Majalah Sunday

Pintu yang Tertutup

 

Penulis: Afifah Fayza – UKI

Naira cewek 16 tahun yang lagi aktif-aktif nya OSIS , tipe yang nggak bisa diem kalau ada acara sekolah. Sifatnya agak keras kepala, tapi hatinya gampang baper apalagi kalau dimarahin. Ayahnya protektif banget, kelihatan nya galak tapi sebenernya cuma takut Naira kenapa-kenapa—sayangnya cara ngomongnya suka bikin rumah jadi tegang, untung ada Ibu yang selalu jadi penengah, sabar banget, dan jadi tempat curhat andalan Naira tiap lagi drama.

Malam yang menegangkan

Lampu ruang tamu menyala terang ketika Naira memutar kunci rumah. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30. Nafasnya masih agak terengah setelah berlari kecil dari gang depan.

“Yah, maaf aku telat. Rapatnya kelamaan…”

Kalimat itu nyaris tertelan oleh keheningan yang tegang. Ayah duduk di sofa, wajahnya datar, tapi matanya menatap tajam. Kok tatapannya kayak gitu sih? Baru juga sekali pulang telat…

“Kamu tahu jam berapa ini, Naira?” suaranya berat, menahan marah.

“Jam delapan lewat…” jawab Naira pelan.

“Delapan lewat apa? Hampir setengah sembilan! Kenapa kamu nggak kasih kabar?!”Nada suara ayah meninggi, membuat dada Naira berdebar.

Aduh, kenapa sih harus dibesarin kayak gini? Kan aku cuma rapat OSIS, bukan keluyuran…

“Aku sibuk rapat, Yah. HP-ku di-silent.”

“Alasan! Kamu pikir Ayah nggak cemas? Anak perempuan pulang malam, zaman sekarang bahaya!”

Naira menunduk. Ia tahu ayahnya tipe yang protektif. Tapi saat kata-kata berikutnya meluncur, dunia seolah berhenti.

“Mulai besok, kamu nggak usah ikut OSIS lagi. Ayah nggak mau ini terulang.”

Naira menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

Apa? Ayah nggak ngerti ya OSIS itu penting banget buat aku? Kenapa harus dilarang?

“Apa? Yah, itu nggak adil! OSIS itu penting buat aku!”

“Penting? Lebih penting daripada keselamatanmu?!”

Naira menggigit bibir, menahan tangis. Tanpa menjawab, ia berlari ke kamar. BRAK! Pintu tertutup keras.

Malam itu, kamar Naira menjadi bentengnya. Ia melempar tas ke sudut kamar, lalu duduk di lantai. Air mata akhirnya tumpah.

“Kenapa sih Ayah selalu nggak percaya sama aku?” bisiknya. Ia menatap ponselnya. Grup OSIS masih ramai membahas hasil rapat, tapi ia tak membalas satu pun.

Percuma, apa gunanya aku ikut kalau besok aku harus keluar? Semua kerja kerasku selama ini sia-sia.

Di ruang tamu, Ayah duduk termenung. Ibu yang sejak tadi diam akhirnya bicara.

“Yah, mungkin kamu terlalu keras barusan.”

“Aku cuma nggak mau dia kenapa-kenapa di jalan, Bu. Dia masih 16 tahun!”

Ibu mengangguk pelan. “Tapi melarang ikut OSIS mungkin terlalu jauh. Itu hal yang dia sukai.”

Ayah terdiam, genggamannya di remote TV semakin erat.

Mungkin aku terlalu keras? Tapi aku cuma takut… pikirnya dalam hati.

 

Pagi yang dingin

Keesokan harinya, suasana meja makan hening. Naira sarapan tanpa menoleh ke ayahnya.

Kok rasanya meja makan jadi dingin banget, ya. Biasanya pagi-pagi kita bercanda…

“Kamu nanti pulang jam berapa?” tanya ayah, mencoba membuka percakapan.

Naira hanya mengangkat bahu. “Nggak tahu.”

Biarin aja. Mau pulang jam berapa juga, toh aku udah dilarang ikut OSIS.

Ayah mendengus. “Jangan pulang malam lagi.”

Naira berdiri dari kursi. “Ya udah, aku berangkat sekolah.”

Daripada aku duduk di sini dan pura-pura semuanya baik-baik saja.

Pernah gak sih ngerasa kepingin menggapai sesuatu tapi ternyata kita harus berhadapan dengan pintu yang tertutup? Baca selengkapnya!
(Klik gambar di atas, ketikan alt text yang di dalamnya harus ada keyphrase, jika sudah pilih caption, pilih custom caption)

Keberanian yang terkumpul

Sore itu, setelah pulang sekolah, Naira langsung masuk kamar. Ibu mengetuk pelan.

“Boleh Ibu masuk?”Naira hanya mengangguk, matanya sembab.

Ibu duduk di tepi tempat tidur.

“Naira, Ibu ngerti kamu marah. Tapi Ayah cuma khawatir. Dia nggak bermaksud bikin kamu sedih.”

Naira menghela napas panjang.

Kenapa sih semua orang bilang Ayah cuma khawatir? Kalau sayang, mestinya dukung aku, bukan larang aku.

“Kalau khawatir kenapa harus larang aku ikut OSIS? Bu, OSIS itu penting buat aku. Aku kerja keras biar bisa jadi ketua divisi. Sekarang semua sia-sia…”

Ibu meraih tangan Naira.

“Sayang, kadang Ayah menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang keras. Kamu harus coba bicara baik-baik. Biar Ayah juga mengerti kamu serius.”

Naira terdiam lama.

Bicara baik-baik? Aku bahkan nggak sanggup ketemu Ayah tanpa kesal. Tapi kalau aku diem terus, OSIS benar-benar bakal hilang dari hidupku.

Malam itu, Naira mengumpulkan keberanian. Ia keluar kamar dengan langkah berat. Ayah sedang menonton berita.

Oke, Naira. Tarik napas. Kamu bisa.

“Yah…” suaranya pelan.

Ayah menoleh. “Ya?”

“Aku… minta maaf nggak kasih kabar kemarin. Aku salah. Tapi, Ayah, OSIS itu penting buat aku. Aku janji mulai sekarang akan selalu kasih kabar kalau pulang telat. Tolong izinkan aku tetap ikut.”

Ayah terdiam lama. Ekspresinya mulai melunak.

Mungkin dia benar-benar serius. Anak ini sudah cukup besar untuk belajar tanggung jawab.

“Ayah cuma takut kamu kecapekan atau kenapa-kenapa. Tapi kalau kamu janji, Ayah percaya.”

Naira tersenyum lega.

Ya Tuhan, akhirnya! Aku nggak harus menyerah sama mimpiku. “Iya, Yah. Aku janji.”

Ayah mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan lupa tanggung jawab di rumah dan sekolah.”

“Siap!” jawab Naira sambil tertawa kecil.

Sejak malam itu, suasana rumah berubah. Naira tidak lagi mengurung diri. Ayah pun lebih sering menanyakan jadwalnya, tapi tanpa nada menghakimi.

Pintu kamar Naira kini lebih sering terbuka. Tak hanya pintu fisik, tapi juga hatinya.

Kadang aku lupa kalau Ayah cuma manusia yang bisa takut kehilangan. Sekarang aku ngerti: kalau aku mau dimengerti, aku juga harus berani ngomong.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 50