang lupa dimatiin. Di tengah neraka itu, cuma ada dua kursi sakti di samping jendela: tempat angin AC keluar dengan lembut seperti bisikan masa depan yang lebih baik.
Dua kursi itu seperti destinasi wisata gratis—tepatnya wisata ke Kutub Utara versi sekolah negeri. Sayup, si sprinter alami karena trauma kalah rebutan gorengan di rumah “yang lambat tidak makan, Sayup,” kata ibunya dulu, selalu menjadikan dua kursi itu sebagai medali emas Olimpiade-nya.
Sementara Siti—makhluk penuh strategi absurd, menandai kursi itu setiap pagi dengan barang-barang yang tidak punya hubungan apapun dengan kehidupan:

Kelas selalu bingung. Siti cuma jawab, “Ya… biar kursinya merasa dia ditemenin.”
Setiap pagi, kelas berubah jadi arena Hunger Games versi hemat. Sayup sprint dari gerbang sekolah, melawan gravitasi, angin, dan harapan-harapan palsu. Kadang dia lari begitu cepat sampai satpam cuma lihat bayangan dan berkata,
“Lho, itu anak? Atau kipas angin lewat?”
Siti di sisi lain datang dengan tas gendut berisi benda tak terduga.
“Strategi harus fleksibel,” katanya sambil menaruh buah naga dingin di kursi.
“Biar kursinya tau aku peduli.”
Warga kelas XII IPA menjadi komentator profesional.
“Woy woy woy!! Hari ini Sayup start awal! Siti masih bongkar tas!”
“Gua pasang taruhan 5.000 Sayup jatuh di tikungan lantai dua!”
“Bro, ini sekolah apa stasiun judi?”
Pak Suryo dari sudut ruangan cuma menyeruput kopi sambil senyum tipis seperti villain anime. Dia tidak menghentikan mereka. Dia MENIKMATI semuanya.
Ketika perang kursi makin tak terkendali, kelas menciptakan kompetisi resmi: THE WINDOW GAMES
Slogan: “Siapa cepat dia dingin… Semoga AC-nya hidup.”
Ada tiga babak:
Pada hari final, Sayup dan Siti maju sebagai dua kandidat terkuat. Siti bawa senjata pamungkas: kipas mini solar powered yang cuma nyala kalau dia melototin mataharinya. Sayup hanya membawa kaki dan niat hidup.
Warga kelas seru banget:
“AYO SAYUP!! Gas kayak dikejar tugas Biologi!”
“SITI! Tunjukkan buah naga-mu!!”
“WOY JANGAN BAWA BUDAK PERSAMI KE KELAS!”
Itu karena Siti sempat membawa kompas dan tali rafia, entah untuk apa.
Peluit ditiup.
Sayup melesat seperti roket yang depresi. Siti mencoba sabotage halus dengan menjatuhkan penghapus beraroma lavender di lantai.
Sayup hampir terpeleset, tapi dia salto tiga kali lalu mendarat lagi.
Siti kaget. Kelas kaget. AC kaget (meskipun tidak menunjukkan ekspresi apa pun).
Setelah drama miring-miring, nyenggol-nyenggol, dan hampir menggulingkan meja Kimia, Sayup akhirnya tiba lebih dulu.
Ia duduk.
Di kursi sakti.
Di kursi penuh harapan.
Di kursi legendaris yang katanya bisa memberikan kesejukan jiwa.
Semua menahan napas.
Sayup menutup mata. “Ahhh… angin surg—”
TUK!

Suara AC mati.
Angin berhenti. Suhu naik. Harapan runtuh.
Kelas XII IPA hening. Bahkan kipas solar powered milik Siti menyerah dan mati.
Sayup berkata lirih, “Aku… mengejar angin… tapi anginnya mati…”
Seluruh kelas duduk diam seperti kerupuk melempem. Sayup menatap langit-langit, mempertanyakan seluruh perjalanan hidupnya.
Siti menepuk bahunya.
“Gapapa, Yup. Yang penting kita sudah berjuang… walaupun ya… hasilnya nihil.” Sayup cuma tersenyum pahit seperti anak yang tahu snack-nya basi.

Besoknya, seluruh kelas memutuskan berdamai dengan realita.
“Udahlah, panas ya panas. Kita kuat,” kata mereka sambil meleleh pelan.
Sayup tidak sprint. Siti tidak bawa barang aneh. Warga kelas tidak taruhan. Pak Suryo sedikit sedih karena tidak ada tontonan.
Tapi tepat jam 09.43…
AC NYALA LAGI.
Anginnya lembut.
Dingin.
Menggoda.
Menghancurkan iman.
Seluruh kelas spontan berdiri.
Sayup bersiap lari. Siti sudah buka tas. Warga kelas pasang taruhan Cashless. Pak Suryo senyum jahat sambil nyeruput kopi.
Lingkaran kebodohan pun terus berputar…
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
