Penulis: Chiara Ardelia – Universitas Negeri Jakarta
Anara sibuk memperhatikan layar laptopnya yang menyala sembari menyeruput ice matcha latte di tangannya. Jari-jarinya berhenti di atas keyboard, kaku. Seharusnya dia bisa menyelesaikan bab terakhir novel terbarunya malam ini, tapi pikirannya justru melayang ke masa lalu.
Di folder kosong itu, dia mengetik sebuah judul:
He Was My First Love.
Anara tersenyum tipis. Bertahun-tahun sudah lewat, tapi kenangan itu masih begitu jelas—wajah seorang cowok di lapangan basket, suara sorak-sorai penonton, dan perasaan aneh yang waktu itu baru pertama kali dia rasakan.
Lalu, pikirannya pun terlempar jauh ke masa SMA…
Saat itu, Anara menatap dengan serius pemandangan di hadapannya. Bukan pemandangan, lebih tepatnya beberapa orang berlari ke sana-kemari memperebutkan sebuah bola untuk dimasukkan ke gawang lawan. Sorak-sorai penonton pun memenuhi gedung lapangan indoor ini. Mereka saling meneriaki nama pemain yang mereka dukung, bagaikan supporter bola sesungguhnya. Bisa dibayangkan riuhnya bukan main. Apalagi dengan adanya sang cassanova dalam pertandingan itu, seorang cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik perhatian kaum Hawa di sekolahnya.
Bagi Anara, memandang Rei dari jauh telah menjadi sumber kebahagiannya selama ini. Namanya Reinara Gustaf, salah satu cowok penghuni 12 MIPA 3 yang menjadi kapten fusal di sekolahnya. Pertama kali Anara bertemu dengan Rei saat MOS, kala itu Rei menjadi pembimbing Anara dan teman-teman satu angkatan. Iya, selain menjadi kapten futsal, Rei juga menjabat sebagai wakil Ketua OSIS.
Rei yang memiliki wajah tampan, mata berwarna hitam teduh, apalagi pesona Rei meningkat tajam ketika cowok itu memakai almamaternya. Di mata seorang gadis remaja, cinta pertama memang sering terasa seperti keberuntungan… seseorang muncul tiba-tiba di hidupmu, sempurna tanpa cacat, seakan dikirim langsung oleh semesta. Kesimpulannya, Rei itu definisi dari tokoh sempurna di cerita fiksi kebanyakan, sangat sempurna sekaligus mengagumkan.
Sayangnya realita nggak selalu semulus ekspektasi. Selepas masa orientasi sekolah, kesempatan Anara melihat Rei semakin jarang. Rei adalah idola banyak cewek, dan disitulah Anara sadar bahwa dirinya hanya satu di antara sekian banyak pengagum. Ibaratnya, Anara ini hanya seekor ulat di antara puluhan ekor ayam.
Terlebih lagi Anara harus mencari Rei setiap hari dengan berbanding lebih dari dua ratus cowok di sekolahnya, itu pun jika bertemu pas-pasan atau tidak sengaja melihat Rei.
Iya, Anara hanya bisa melihat Rei dari jauh.
Memendam perasaan itu memang tidak enak. Di satu sisi nyaman, di sisi lain sakit saat melihat orang yang kita sukai bersama orang lain. Mau cemburu tapi nggak punya hak. Terkadang first love itu selalu berada di wilayah abu-abu—terlalu besar untuk diabaikan, tapi terlalu rapuh untuk diperjuangkan.
Tapi bagi Anara, Rei itu spesial pakai banget seperti martabak telur. Melihat Rei dari jauh sudah menjadi hobi Anara saat ini. Seperti ketika melihat Rei sedang duduk dan tertawa bersama teman-temannya di kantin, Anara ikut bahagia. Mungkin bisa dikatakan definisi bahagia bagi Anara sekarang adalah melihat Rei bahagia, Anara akan ikut bahagia.
Pernah saat itu Anara menjadi stalker-nya Rei. Anara mengamati seluruh postingan Rei di Instagram satu per satu, untung saja akunnya tidak dikunci, dan lebih parahnya lagi Anara tidak sengaja menekan tombol follow. Astaga, astaga, astaga, bisa kalian bayangin malunya gimana dan Anara malu terhadap dirinya sendiri. Mau membatalkan mengikuti Rei tapi notifikasi ‘@anarakirana started following you‘ pasti sudah muncul di notifikasi ponsel cowok itu. Akhirnya, Anara membiarkan hal itu terjadi, dan gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam hati.
Tapi selang beberapa menit, muncul notifikasi ‘@reinaragustaf started following you‘. Demi dunia yang hanya selebar sempak Mimi Peri, Anara langsung jingkrak-jingkrak dan melakukan gerakan akrobatik di kamarnya seperti sehabis memenangkan lotre dengan hadiah besar. Senangnya bukan main. Padahal niat Anara hanya untuk stalking tanpa ingin mengikuti cowok itu. Ah, ternyata bahagia sesederhana itu.
Jika dipikir-pikir Rei cukup kenal dengan Anara sepertinya. Mungkin kalian berpikir bahwa Anara yang menyukai Rei dalam diam, cowok itu tidak mengenal Anara sama sekali. Nyatanya salah, Rei kenal dengan Anara. Ya… meskipun hanya sebatas adik kelas. Beberapa kali sapaan gadis itu dibalas oleh Rei ketika mereka tidak sengaja bertemu atau berpas-pasan di koridor.
