Majalah Sunday

Heaven: Mystery of Hidden Gem School

Penulis: Ingesia Aulia Kamila – Universitas Negeri Malang

Chapter 1 : Sekolah pertama.

BUMM!! 

Suara keras itu terdengar nyaring masuk ke telingaku, suara dari ruangan tak jauh dari kelasku.

 

Pekan kedua sekolah, tidak ada masalah, semua berjalan sesuai dengan harapanku, kehidupan sekolah yang tenang, harusnya.

 

Hai, aku Heaven, yup kalian tidak salah, sesuai dengan artinya, Surga, tidak ada embel-embel tambahan huruf. Orang tuaku berharap aku bisa menjadi Surga bagi mereka, satu-satunya anak yang dimiliki setelah sepuluh tahun pernikahan, meskipun orang tuaku memilih menikah muda, tapi takdir dari Tuhan mengatakan; kedua orang tuaku harus sangat bersabar bertemu diriku.

 

Ini pertama kalinya aku masuk ke sekolah umum yang bagi teman sebayaku ini tahun kesepuluh mereka dari 12 tahun wajib mengenyam pendidikan. Jangan salah sangka, aku tetap bersekolah, tetap belajar, tapi di rumah, aku tidak mendatangi guru di sekolah, tapi mendatangi rumah guruku langsung, homeschooling orang menyebutnya.

 

Aku tidak ketinggalan pelajaran, aku bahkan belajar lebih banyak daripada teman sebayaku, waktu yang ku miliki lebih banyak dari mereka, dan aku bisa jauh lebih fokus, karena guruku hanya mengajari diriku seorang. Oh, ya selama sepuluh tahun aku punya banyak guru yang mengajarkan berbagai macam pelajaran dan skill tambahan seperti berenang, bahasa asing, komputer, dan beladiri. 

 

Dan harusnya itu sudah cukup untukku, tapi untuk tahun ini aku ingin merasakan suasana yang berbeda. Bukan  hal yang mudah untuk ku bisa bersekolah di sekolah umum, jika kebanyakan orang tua ingin anaknya bersosialisasi dengan teman sebaya, tidak dengan orang tuaku. Meskipun aku tau bukan tanpa alasan mereka melakukan hal ini, tapi aku benar-benar ingin mencoba bersekolah dengan teman sebayaku, seperti dalam film-film bertema anak sekolah yang kutonton diam-diam, hadiah dari guru-guruku. Akhirnya aku berhasil dengan berjanji tidak akan menarik perhatian dan aku akan menjaga batasan.

Maaf, sepertinya aku terlalu banyak mengoceh.

 

Aku segera berlari keluar mengikuti siswa-siswa lainnya, menuju suara keras yang kumaksud di awal. Sebenarnya aku tidak benar-benar tertarik, tapi semuanya berlari, jadi ku pikir agar terlihat normal dan tidak menarik perhatian aku harus ikut bersama mereka bukan?

 

“Ayo maju kawan!” Seorang siswa dengan baju seragam yang dikeluarkan dan acak-acakan berdiri di atas meja, menantang seseorang yang tertindih di antara keranjang bola basket di ujung ruangan. 

 

Semua berseru, memberi semangat.

 

“Ketua kalah”

 

“Wah, sayang, sepertinya kita akan ganti ketua”

 

“Aku bertaruh Jack akan dikalahkan kali ini”

Bisik-bisik kudengar siswa di sekitarku.

 

Jack, siswa yang berada di ujung ruangan berusaha bangkit, tapi sepertinya sudah tidak sanggup. Setengah berdiri kemudian jatuh, tersungkur.

Dan sekali lagi, semua berseru diikuti tepukan tangan.

 

“Baiklah, kawan-kawan sekalian, kita sudah melihat bagaimana pertandingan hari ini berakhir, di GOR ini kita sudah menyaksikan berkali-kali pergantian ketua, dan berbulan-bulan posisi ketua telah dipegang oleh Jack secara berturut–” Satu siswa dengan pakaian yang lebih rapi memasuki ruangan besar di bawah, ia berhenti sejenak, menatap ke seluruh ruangan, berhenti di posisi siswa yang berada di atas meja “Namun, bulan ini kita akan melihat posisi tersebut diduduki orang baru, sosok yang tak disangka-sangka datang dari kelas 10-3 IPS, LUCKY!!” 

