Tak tahan lagi!
Disini gelap!
Bahaya di setiap dimensi tempat.
Dia merasakannya.
“Aku yang diburu deru napasmu.
Ribuan mata laiknya pedang
yang meniru ketajamannya,
menikam sekuntum bunga penuh arti.”
Gigil itu mengoyak tubuhnya dengan perlahan
Dalam gemetar, menunggu bibir itu
untuk siap menggugurkan beberapa nama,
dan kata.
“Maaf. Relakan.. Takut. Hentikan.
Berat! Tolong.. Maafkan! Maafkan!
Bolehkah aku? Aku bersedia!”
Resah…
Dia resah.
Kemudian dia pamit,
dengan gita yang dia senandungkan.
Untuk jutaan kejora,
menjemput nirwana.
Dewi Amalia Fadzilah
Universitas Negeri Jakarta