Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Semua Orang Sudah Berlari

Penulis: Afifah Fayza – UKI

Emang kalau aku masih belum nemuin jalan aku itu salah ya? kenapa semua orang selalu nanya sekarang aku udah harus siap sekarang?

Obrolan Kantin yang Bikin Sesak

Suara bel istirahat berbunyi keras, memecah konsentrasi siswa kelas XII yang sejak tadi pura-pura serius memperhatikan penjelasan guru. Kantin mendadak penuh, riuh dengan tawa, teriakan, dan aroma gorengan yang digoreng buru-buru.

Aruna duduk di bangku panjang pojokan bersama dua sahabatnya, Gina dan Rio.

“Run, lo udah daftar kampus belum?” tanya Gina sambil membuka bungkus nasi uduk. Ia terlihat ceria seperti biasa, rambutnya yang sebahu diikat seadanya.

Aruna tersenyum kecil. “Belum,” jawabnya singkat.

Rio ikut nimbrung. “Gue udah, Run. Mau coba Arsitektur. Kayaknya keren aja gitu bisa gambar gedung.” Ia menyuap bakso goreng, mulutnya penuh tapi tetap cerewet.

“Kalau lo gimana, Gin?” tanya Rio balik.

“Aku keterima di jalur prestasi, jurusan Hukum,” jawab Gina sambil tersenyum bangga. 

“Papa sama mama seneng banget, katanya cocok sama aku yang cerewet.”

Mereka tertawa. Aruna ikut tersenyum, tapi dalam hatinya mendadak terasa sesak. Obrolan ini sudah terlalu sering terdengar, dan setiap kali muncul, dadanya seperti ditindih batu. Semua orang di sekitarnya seakan tahu mau ke mana, sementara dirinya… kosong.

“Run, lo mau daftar apa? Atau udah ada bayangan belum?” tanya Gina lagi.

Aruna terdiam sejenak, pura-pura sibuk mengaduk es teh. “Belum kepikiran,” jawabnya lagi, suara nyaris tak terdengar.

Gina dan Rio saling pandang, tapi mereka tidak bertanya lebih jauh. Mereka tahu Aruna tipe orang yang kalau belum mau cerita, tidak bisa dipaksa.

Pernah gak kamu kuatir sama masa depanmu karena kamu merasa semua orang sudah berlari, tetapi kamu masih diam di tempat?

Brosur Penuh Pilihan yang Terasa Asing

Malamnya, suasana rumah kecil itu terasa tenang. Televisi menyala dengan suara sinetron, lampu ruang tamu temaram. Namun, bagi Aruna, ketenangan itu hanya tipuan. Ia tahu, cepat atau lambat, ibunya akan menyinggung hal yang sama lagi.

“Run,” suara ibunya terdengar dari dapur. “Kamu udah cari-cari info kuliah belum? Jurusan apa yang kamu mau?”

Aruna yang sedang men-scroll ponselnya di sofa, terdiam. Pertanyaan itu sudah terlalu sering ia dengar. “Belum, Bu.”

“Loh, teman-temanmu kan udah pada daftar. Kamu jangan sampai ketinggalan. Nanti malah bingung sendiri.”

Aruna menahan napas. Ia ingin menjawab panjang, tapi akhirnya hanya berkata singkat, “Iya, Bu.”

Ibunya tidak sadar betapa setiap kalimatnya seperti jarum menusuk. Bukan karena tidak peduli, justru sebaliknya—ibunya peduli, mungkin terlalu peduli. Tapi bagi Aruna, semua itu hanya menambah tekanan.

Keesokan nya,  di kelas, guru BK membagikan brosur universitas. Semua siswa tampak antusias membolak-balik brosur sembari menandai jurusan yang mereka suka.

Aruna hanya menatap lembaran brosur itu di tangannya. Jurusan-jurusan itu terasa asing, seperti bahasa lain yang tidak dimengerti. Teknik, Hukum, Ekonomi, Psikologi. Semuanya tampak begitu pasti, tapi tidak ada yang benar-benar memanggil hatinya.

“Run, coba deh liat jurusan Desain Komunikasi Visual.  Lo suka gambar, kan?” bisik Gina sambil menunjuk salah satu brosur.

Aruna mengangguk seadanya. Ia memang suka menggambar, tapi apakah cukup untuk jadi pilihan hidup? Ia takut terlalu lemah. Ia takut gagal.

Kalian yang Selalu di Sisiku

Hari itu akhirnya datang. Malam yang terasa lebih berat dari biasanya.

“Run,” suara ibunya lagi, kali ini lebih tegas. “Kamu tuh mau kuliah apa nggak sih? Jangan cuma diam aja. Masa depanmu itu, Nak. Ibu khawatir kalau kamu nggak serius dari sekarang.”

Aruna menatap layar ponselnya, tapi matanya sudah buram, tenggorokan nya terasa tercekik, kepalanya penuh suara. Ia berusaha menahan, tapi akhirnya pecah.

“Bu!” suaranya meninggi, nyaris berteriak. “Aku nggak tahu! Aku nggak tahu aku mau jadi apa! Semua orang kayaknya udah yakin, sementara aku… aku cuma bingung. Aku takut salah pilih. Aku takut kalau aku nggak sehebat mereka!” Air mata jatuh begitu saja.

Ibu terdiam karena kaget dengan luapan emosi Aruna. Setelah beberapa detik hening, ia perlahan mendekat, duduk di samping Aruna.

“Nak…” suaranya lembut, berbeda sekali dari nada sebelumnya. “Nggak apa-apa kalau kamu belum tahu sekarang. Yang penting kamu terus cari. Ibu cuma ingin kamu bahagia dengan jalan yang kamu pilih.”

Aruna menangis di pelukan ibunya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian dalam kebingungannya.

Esoknya di sekolah, ketika mereka sedang mengobrol di kantin Aruna akhirnya bercerita pada Gina dan Rio.

“Gue bener-bener takut, Gin, Yo. Rasanya semua orang udah jalan jauh, sementara gue masih diem di sini.”

Gina menggeleng. “Run, lo nggak sendirian kok. Banyak orang juga bingung. Gue punya sepupu udah kuliah tapi masih ragu jurusannya. Jadi, santai aja.”

Rio menambahkan, “Iya, lagi pula nggak semua hal harus lo temuin jawabannya sekarang. Yang penting lo mulai nyari. Jalan lo bisa beda, tapi bukan berarti lo tertinggal.”

Kata-kata itu membuat Aruna sedikit lebih lega.

download (2)

Langkah Pertama yang Belum Sempurna

Malam itu, Aruna duduk di meja belajarnya. Ia membuka buku catatan kosong, lalu menuliskan hal-hal kecil yang ia sukai: menggambar, menulis cerita, ngobrol dengan orang, membantu teman.

Ia menuliskan juga jurusan yang mungkin sesuai: DKV, Sastra, Psikologi.

Untuk pertama kalinya, Aruna merasa ada langkah kecil yang ia ambil. Jawaban final memang belum ada, tapi ia tidak lagi merasa lumpuh.

Semua orang boleh saja sudah berlari, pikirnya. Tapi ia juga punya hak untuk berjalan dengan kecepatannya sendiri. Yang penting, langkah itu tetap miliknya.

Aruna masih belum tahu pasti jalan hidupnya. Namun ia mengerti satu hal: proses setiap orang berbeda. Tidak ada yang benar-benar tertinggal, hanya waktu dan jalannya saja yang tidak sama.

download (1)

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 25