Heaven, sebuah cerbung, yang menceritakan seorang anak laki-laki dari keluarga pengusaha menengah yang pertama kali mengenyam bangku sekolah
AI Empty gym background from Freepik

‘10-3?’ Aku membatin.

Seseorang langsung menarik tanganku, Navy.

“Aku mencarimu dari tadi” Ujarnya terlihat gusar.

 

“Aku tidak melihatmu di kelas, kupikir kau juga ikut berlari kesini” jawabku menjelaskan pertanyaan tak terucap yang muncul dari raut wajahnya.

 

“Sudahlah, seharusnya kau tidak ke sana, semua yang muncul di sana akan tercatat menjadi antek-antek ketua baru jika tertangkap basah, dianggap pendukung karena melihatnya bertarung merebut posisi”

“Satu GOR tadi?”

“Tidak, hanya yang sekelas dengannya”

“Semua teman sekelas kita kesana”

“Ya”

“Itu berarti mereka semua menjadi antek-antek?” Tanyaku memastikan.

Navy mengangguk.

“Kalau kau berada di sana sampai akhir, mereka akan mulai mengabsen, dan kehidupan sekolahmu tidak akan baik-baik saja setelahnya”

 

Aku terdiam mendengarnya, sedikit tidak mengerti apa yang dibicarakan Navy.

“Argh, seharusnya aku tidak masuk kelas ini, kenapa pula ia harus menantang dan menang?” Navy menggerutu.

‘Apa yang terjadi?’ Batinku.

“Lebih baik kita kembali ke kelas, sepertinya mereka juga sudah kembali”

 

Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi melihat wajah Navy aku mengurungkan, nanti saja selepas pulang sekolah.

Kami keluar dari ruang kecil di sebelah GOR, tempat penyimpanan alat olahraga. Berjalan kembali ke kelas.

 

Benar kata Navy, anak-anak sudah kembali, kelas ramai. Di ujung belakang tampak lebih ramai, namun terlihat lebih eksklusif.  

“Aku sudah yakin sejak pertama kali kau masuk kelas ini, kau pasti akan membuat perubahan besar”

“Sudah berapa kali aku mendengarnya” terkekeh.

“Maksudku lihatlah, kita baru saja masuk sepekan yang lalu, dan kau langsung menantang ketua, kau tau bukan kelas kita tidak masuk dalam daftar apapun dalam sekolah ini, kita adalah kelas yang dipersiapkan untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak dijangkau orang-orang biasa, kita tidak perlu repot mengurusi hal-hal kecil seperti menjadi ketua, mengikuti olimpiade tingkat nasional maupun lomba-lomba receh lainnya. Tapi, kau? Kau malah memilih untuk menenggelamkan diri, apa orang tuamu setuju?”

“Kau tau? cara-cara lama membosankan, jika ingin sesuatu yang besar kau harus mencoba hal yang berbeda”

 

Diam-diam aku berhasil menguping pembicaraan mereka, tebak bangkuku berada di mana? Aku duduk di bangku paling depan, tepat dekat pintu masuk kelas, namun siapa mengira aku bisa mendengar dalam jarak jauh seperti ini, di tengah kelas yang ramai?

 

Hai, aku Heaven. Izinkan aku kembali memperkenalkan diri. Kedua bola mataku memiliki warna yang berbeda, Heterochromia, begitu orang-orang menyebut keunikan yang kumiliki. Shoto Todoroki dalam anime My Hero Academia, jika kalian menontonnya, atau sekedar tahu, itu bisa jadi ilustrasi yang cocok untuk diriku. Tapi rambutku tidak sepertinya tentu, dan karena aku berjanji tidak akan menarik perhatian aku selalu memakai softlens untuk menutupi warna mataku yang berbeda. 

 

Keturunan, gen ibuku. Bersamaan dengan itu kemampuan fisik melebihi orang biasa pada umumnya diturunkan, aku mampu bekerja dua kali lebih baik dan lebih cepat. Aku tidak mengerti kenapa kemampuan ayahku tidak menurun, namun tak apa karena selain mataku, semuanya adalah fotokopi ayahku. Alasan mengapa aku harus homeschooling, aku berbeda, aku unik. Dalam film aksi yang ku nonton, tiap orang tua supranatural memiliki caranya masing-masing untuk melindungi anak-anak mereka, dan inilah cara orang tuaku, tapi hei, aku sudah besar, dan aku sudah lebih dari sekedar cukup tau apa yang harus aku lakukan, jadi apapun yang terjadi aku harus melakukan apa yang menjadi pilihanku, bernegosiasi berbulan-bulan dengan kedua orang tuaku, berhasil.

