Penulis: Ingesia Aulia Kamila – Universitas Negeri Malang
Chapter 2 : Hidden Gem School
Pagi itu aku berangkat bersamaan dengan anak sekolah lainnya, jam yang sama ketika mereka berangkat sekolah, aku berencana berangkat ke rumah guruku. Sejujurnya aku selalu penasaran dengan seorang anak sebayaku dengan seragam putih abu-abu yang selalu turun di halte depan sebuah department store. Sepanjang jalan aku tidak menemukan adanya sekolah berdiri di sekitar, lalu kemana ia pergi? Apa ia membolos? Tapi, tiap hari? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di otakku, tapi, aku tahu aku harusnya mengabaikan.
Jadi kukabari guruku, hari ini akan datang sejam lebih lambat, ada urusan penting, minta tolong tidak membocorkannya pada sang ibu. Maka, hari itu aku ikut turun bersama anak itu di depan department store. Anak itu punya warna kulit yang lebih gelap dari Heaven, rambutnya ikal, badannya kurus, kutebak dia keturunan timur tengah, wajah khasnya menunjukkan hal tersebut.
Pelan-pelan aku mengikuti, bersembunyi ala mata-mata yang mengikuti targetnya, itu aku lakukan mengikuti tokoh dalam salah satu film yang kutonton, sejujurnya ibu tidak memperbolehkanku menonton bukan karena hal tersebut bisa membodohinya, kecanduan dan sebagainya, toh aku berkembang dua kali lebih cepat dari anak sebayaku, aku juga pandai mengatur waktu, setiap tugas yang diberi guru diperiksa langsung ibu dan selama ini tak ada masalah. Ya, masalahnya bukan pada gangguan akademis ku, selain aku jadi pelupa ketika sedang senang, kadang aku cukup bertingkah di kondisi tertentu, aku kadang terlalu mempercayai apa yang terjadi di film dan menjadikannya patokan untuk beberapa hal, tentu aku cukup pandai tokoh mana yang patut dijadikan contoh.
Suatu hari, saat umurku dua belas tahun, ibu belum melarang ku menonton. Kami sekeluarga berjalan-jalan santai seperti keluarga normal lainnya, melihat-lihat kemegahan kota, keluar trotoar jalan, seorang wanita dengan pakaian bermerek melewati kami, berlari, berteriak tasnya dicuri. Sebelum ibu menyadari, aku sudah ikut berlari, mengejar pencuri tersebut, melepas softlens-ku untuk melihat lebih jauh berada dimana pencuri tersebut di tengah kerumunan orang. Aku berhasil meringkus pencuri itu, sesuatu yang membanggakan sekaligus menjadi masalah bagiku. Ibu memarahiku, bertanya alasan aku melakukan hal bahaya seperti itu, aku sudah dua belas tahun, setidaknya sudah tahu apa yang harus ku lakukan dan apa yang harus aku hindari, dengan polos ku jawab, aku melihatnya dari film. Aku menjadi pusat perhatian saat itu, hampir diberitakan stasiun TV lokal, untung ayah berhasil menutup mulut semua saksi dan jurnalis yang sudah datang saat itu. Bayangkan, siapa yang percaya anak dua belas tahun menang melawan penjahat yang jauh lebih tua dan tentu lebih berpengalaman darinya. Sejak hari itu aku dilarang menonton, untungnya aku punya guru-guru yang baik, jadi aku masih bisa menonton di beberapa waktu tertentu walau harus sembunyi-sembunyi.
“Apa maumu?”
Aku tersentak, menoleh kanan dan kiri, mencari asal suara.
“Untuk apa kau mengikutiku?”
Aku menemukannya, suara itu dari belakangku, berbalik. Aku terkekeh “Ha, ha, ha, aku tidak mengikutimu, aku hendak ke toilet, jalannya kesini bukan?” sejak kapan dia ada di sana.
“Siapapun tidak akan percaya kalau kau mau ke toilet jika kau jongkok di samping tong sampah seperti ini” Ucapnya menatapku malas.
Aku berdiri, menepuk celanaku.
“Apa maumu” ia mengulangi pertanyaannya.
Aku memutar otakku cepat “Aku, aku diminta mengikuti mu untuk tahu apa kau benar-benar ke sekolah atau tidak” jawabku asal, aku tidak tahu dari mana alasan itu datang.
Mendengar itu wajahnya menegang, ia menarikku kencang ke toilet.
Ah, ujung-ujungnya benar ke toilet.
“Kau, kau harus menutup mulutmu!” ia menatapku tajam, mendorongku bersandar ke tembok.
Sepertinya ia tidak mencurigaiku, kalau begitu “Baiklah, baiklah aku akan menutup mulutku, tapi kau harus memberitahuku terlebih dahulu, kau mau kemana?” Sebenarnya aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini, biarlah mengalir terlebih dahulu.
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu?”
“Janji jari kelingking?” tawarku, aku memperhatikan penampilannya, berharap ada item dengan namanya yang tertempel di sana.
“Kekanak-kanakan, tapi baiklah” ia menyetujuinya “Siapa namamu?”