Seperti pada suatu hari:
Anara membawa kotak bekalnya di tangan kiri, di sampingnya ada Bella, teman sekelasnya sekaligus tempat curhatnya. Kebetulan saat itu sedang jam istirahat, Anara berniat untuk menghabiskan bekalnya di kantin sekalian menemani Bella makan bakso. Sejujurnya Anara memang jarang makan di kantin, dia lebih suka di kelas, sepi, terus dingin. Bikin nyaman.
“Bell, Bell…” Anara menarik-narik tangan Bella.
“Apaan sih?” Bella yang sedang memainkan ponselnya itu merasa terganggu.
“Itu, Kak Rei, Bell! Astaga, Bellaaa!” Anara menahan diri untuk tidak menjerit ketika melihat sosok cowok jangkung sedang berjalan berlawanan arah dengan dirinya dan Bella.
Cowok itu terlihat sedang membaca buku di tangannya sambil berjalan, Anara tidak yakin kalau Rei benar-benar membaca. Sementara itu, almamater berwarna biru tua milik Rei disampirkan di lengannya. Baju putih berlengan panjangnya di gulung sampai siku. Ah, Rei itu memang boyfie-able!
“Rei lagi, Rei lagi, jangan bilang lo mau nyapa?!” tebak Bella dan tepat mengenai sasaran.
“Kok lo tau, sih? Udah sana jauhan dulu!” Anara mendorong Bella dengan tangannya agar dia menjauh. Bella hanya geleng-geleng kepala, untung dia penyabar.
Ketika jarak antara Anara dengan Rei mulai menipis, gadis itu cepat-cepat memperbaiki penampilannya sembari berdeham. “Hai, Kak Rei!” sapanya dengan senyum terbaik.
Rei menoleh, menutup bukunya. “Oh, kamu? Hai juga. Mau ke mana?”
Jantung Anara berdegup kencang, wajahnya memanas. “Eh, itu—ke kantin. Kak Rei sendiri mau ke mana?” Anara menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, saking gugupnnya sampai keringat dingin.
“Gue mau ke ruang OSIS, ada rapat gitu lah.”
“Oh…” Anara mengangguk-angguk.
“Kalau gitu gue duluan ya. Bye.” Rei tersenyum pada Anara sebelum pergi lalu menghilang di balik koridor.
Ya Tuhan, Anara yakin kini saat itu wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Ah mengingat kejadian itu membuat jantungnya tidak sehat.
Kembali ke laptop.
Anara bertepuk tangan ketika tim Rei berhasil memenangkan pertandingan. Suasana di dalam lapangan indoor semakin ramai, bahkan tak tanggung-tanggung beberapa siswi ada yang meneriaki nama Rei dengan santainya.
Melihat itu membuat Anara berintropeksi diri. Kapan dia bisa seleluasa itu? Bahkan Anara tidak berani meneriaki nama Rei seperti itu, apalagi menyatakan perasaannya. Untuk yang terakhir, pada dasarnya cowok yang menyatakan perasaan duluan, kan?
Tapi Anara tahu, hidup itu tidak selalu happy ending seperti di film-film Disney. Apalagi bisa merasakan bahagianya Salma ketika dicintai oleh cowok setulus Nathan. Kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah. Ketika kamu masuk ke sana, kamu berpikir bahwa dirimu akan disukai dan dikejar-kejar oleh sang cassanova dan lain-lain seperti halnya kisah cinta pada umumnya di novel-novel percintaan. Tapi, semua itu salah besar dan Anara tidak tahu mengapa hal itu bisa muncul secara tiba-tiba di otaknya.
“Kak Rei—”
Senyum Anara yang semula mengembang menjadi pias. Raut wajahnya menjadi sendu menahan rasa kecewa. Genangan air mulai berkumpul di pelupuk matanya seperti sudah siap untuk tumpah. Hati Anara rasanya sakit, rasa sakit itu memenuhi rongga dadanya, membuat sesak.
“Kak Rei…” kata terakhir yang bisa Anara ucapkan, sembari berbisik dari kejauhan.
Ya, Anara tahu, dia Lea anggota cheerleaders, perempuan yang sedang berdiri di hadapan Rei sembari memberinya sebotol air mineral dingin, dan yang lebih menyakitkan adalah Rei menerima minuman itu dengan senang hati sambil tersenyum manis lalu mengacak rambut Lea.
Anara tahu rumor bahwa Rei dan Lea berpacaran, tapi Anara pura-pura tidak mendengar bahwa rumor itu nyata. Bahkan beberapa kali Bella sudah mengingatkannya, sekarang Anara membuktikan sendiri dengan mata kepalanya bahwa Rei… kakak kelasnya, sumber kebahagiaannya, telah menjadi milik orang lain. Anara tahu betul apa yang harus dilakukan saat ini. Berjalan mundur dan berusaha mengubur perasaannya.
Kini Anara sadar, bahwa perasaan tidak selalu mendapat balasan.
Kini Anara sadar, bahwa hidup tidak selalu tentang happy ending.
Kini Anara sadar, bahwa kisah cintanya tidak seperti di dunia Wattpad.
Kini Anara sadar, bahwa sumber kebahagiaannya bisa menjadi sumber kekecewaannya.
Dan kini Anara sadar, bahwa perasaannya hanya sebatas mengagumi tanpa bisa memiliki.
Ya, memiliki Reinara Gustaf hanya sebatas mimpi angan-angan,
tidak nyata,
dan fana.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.