 

Tepat di awal semester penerimaan siswa baru, aku berhasil masuk, memperkirakan nilai yang akan kudapat untuk memasuki kelas yang menurut riset ku tidak pernah diisi dengan anak-anak pintar yang sering ikut olimpiade ataupun anak-anak yang selalu menempati daftar terakhir dalam ujian sekolah. Kelas yang tenang. 

 

Kelas yang sesuai harapanku, dan aku berhasil mendapat satu teman yang jauh lebih tenang dari kelas yang tenang dan damai ini. Duduk tepat di belakangku, satu hal yang cukup disesalkan, aku bisa jadi pelupa jika terlalu bersemangat. Lupa membawa alat tulis, meminjam darinya, dan di antara siswa dalam kelas, aku melihat Navy memiliki satu yang tidak dimiliki anak lainnya, ia menolak bersosialisasi dengan banyak orang. Kebanyakan anak sejak aku memasuki kelas, terlihat berkumpul secara berkelompok, seakan mereka adalah teman lama, dan ternyata benar. Navy yang satu-satunya terlihat tidak, dan diriku juga, tidak mungkin aku tidak memiliki satu teman dalam tiga tahun masa sekolahku bukan? Setidaknya aku memiliki satu, maka aku berusaha mendekati Navy, dan berhasil.

 

Aku tidak peduli dengan apa yang dibicarakan anak-anak sekelasku, sepekan ini sekolahku berjalan lancar, masuk tepat sebelum bel berbunyi, ke kantin saat jam makan siang, menyapa Navy (re: berusaha mendekati) dan pulang tepat setelah bel berbunyi. Cukup sesuai harapan dan itu membuat orang tuaku tidak khawatir.

Tapi, hari ini berbeda.

 

Tiga hari setelah pelantikan ketua, yang akhirnya aku mengerti makna ketua yang disandang anak bernama Lucky dari kelas kami, itu berarti ia memiliki hak menjalankan ‘Pendisiplinan’ pada siswa lainnya, hal tersebut biasanya dilakukan setelah siswa duduk di kelas 12, wajarnya seperti itu. Tahun ini berbeda, Lucky maju mewakili kelas yang tidak pernah tersentuh oleh ‘Pendisiplinan’ kelas yang tenang karena sebuah settingan dari pihak sekolah dan orang tua yang bekerja sama. Apapun yang kelas kami lakukan tidak akan pernah tercium oleh pihak luar, tidak pernah dipublikasikan. Dan dengan ketua yang berasal dari kelas kami hal tersebut menjadi lebih bahaya.

 

“Kalian berdua, hanya kalian berdua yang belum mengikuti training anggota”

 

Seseorang mendatangiku dan Navy, duduk di meja, duduk di tengah-tengah kami.

 

Aku melirik Navy, ia menunduk.

 

Aku terkekeh, menanggapi.

 

Siswa dihadapanku tersenyum sedikit kesal, sumbu amarahnya pendek.

 

“Aku berbicara serius disini, kalian berada di kelas ini, berarti kalian juga anggota”

 

Baru aku mau menjawab suara Navy mendahului.

 

“Kami tidak mengikuti pertandingan, kami tidak ingin menjadi anggota” ujarnya dengan suara bergetar.

 

Bukk!!

 

Suara meja dipukul terdengar.

 

Semua siswa melihat, kami jadi pusat perhatian. Ini tidak baik.

 

Aku buru-buru berdiri “Ah, hai, kami, kami ke kamar mandi saat pertandingan diadakan” berusaha mencari alasan. 

 

Ia membuang wajahnya “Alasan klise, semua tahu tidak ada yang berada di kamar mandi saat berita Jack dikalahkan. Kau membual!!”

 

“Baiklah, jika kalian tidak ingin menjadi anggota, kalian akan menjadi siswa pertama yang mendapat ‘Pendisiplinan’, sungguh menyenangkan, mendapat satu sebelum melakukan riset, siswa-siswa bandel yang tidak mengikuti peraturan”

 

“Lucky, izinkan aku melakukannya, kau tidak pantas mengatasi siswa gampangan seperti ini” Siswa dengan kacamata tebalnya muncul dari kerumunan siswa.

 

‘oh, ini Lucky’ Aku membatin baru menyadari sosok di hadapanku.

