Majalah Sunday

The path that leads to us

Penulis: Cindy Trianita – UKI

Mereka bilang, arsitektur itu tentang membangun. Tapi, yang aku rasain, itu cuma tentang terjebak. Terjebak di antara beton-beton Jakarta yang dingin dan mimpi-mimpi ayahku yang hilang dua puluh tahun lalu.” – Arka

Sejak kecil, nenekku selalu cerita tentang sebuah kota. Kota yang cuma ada di dongeng. Kota yang dibangun dari cahaya bintang. Mereka bilang, kota itu cuma bisa ditemukan sama orang-orang yang jalannya berbeda.” – Kirana

“Dia punya peta bintang. Aku punya cetak biru. Kami berdua mencari hal yang sama. Tapi jalan kami enggak pernah bersilangan.”

Beton dan Bayangan Gerhana

Arka menghela napas, menatap layar laptopnya yang menampilkan gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Bagi seorang mahasiswa arsitektur idealis sepertinya, semua itu terasa seperti penjara beton, membatasi kreativitas dan kebebasan. Ayahnya—seorang arsitek genius yang menghilang dua puluh tahun lalu—adalah satu-satunya inspirasi dan sekaligus pertanyaan terbesarnya. Satu-satunya peninggalannya adalah sebuah buku sketsa usang yang penuh dengan gambar-gambar sebuah kota yang “hilang”, yang konon hanya muncul saat gerhana matahari total. Teka-teki ini menjadi pelarian Arka dari kenyataan yang membosankan.

Peta Bintang dan Cetak Biru

Saat itu, untuk pertama kalinya Arka bertekad melakukan pencarian yang dimulai dari sebuah desa terpencil di kaki gunung. Di jalanan desa yang sepi itu, mobil Arka melaju tanpa ragu. Tepat di tikungan, Arka terperanjat; seorang wanita tengah mendorong sepeda yang rantainya terlepas. Sialnya, jarak terlalu dekat. Arka membanting setir, dan suara tabrakan benda tumpul terdengar nyaring—beruntung, yang tertabrak hanyalah sepeda butut itu, sementara wanita itu terpental ke pinggir jalan. Arka mengumpat kesal pada dirinya sendiri saat melihat gadis itu tampak shock dan menunggu dirinya keluar dari mobil.

Pada saat Arka keluar dari mobil dengan cepat Arka membantu perempuan itu memperbaiki kondisi sepedanya dan barang bawaan yang berserakan di jalanan, “Aduhhh maaf ya kak saya tadi kurang fokus karena….” omongannya terpotong karena perjalanan itu membawanya pada seorang gadis dengan rambut sebahu dan mata yang seolah menampung seluruh galaksi. —Kirana. Dia bukan gadis biasa, melainkan seniman jalanan yang melukis peta bintang di kanvas-kanvas yang lusuh.

Mata Arka berbinar terpaku pada perempuan cantik di depannya sampai ia tampak tak menghiraukan sekeliling. “Iyaa maaf sih maaf mas tapi bagaimana ini dengan kanvas-kanvas saya jadi kotor begini aduh,” kata wanita itu dengan umpatannya.

Sambil membantu merapikan Arka akhirnya terpaku pada kanvas yang dipegang wanita itu, lukisan yang ada diatas kanvas itu membuatnya terpaku untuk kedua kalinya. Ya, lukisan yang sama dengan apa yang ada pada buku usang milik peninggalan ayahnya. Bagaimana bisa lukisan itu mirip dan bahkan sama dengan gambar yang ada di buku usang peninggalan mendiang ayahnya? Arka tak ambil pusing, ia meminta maaf dan mengajak wanita itu untuk masuk ke mobilnya untuk mengantarnya pulang,

“Sekali lagi saya minta maaf ya kak, sepedanya… biar jadi tanggung jawab saya,” ucap Arka. “Ini konsekuensi dari kecerobohan saya. Sekarang, biar saya antar kamu pulang.”

Ia pun membantu membereskan semua barang perempuan itu ke dalam mobilnya. 

Di dalam perjalanan Arka mulai membuka kesunyian dengan pertanyaan “Kak, maaf ya soal tadi saya beneran merasa bersalah. O iya kenalin nama saya Arka kebetulan pendatang yang baru di desa ini untuk mencari sebuah tempat,” dengan senyum sedikit kaku.

Wanita itu membalas “Iya gapapa mas, beruntung sayanya tidak apa-apa juga, nama saya Kirana.” sambil memegang sebuah kanvas di tangannya,

Kirana juga membuat pertanyaan “Mas maaf tadi saya sempat melihat mas memperhatikan lukisan rasi bintang ditangan saya? Apa mas ada keperluan dengan lukisan ini? Saya merasa mas tidak sekali dua kali memperhatikan lukisan ini.”