Tepat ia menanyakan namaku ku lihat jahitan namanya di ujung seragam sekolahnya “Kau bisa memanggilku Heaven, Tameem”
“Baiklah, kau sudah berjanji, jika kau lelaki sejati kau tidak akan membocorkan ini pada ayahku”
Jadi, ayahnya “Ya, aku pasti menepati janjiku, sekarang bagaimana jika kau tunjukkan padaku sekolahmu”
“Ini tidak mudah, kau bukan siswa di sini, kau tidak punya akses”
“Di sini? Kau sekolah dimana? Ini pusat perbelanjaan, lihatlah sepanjang jalan ini! hanya ada toko, restoran, hotel dan tempat karaoke, tidak mungkin bukan kau bersekolah di tempat karaoke?” Aku terkekeh.
Ia menatapku dalam.
“Oh, sungguh?”
“Ya, semua orang tidak akan percaya ada praktik belajar mengajar dalam sebuah tempat karaoke, dan itulah yang diinginkan” Tamem memperjelas “Oh, kurasa kau tidak perlu tau lebih jauh lagi bukan? Hanya perlu melihatku masuk, lagipula aku terburu-buru” Tamem berlari meninggalkanku masuk ke dalam salah satu kios dengan tulisan ‘Glad Yummy’ mirip salah satu brand tempat karaoke ternama.
Aku berhenti disini? Setidaknya aku harus melihat bagaimana bentuk sekolah unik itu. Aku memilih untuk tetap mengikuti Tameem masuk, kulihat dia menunjukkan sebuah kartu ke arah mesin pendeteksi, seperti ketika ingin masuk halte busway. Tidak ada resepsionis, apa ini semacam cara untuk menghindari pelanggan dan menjaga rahasia mereka? kuperhatikan lobby kecil di hadapanku, hanya ada mesin pendeteksi sebelum memasuki pintu di seberang ruangan, di dinding poster price list tertempel, ada beberapa foto juga, entah aku tidak mengenal mereka, mungkin foto penyanyi, aku tidak mengikuti dunia seperti itu.
Ring a ring a ring~
Hape ku berdering.
“KAU BERNIAT TERLAMBAT BERAPA LAMA LAGI?” suara di seberang saluran memekakkan telingaku. Kulihat jam di layar hape ku, sungguh aku tidak menyadari sudah lebih dua jam berdiri di lobby kecil ini. Aku segera keluar, mengejar busway ke arah rumah guru ku yang tiba tepat ku sampai di halte.
Malamnya kucari tahu entah sekolah atau tempat karaoke itu di internet, tidak ada informasi yang bisa didapatkan, sepertinya ini sekolah rahasia, hal ini membuatku makin penasaran, dan sepertinya aku ingin masuk kesana. Kalau dipikir ibu pasti sekarang sudah mencari sekolah baru lagi untukku, ayah pun begitu, sampai hari pengajuan sekolah aku belum dapat informasi sekolah itu, pupus sudah harapanku. Aku merasa ada sesuatu di sekolah itu yang harus ku gali.
Besoknya aku tidak melihat Tameem di bus, apa dia naik bus yang berbeda? sepertinya. Hari ini cukup lengang, aku mendapat tempat duduk, tidak seperti hari biasanya aku bisa berdiri sampai tempat tujuanku, jika dapat tempat duduk tidak bertahan lima menit, akan ada ibu-ibu yang menatapku. Kadang aku merasa kesal, tapi apa boleh buat.
Bus yang kunaiki berhenti di depan daerah pusat perbelanjaan, sebenarnya aku ingin terlambat lagi hari ini, tapi guruku hari ini berbeda, dia cukup dekat dengan ibu, dia tidak akan melewatkan satupun hal untuk disampaikan pada ibu atau ayah. Menyebalkan, padahal aku harus bergerak cepat untuk bisa mendapatkan kesempatan masuk ke sekolah unik itu.
“Hai nak, kau menjatuhkan ini” seorang nenek tua memberiku selebaran saat hendak turun dari busway.
Aku merasa tidak memilikinya tapi tetap ku ambil, pintu busway segera tertutup. “Ya, Tuhan! selebaran ini, ini semacam formulir masuk ke sekolah tersebut” Aku melihat ke arah busway yang mulai menjauh, nenek tua itu tersenyum, silau, sepertinya dia pakai gigi emas.
Sesampainya di rumah ku simpan dengan aman formulir itu, akan ku sembunyikan sampai hari pengajuan sekolah tiba. Hari- hari berikutnya aku membicarakannya pada beberapa guruku, meminta saran. Akhirnya hari itu tiba, itu tepat empat hari setelah nenek tua memberikan formulir itu. Ayah dan ibu memanggilku, menunggu di ruang keluarga. Aku bersiap dengan segala kemungkinan.
“Kami sudah menyiapkan beberapa sekolah yang bisa kau pilih, luar dan dalam kota, kami siap pindah jika kau memilih yang di luar kota” ibu menyerahkan beberapa selebaran padaku.