 

“Baiklah, aku akan membiarkanmu melayani dua ‘bocah bandel’ ini” Lucky mundur, ia memilih duduk di kursi guru, meminta semua siswa keluar, meninggalkan kami berempat.

 

BUGH!! 

 

Tanpa kusadari Navy sudah terlempar ke ujung kelas, bersama dengan kursinya, membuat tempat sampah kelas kami berantakan.

 

‘Oh, ini menyebalkan’

 

Melihat Navy yang sudah tidak bangkit, siswa berkacamata itu melirik ke arahku, giliranku.

 

Maju bergerak, diikuti tangan kanannya bergerak ke arahku.

 

Tangkis.

 

Ganti, tangan kirinya mengincar wajahku.

 

Tangkis.

 

Gerakan standar.

 

Ia terkekeh “Kau menghindari pukulan ku?”

 

“Bukankah itu lebih baik daripada aku melawanmu?”

 

Kali ini dia tertawa “Sungguh menyebalkan” ia menunduk, melepas kacamatanya, menyimpannya di atas meja “Sepertinya ini seru, kau maju duluan!” perintahnya.

 

“Maaf, aku tidak tertarik, jika sudah selesai aku ingin membawa temanku ke UKS, itu lebih baik daripada melawanmu” Aku mengabaikan, berjalan menuju Navy yang meringis di ujung kelas.

 

“Kau tak apa?” Orang-orang biasanya menanyakan hal ini saat membantu bukan? Meskipun mereka tahu tidak  baik-baik saja, basa-basi.

 

Ia mengangguk, namun matanya tiba-tiba membulat.

 

Tangkap.

 

Aku berhasil menangkap tinju siswa berkacamata.

 

Melompat.

 

Dia mencoba cara yang baru, menendang.

 

Berputar.

 

Aku harus mencari posisi yang bagus untuk menghindari serangannya dan agar Navy tidak terkena pukulannya lagi.

 

Berlari.

 

Aku harus mengakhiri ini dengan cepat, lima menit.

 

Pukul. Tangkis.

 

Tendang. Tahan.

 

Lempar. Hindari. 

 

Tinju. Tangkap. Putar. Lempar.

 

BUGH!! 

 

Kurang lebih itu yang dirasakan Navy dan itu pula yang kuberikan padanya.

 

Siswa berkacamata itu terlempar, menabrak tengkorak pajangan di ujung kelas berlawanan dari tempat Navy, meringis.

 

“Sudah, ya, aku harus membawa Navy ke UKS, dan kau ada baiknya juga kesana, mengobati lukamu” Ku tepuk celanaku yang terkena debu.

 

Semua membuka jalan ketika aku dan Navy lewat, menatap takjub.

 

‘Sepertinya aku membuat kesalahan’ batinku, aku berharap ini segera berakhir, aku tidak ingin mengingkari janjiku.

 

Aku menghabiskan jam terakhirku di UKS, aku tidak sebodoh itu untuk meninggalkannya, biasanya di saat-saat seperti ini musuh akan menghabisi lawannya. Navy malah tertawa mendengar alasanku saat ku katakan itu padanya.

 

“Bilang saja kau malas mengikuti kelas Bahasa Pak Cipto”

 

Aku mengiyakan, ada benarnya juga, kelasnya membuatku mengantuk.

 

Hari yang melelahkan, aku harap besok tidak terjadi apa-apa.

Heaven, sebuah cerbung, yang menceritakan seorang anak laki-laki dari keluarga pengusaha menengah yang pertama kali mengenyam bangku sekolah
AI custom from Fotor AI Image Creator

“Semoga harimu menyenangkan seperti sebelumnya Heaven” Ucap Ibu saat aku berpamitan tadi pagi.

 

Aku juga berharap seperti itu, namun saat tiba di kelas, jam pertama dimulai, bangku belakangku kosong, Navy tidak ada.

 

Apa dia terlambat? 

 

Jam kedua dimulai, ia tetap belum datang.

 

Jam istirahat pertama berdering.

 

“Kenapa? Kau mencari temanmu?”

 

“Dari tadi kami melihatmu terus menerus menoleh ke belakang”

 

Sekelompok siswa mendekatiku.

 

“Kau bisa memeriksanya disini jika penasaran”

 

Mereka memberi secarik kertas padaku, berisi alamat.

 

“Hey kalian, jangan terlalu lama mengobrol dengannya!” Lucky memanggil mereka “Kau, bocah bandel, jika sudah mengunjungi temanmu dan berubah pikiran, kau boleh bergabung bersama kami, jika tidak ingin, maka kami tidak akan memaksamu untuk menemani temanmu” lanjutnya.