Apa sih yang dimaksud dengan "takdir"? Cerita pendek berikut "The Path that Leads to Us" mungkin akan relate denganmu.
(gambar rasi bintang di kanvas Kirana, sumber; Pinterest)
Arka salah tingkah karena gerak geriknya daritadi terbaca oleh sang empunya lukisan  “eh… itu anu kak lukisan kakak sama dengan apa yang ada pada buku usang milik peninggalan ayah saya, nah seperti yang saya bilang tadi saya ke desa ini untuk mencari sebuah tempat di gambar itu “
 
Anehnya, Kirana juga sedang mencari kota yang sama, yang diceritakan dalam dongeng-dongeng neneknya. Kirana kaget dengan pernyataan Arka.
 
“Sejak kecil, nenek selalu cerita tentang sebuah kota. Kota yang cuma ada di dongeng. Kota yang dibangun dari cahaya bintang. Mereka bilang, kota itu cuma bisa ditemukan sama orang-orang yang jalannya berbeda.” jelas Kirana
 
“Kalau gitu, kita punya tujuan yang sama., dan mungkin petunjuk ini merupakan potongan puzzle, dan pertemuan kita bukan sekedar pertemuan biasa, kita harus caritahu kebenaran dari setiap gambar ini.”

Ada tujuan yang sama, tetapi jalan yang mereka tempuh sangat berbeda. Arka berbekal cetak biru arsitektur, sedangkan Kirana hanya memiliki peta rasi bintang.

Disuatu sore mereka berjanjian untuk bertemu, “Punya kita ini aneh,” gumam Arka , saat mereka duduk di pinggir sungai. “Kenapa tujuan yang sama harus punya dua petunjuk yang berbeda?” Kirana tersenyum. “Mungkin karena kota itu bukan untuk kita cari, tapi untuk kita ciptakan.”

Jurnal dan Desain Takdir

 
Mereka menyusuri desa itu selama berminggu-minggu, saling berbagi cerita dan melengkapi potongan teka-teki. Arka yang kaku mulai belajar membaca langit dari Kirana, dan Kirana yang impulsif mulai melihat keindahan dari setiap garis lurus dan sudut presisi yang Arka gambar.
 
Hingga suatu malam, mereka menemukan sebuah jurnal tua yang tersembunyi di bawah lantai sebuah pondok kosong. Jurnal itu milik ayah Arka dan nenek Kirana.
Mereka bukanlah arsitek dan seniman. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, yang terpisah karena tragisnya takdir. Di Jurnal itu tertulis bahwa mereka berusaha menciptakan “kota” yang sempurna, tempat di mana seni dan sains bisa berpadu. Tetapi impian mereka tidak pernah selesai, dan kota itu hanya ada di dalam imajinasi mereka. Jurnal itu juga menjelaskan, bahwa mereka berdua tidak bisa menyelesaikan “kota” itu karena ada kekuatan takdir yang memisahkan mereka.
 
“Mereka percaya,” bisik Kirana, matanya berkaca-kaca, “bahwa suatu hari, keturunan mereka akan bertemu dan menyelesaikannya.”
“Dan ‘kota’ itu adalah bayangan,” Arka menyimpulkan, napasnya tercekat. “Itu bukan tempat, tapi momen. Momen yang hanya muncul saat gerhana matahari total.” Tibalah hari yang dinanti. Di puncak gunung yang diselimuti kabut, Arka dan Kirana menanti gerhana. Saat bulan mulai menutupi matahari, bayangan yang jatuh ke tanah mulai membentuk pola yang rumit. Pola itu perlahan menjadi sebuah kota, lengkap dengan jalanan, bangunan, dan taman. Proyek seni dan arsitektur raksasa yang hanya bisa dilihat saat momen langka itu. Kota itu tidak pernah benar-benar ada, tetapi diciptakan oleh cinta dan impian dua orang yang terpisahkan.
(Arka, Kirana, dan Gerhana dimalam itu. Sumber;Pinterest)
Arka dan Kirana saling pandang, mata mereka bertemu. Mereka menemukan sebuah surat terakhir. Surat itu menjelaskan bahwa tragedi yang menimpa orang tua mereka adalah sebuah pilihan. Mereka memilih untuk berpisah demi kebahagiaan keturunan mereka di masa depan. Mereka percaya bahwa takdir akan mempertemukan Arka dan Kirana, dan hanya mereka berdua yang dapat menyelesaikan desain itu bersama-sama. Arka tidak lagi merasa hampa. Kirana tidak lagi merasa sendirian. Mereka tidak lagi mencari kota yang hilang, karena mereka sadar, kota itu ada di dalam diri mereka. Jalan yang berbeda yang mereka tempuh akhirnya bertemu di satu titik: cinta.
 
Mereka akhirnya membangun sebuah kota, bukan dari batu dan beton, melainkan dari kenangan, mimpi, dan masa depan yang mereka ciptakan bersama. Sebuah kota yang tidak akan pernah hilang, karena ia ada di dalam hati mereka.

****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 46