Aku melihat ke arah ayah, ia hanya menatapku balik ‘terserah dirimu’ seperti itulah arti tatapannya. Ku ambil selebaran-selebaran itu, memperhatikannya sebentar kemudian menurunkannya.
“Sebenarnya,” ku tatap ayah dan ibu secara bergantian.
“Katakanlah, jika ibumu memarahimu–” ucapan ayah terpotong, ia mengalihkan pandangannya dari ibu “Ayah tidak bisa membantumu”
Aku mendesah pasrah “Aku ingin mengajukan sebuah sekolah, sekolah ini tidak ada yang tahu, aku rasa yang masuk di sana juga punya rahasia seperti keluarga kita, jadi kurasa akan aman jika aku bersekolah di sana” berhasil, aku bisa menyampaikannya.
Hening beberapa saat.
“Baiklah” suara ayah dan ibu terdengar menyetujuinya secara bersamaan.
Mataku membulat tidak percaya, secepat ini?
“Kau bisa masuk ke sana, apa yang perlu ibu dan ayah isi?” ibu beranjak, mengambil ballpoint.
Aku mengeluarkan kertas dari bawahku, sejak tadi kududuki.
“Kau benar-benar yakin, nak?” Ayah menatapku.
Aku mengangguk mantap.
“Ayah percaya padamu”
Entah aku merasa ada yang aneh dengan ini, tapi ku abaikan, besok aku akan mengirimkannya lewat pos ke alamat yang tertera di bagian bawah formulir. Sore setelahnya aku mendapatkan paket berisi sebuah cardigan berwarna biru, aku suka, ini warna favoritku. Ada sebuah buku, kacamata dan tentu kartu akses.
Hari masuk sekolah tiba, sesuai aturan sekolah, cardigan dipakai setelah melewati mesin pendeteksi, untuk menghindari kecurigaan sekitar. Jadi, aku berangkat sekolah dengan jaket biru favoritku. Di bus aku lagi-lagi tidak melihat Tameem, tak apa aku pasti akan menemuinya di sekolah, akan ku buat dia terkejut.
Benar saja, ketika aku masuk ke salah satu ruangan sesuai yang tertera di kartu ku, ku lihat Tameem disana, duduk di bangku belakang bagian tengah, ia sepertinya sedang sibuk dengan barang di tangannya, ia tidak melihatku datang. Ruangan kelasnya tidak begitu luas, hanya berisi belasan pasang meja dan kursi, seperti kelas eksklusif. Melihat keadaan setelah melewati pintu masuk, bagian dalamnya benar-benar tampak seperti tempat karaoke, lorong panjang dengan ruangan-ruangan di sampingnya, ruangan kedap suara. Di sebelah kelasku tangga menuju ke lantai dua, entah bagaimana isinya, aku akan memeriksanya saat jam istirahat nanti.
Jam di dinding menunjukkan pukul 07.30 tepat. Pintu terbuka, seorang pria dengan kemeja biru rapinya masuk, guru kami di jam pertama. Di tangannya ada sebuah kotak kecil. Menyadari hal itu anak-anak dalam kelas berseru. Bukan senang, mereka mengeluh.
“Pagi anak-anak, sebelum kelas bapak dimulai kita akan melakukan kuis kecil, hanya lima belas menit, siapapun yang lebih dulu menjawab akan dipersilakan memilih item sesukanya” pak guru meletakkan kotak tersebut di atas meja “Oh, ya! kita punya teman sekelas baru, cukup seru karena kita sangat jarang menerima siswa baru tidak di awal semester seperti ini, hai nak, majulah” ia menatapku.
“Hai, aku Heaven, hanya itu, aku dari sekolah X pusat kota, sebelumnya aku homeschooling, selama sembilan tahun, banyak yang ingin ku pelajari dari kalian dan sekolah ini, aku berharap kita bisa berteman dengan baik”
“Baiklah, kau bisa duduk kembali, kau tau kan, meski baru masuk hari ini, kau juga harus ikut kuis. Tidak ada pengecualian”
Aku mengangguk, kembali duduk di kursiku, sebelum benar-benar duduk bisa ku lihat wajah Tameem datar di belakang sana, ia tidak tampak kaget melihatku.
Kuis dimulai, setiap anak diminta maju mengambil kertas yang ada dalam kotak, menunggu aba-aba untuk mengerjakan soal yang tertulis di kertas masing-masing. Setelah semua mengambil kertas pak guru memasang timer, meminta semua siswa mengerjakan soal mereka masing-masing.
‘Ah, ini sangat mudah’ aku membatin ketika melihat soal yang tertulis di kertas ku ‘menggambar peta konsep struktur atom’ lima menit berlalu, aku segera mengangkat tanganku, sedetik lebih cepat dari siswa di depanku.
“Wow anak baru, mari kita lihat apa jawabanmu benar” pak guru menghampiriku “Maaf Ab, kali ini kau kalah cepat” lanjutnya melewati siswa di depanku.
Aku tidak pernah tau, menjawab lebih cepat bisa membuatku mendapatkan musuh, tidak sebelum aku masuk ke sekolah ini.
To be continued~
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.