 

Aku menatap kertas itu.

 

Ku ambil Handphone-ku, mencoba menghubungi Navy, tidak ada jawaban. Jari-jariku beralih menekan aplikasi maps, menulis alamat yang tertera di kertas, rumah sakit kota. Sepulang sekolah aku izin, bilang akan mengunjungi salah satu guru homeschooling-ku, guru favoritku. Tak lupa aku menghubunginya terlebih dahulu, membuat skenario. Dari sekolahku naik bus, melewati tiga halte untuk sampai ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, aku mencari ruangan yang diarahkan resepsionis. 

 

Sungguh, benarkah Navy dirawat dalam ruangan menyeramkan itu?

 

Aku terdiam di depan pintu ruangan yang dimaksud, menatap ke dalam lewat jendela kaca pada pintu.

 

Menyadari seseorang di depan pintu seorang wanita seumuran ibu keluar, ia tersenyum dengan mata sendunya. Aku yakin ia ibu Navy.

 

“Ah, kau pasti Heaven, beberapa kali ia bercerita tentang dirimu” ucapnya.

 

Aku mengangguk.

 

Ia mempersilahkan masuk.

 

Navy berbaring diatas tempat tidur khusus rumah sakit yang lebih sering kulihat lewat film-film yang ku tonton, selang alat bantu pernafasan terlihat melengkapinya di sana. Aku menatapnya setengah menahan tangis, ia kemarin baik-baik saja, tak ada masalah yang serius kata dokter sekolah.

 

“Semalaman kami menunggunya, kami kira ia pergi ke toko buku seperti biasanya, namun sampai jam makan malam tiba ia belum muncul juga. Kami meminta supir yang biasanya mengantar ke sekolah mencarinya, tak jauh dari rumah kami, ia di sana, tak sadarkan diri, kepalanya berdarah, wajahnya lebam.

 

Kami tidak tahu apa yang terjadi, kami langsung membawanya ke rumah sakit, cedera otak traumatis. Kata dokter kepalanya terhantam benda berat, ada memar pada otaknya, memberikan gangguan pernafasan. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi pada anakku” Ibu Navy menceritakan dengan suara serak, sepertinya sudah banyak menangis.

 

Aku tidak tahu harus mengatakan apa selain bersabar, ku pegang tangan ibu Navy dengan erat, berjanji dalam hatiku akan membalas anak-anak yang telah membuat Navy menjadi seperti ini.

Besok-besoknya aku benar-benar menghindari teman sekelas ku sebisa mungkin, kelas selesai langsung keluar, masuk bersamaan dengan guru, mencari tempat aman dimana mereka tidak akan menemukanku kecuali jam pelajaran. Sepulang sekolah aku berjalan-jalan di kompleks perumahan Navy, ia cukup berada, perumahan ini juga dilengkapi CCTV, tapi orang tuanya memilih diam, apa ini yang dimaksud apapun yang terjadi di kelas kami tidak akan ada yang tahu.

Sepekan itu ku habiskan untuk mencari bukti yang bisa dijadikan laporan ke polisi kota, meminta tolong pada guru-guruku untuk membantu, lengkap semuanya kumiliki. Sebenarnya aku tidak percaya polisi bisa menyelesaikan ini, bukankah bertahun-tahun semenjak sekolahku berdiri mereka dibungkam bersamaan dengan pihak sekolah dan orang tua murid, sangat tidak mungkin jika hal-hal seperti ini tidak sampai pada pihak keamanan kota bukan? Tapi, aku tidak akan mengotori diriku dengan langsung menyentuh anak-anak yang hanya tahu menyakiti satu sama lain untuk kesenangan semata. Aku akan melihat sampai mana hukum di kotaku ini akan membantu.

“Maaf nak, ini bukan masalah yang harus kami tangani, jika bukan pihak sekolah yang melaporkan atau pihak dari korban sendiri, ini tidak akan bisa ditangani” Pria dengan kumis tipis di balik meja mengembalikan map yang kubawa.

Singkat, padat, sia-sia.

Tak ada pilihan lain, rencana B, jika polisi tidak mampu mengatasi masalah ini biarkan netizen yang bergerak.

 

Ku datangi salah satu rumah guruku, meminjam komputer, jika mengerjakannya di rumah sama saja dengan membuka kartu di depan Ibu. Jangan khawatirkan Ayah, ia hanya kembali dua hari sekali setelah melakukan perjalanan, tak pernah kurang dan lebih, ia baru saja berangkat pagi tadi.

“Akhirnya ilmuku berguna juga” seorang pria dengan kaos oblong hitam sedikit lebih tua dari ayah duduk di sofa sebelahku, menyeruput kopi hitam yang selalu ia minum ketika mengajariku, tapi aku tidak pernah tertarik untuk menikmati secangkir pun.

 

Tak butuh waktu lama, video yang kudapat dari meretas CCTV kompleks perumahan tersebar, video yang seharusnya ditangani oleh polisi. Tak apa, aku lebih percaya netizen, kita tunggu sampai malam nanti, aku yakin sejagad maya akan heboh. 

 

“Terima kasih bung, aku pulang dulu, janji pulang sebelum jam lima pada ibuku”

 

“Ah, ibumu masih memasang jam pulang?”

 

Aku mengangkat bahuku dan tersenyum.

 

“Kau lebih buruk kawan, kau mematuhinya hahaha”

 

Aku ikut tertawa, bagian ini lucu.

 

Benar saja, malam ini sejagad maya heboh, bahkan sudah sampai diberitakan di stasiun televisi, aku mendengarnya dari kamar saat ibu memutar televisi di ruang keluarga. Ku periksa akun media sosialku, semua akun infotainment membahasnya, headline “Siswa diserang berjarak 50 meter dari rumahnya”, “Siswa berinisial NV dari sekolah unggulan X mendapatkan perundungan dari teman sekolah”, “Pihak sekolah NV bungkam mengetahui siswanya mengalami perundungan” dan berbagai istilah yang digunakan bersebaran, naik peringkat, sekolahku menjadi sekolah nomor satu yang ada dalam mesin pencarian, video dengan hashtag sekolahku bertambah, satu dua akun anonim mengaku melihat, memberi pernyataan akan apa yang terjadi di sekolahku.

 

Aku hanya menyebarkan satu masalah yang ada di sekolahku, namun lihat, ternyata pihak sekolah banyak menyembunyikan bangkai. Bukan salahku, salahkan polisi yang tak mau mengurus satu masalah, maka ia akan mendapat lebih banyak dari yang ia kira. Aku tersenyum, tidur nyenyak hari ini, besok sepulang sekolah aku akan menjenguk Navy yang malam ini telah menjadi artis, artis lainnya tak perlu dijenguk, kemungkinan besar besok mereka akan dijemput pihak kepolisian yang datang secara terpaksa atas desakan netizen, terima kasih netizen.

 

Aku berangkat sekolah dengan senyum mengembang, ibu sedikit bingung, namun mengabaikan.

 

“Semoga harimu menyenangkan seperti sebelumnya Heaven” Itu wejangan wajib yang ibu berikan setiap aku berangkat sekolah.

 

Aku mengangguk, melambaikan tangan keluar pagar, berjalan menuju halte bus.

Dalam bus pun, bisik-bisik yang diceritakan cerita yang sudah ku hafal kronologinya, tapi ada bumbunya sekarang.

 

“Katanya sekolah mereka melakukan itu untuk membangun koneksi dengan mafia”

 

“Benar, katanya salah satu anak dari para perundung itu cucu dari sembilan naga”

 

Aku mendengus ‘Ah, terlalu melebih-lebihkan, sekolahku tidak se-elit itu untuk dimasuki cucu sembilan naga’

 

Sampai di koridor kelas semua menatapku, ku tatap balik.

 

“Kau, kau ditunggu di kelas” salah satu siswa memberiku jawaban.

 

“Aku?”

 

Ia mengangguk.

 

“Siapa yang menungguku?”

 

“Lu, Lucky”

 

Ah, baiklah jika ia ingin berpamitan denganku sebelum dijemput.

 

Di kelas, Lucky dan kawan-kawannya terlihat geram, matanya menatapku penuh amarah.

 

“Itu kau bukan?” Lucky membuka suara.

 

“Bukan?”

 

Ia membanting kursi di sampingnya. 

 

“Aku serius bertanya padamu bocah bandel!!”

 

“Hei, sumbu amarahmu pendek sekali kawan, jika hendak berpamitan harusnya kau datang dan menyalamiku, memelukku dan mengucapkan salam perpisahan, apa kau tak pernah belajar bagaimana mengucapkan salam perpisahan yang baik?”

 

“Jangan banyak basa-basi, kau hanya perlu menjawab Iya atau tidak”

 

“Pertanyaanmu tidak memberiku opsi jawaban itu kawan, kau harusnya memberiku pertanyaan ‘apakah kau yang menyebarkan video Navy dirundung?’ maka aku akan menjawab iya, kau pasti tertidur selama pelajaran pak Cipto kan?”

 

Lucky meludah, melonggarkan dasi, menggulung lengan bajunya.

 

“Kita duel, jika kau kalah hapus video itu dan kau harus menjadi pesuruhku, jika kau menang aku akan berhenti mengganggumu dan menerima hukuman dari sekolah”

 

“Tidak adil seperti itu kawan, biarkan aku memberi penawaran lebih menjanjikan, jika aku menang, kau harus merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan Navy, sangat disayangkan jika aku sudah turun mengotori tanganku dan kau hanya berakhir di penjara remaja yang bisa disetting orang tuamu”

 

Aku maju. Satu pukulan tepat mengenai dada kirinya.

 

Lucky menahannya.

 

“Hanya ini yang kau punya?”

 

Ia memasang kuda-kuda.

 

“Kau tau, aku tidak peduli akan berakhir seperti apa lawanku, jadi kau bisa menyerah sekarang” ujarnya.

 

Sepengetahuanku setelah sepekan kemarin mengulik informasi untuk melawan perundung ini aku tahu Lucky berlatih berbagai macam bela diri secara intensif sejak kecil, ia sering ikut lomba internasional berbagai tingkat, hidup dan masa depannya terjamin, sekolah? Ini hanyalah sekolah dimana ia bisa mendapatkan ijazah, kalau-kalau saja ia mau jadi presiden punya bukti pernah sekolah, bercanda. Bukankah sudah ku bilang kelasku istimewa, kelasku diisi siswa-siswa yang masa depannya sudah diatur orang tua mereka, satu tahun mengenyam sekolah disini setelahnya mereka akan dikirim ke sekolah luar negeri atau sekolah yang lebih khusus untuk menunjang karir mereka di masa depan. Maka dari itu, tidak ada yang berani menyentuh kelas kami, kami hanya akan belajar seperti biasa. Aku juga sedikit terkejut setelah tahu, apa ini settingan ibu? yang parah adalah, akan ada beberapa anak tidak berbakat tapi punya orang tua dengan kantong tebal yang akan membeli nama pada sertifikat olimpiade dengan nama anaknya. Tapi, untuk Lucky, aku percaya ia punya bakat, hanya saja perlu diajari sedikit untuk apa bakat yang ia punya dipergunakan.

 

Tendang. Tahan.

 

Kuayunkan tanganku, Lucky mengambil pertahanan dengan menutupi wajahnya, maaf aku tidak menargetkannya. 

 

“Agh” ia meringis memegang perut bagian kirinya. Satu tendangan lurus manis dariku mendarat di sana.

 

Savate” bisiknya.

 

Aku tersenyum “Senang ada yang bisa mengenal gerakan bela diri ini” tak aneh jika ia mengetahuinya, ia sudah berada dalam dunia bela diri sejak kecil.

 

Savate (Re: Savat) adalah bela diri yang belum banyak diketahui orang-orang, komunitasnya baru berjalan akhir-akhir ini, dan karena belum terkenal, tidak banyak yang bisa menebak gerakannya, terlihat seperti tinju tapi juga memperbolehkan pemainnya menggunakan kaki. Tidak mematikan. Tapi cukup untuk membuat lawan kewalahan.

 

Berlanjut, ia merapikan seragamnya. 

 

Dua jarinya mempersilahkan ku untuk maju lebih dahulu.

 

Baiklah.

 

Satu pukulan lurus kuberikan.

 

Lucky berhasil menghindar “Direct Brass Avant” bisiknya, alih-alih hanya menghindar ia juga memberiku sebuah tinju yang berhasil mendarat di dadaku. Aku terdorong, menabrak meja-meja di belakangku.

 

Dia membaca gerakanku, dia tahu.

 

Kalau sudah begini, aku tidak tak bisa berbuat apa-apa lagi ‘maaf, bu’.

 

“Maaf, mataku kelilipan biarkan aku membersihkannya dulu” pintaku.

 

With pleasure

 

“Baiklah, kita mulai lagi”

 

Tinju. Tahan.

 

Tendang. Tangkis.

 

Pukul. Hindari.

 

Banting. Bertahan.

 

Aku berhasil menghindari semua gerakannya, jauh lebih cepat, mataku tidak bisa diragukan.

 

Kali ini biarkan aku yang memberi hantaman.

 

Tinju. Kena.

 

Tendang. Kena. 

 

Pukul. Kena.

 

Lucky mundur, meringis. Ia menatapku “Matamu”

 

Aku tersenyum “Maaf kawan, aku tidak akan berakhir tragis di tanganmu, tak akan kubiarkan” 

Lucky kembali mengambil kuda-kuda, tapi sebelum ia berhasil melayangkan satupun tinju, ia tersungkur, badannya terbentur loker barang kelas kami.

 

BUGH!! 

 

Kamus besar jatuh, kena kepalanya, ia pingsan, tak sadarkan diri.

 

Hendak ku tolong, sayangnya kamus itu lebih cepat mendarat.

Siswa di luar kelas terkejut.

 

“Bukan salahku, aku tak menyentuhnya”

 

Tepat setelahnya guru-guru datang bersama dengan polisi yang seharusnya menjemput Lucky, tapi melihat kenyataan di depan mata, mereka membawaku ke ruang khusus di samping ruang guru. 

 

Sebelum mereka menyadari mataku, ku pasang kembali softlens-ku, cukup Lucky yang tahu untuk saat ini.

 

Tiga puluh menit kemudian ibuku datang, wajahnya? jangan tanya lagi, cemas bercampur marah. Ia menatapku kecewa sebelum masuk ke salah satu kamar dalam ruangan khusus. 

 

Tak lama, lima belas menit setelah masuk, ibu keluar, menatapku dingin.

 

“Terima kasih atas kerjasamanya bu, kami akan menutup kasus ini dan kami harap ibu serius dengan perkataan ibu tadi” Kepala sekolah menyalami ibu.

 

Aku menatap ibu tidak percaya, menutup kasus ini?

 

“Sudah ku bilang tidak perlu diucapkan berulang, aku tidak mengatakan hal yang tidak aku lakukan”

 

Kepala sekolah diam.

 

“Maksud ibu?” Aku meminta penjelasan saat sudah dalam mobil.

 

“Kau tidak perlu ke sekolah besok, pekan depan kau akan masuk sekolah baru”

 

“Tapi bu–”

 

“Kau mengingkari janjimu, Heaven!!” Ibu mengerem mendadak, lampu merah.

 

“Kau pikir jika berita tentangmu tersebar kau akan baik-baik saja? jika bukan kita yang mengalah, kau akan habis berhadapan dengan orang-orang besar yang mendukung anak tadi, siapa namanya? Keberuntungan?”

 

“Lucky bu,” aku mengoreksi.

 

“Ah, ya, sama saja. Setidaknya pihak sekolah dan polisi berjanji tidak akan membeberkan ini ke publik dan membiarkanmu bebas dari hukuman”

 

Aku menunduk.

 

“Heaven, kau tau bukan resiko dari apa yang kau lakukan?”

 

Aku mengangguk.

 

“Ibu bangga padamu,” Ibu menatapku, kali ini ia tersenyum “kau berani membongkar kebusukan sekolahmu, tapi, maaf ibu harus kembali menutupnya, kau tau, tiap orang tua akan melakukan apapun untuk anaknya, bahkan jika harus mempertaruhkan harga dirinya, kau tak perlu bersedih, setidaknya ada orang-orang yang tahu apa yang dirahasiakan sekolahmu, kau tak gagal sama sekali”

 

Aku balas tersenyum, ya, aku tidak gagal, tidak ada usaha yang berakhir sia-sia, mungkin hasilnya sementara, tapi itu tetap sebuah hasil bukan? Itu tetap memberiku pengalaman dan tentu pelajaran.

 

Kisahku berakhir disini dulu, besok-besok aku dapat kabar, tradisi ketua-ketua itu tidak lagi berlaku, siswa kelas khusus itu dibagi ke kelas-kelas biasa, berbaur dengan siswa lainnya. Ibu benar, mungkin usahaku tidak memberikan hasil sesuai harapan, tapi ia tetap berdampak.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Produk Rekomendasi Sunday

Salah satu outerwear yang sedang tren digunakan oleh kalangan milenial.

Tas ransel dengan bahan kanvas cocok digunakan sebagai tas sekolah.

Lampu LED portable yang dilengkapi tiang lampu fleksibel dan cahaya yang bisa disesuaikan.

Post Views: 22
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?