Majalah Sunday

Wiji Thukul

Sumber Gambar : Pinterst

Hallo Sunners! Kali ini aku mau ngajak kalian mengenal lebih jauh Wiji Thukul yang sudah lama hilang dari muka bumi. Semoga kisahnya bisa memotivasi kalian ya Sunners!

Wiji Widodo lahir pada 23 Agustus 1963 di Solo. Beliau mulai aktif berkesenian pada saat duduk di bangku SMP ketika bergabung dengan Teater Jagat. Setalah lulus dari SMP Wiji Thukul melanjutkan pendidikannya di SMKI, namun hanya sampai kelas 11 saja. Oiya pada tau ga nih Sunners SMKI itu kepanjangannya apa? Hehe. Tidak hanya aktif dalam berteater Wiji juga suka menulis puisi, puisinya pernah dibacakan di radio PTPN Solo. Jiwa keseniannya semakin jadi ketika beliau mengembangkan aktivitas kesenian di kampung bersama teman-temannya yang kebanyakan kaum buruh. Wiji tidak hanya membacakan puisi di Gedung kesenian atau kampus saja, namun beliau juga membacakan puisi di bus kota, kampung, dan di aksi-aksi massa. Puisinya yang paling terkenal adalah yang di akhir baitnya berteriak “hanya ada satu kata: Lawan!”.

Seiring berjalannya waktu, Wiji dan teman-temannya membangun kumpulan kesenian kampung yang bernama  Sanggar Suka Banjir. Dari kelompok inilah Wiji Thukul mulai terlibat dalam aksi-aksi melawan ketidak adilan dan penindasan terhadap rakyat kecil. Aparat mulai mengenal Wiji ketika Wiji Bersama teman-teman kampungnya memprotes pencemaran pabrik tekstil PT. Sari Warna Asli. Dalam aksi ini Wiji ditangkap dan dijemur oleh Polresta Surakarta. Namun hal ini tidak menyurutkan semangatnya dalam membela rakyat, beliau bergabung dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang aktif dalam aksi-aksi buruh. Pada bulan Desember  1995 dalam aksi protes PT. Sritek, Wiji dianiaya oleh aparat hingga sebelah matanya hampir buta.  

Hingga sampai di saat Peristiwa 27 Juli 1998 yang menghilangkan jejaknya. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang. Semenjak bulan Juli 1996, Wiji sudah mulai berpindah-pindah keluar masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat. Dalam pelariannya itu Wiji tetap menulis puisi-puisi pro-demokrasi yang salah satu di antaranya berjudul Para Jendral Marah-Marah. Pada tahun 2000, istri dari Wiji Thukul yang bernama Sipon melaporkan hilangnya Thukul pada KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), namun Thukul belum ditemukan hingga kini. Hilangnya Wiji Thukul pada sekitar Maret 1998 diduga kuat berkaitan dengan kegiatan peningkatan operasi represif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk membersihkan aktivitas politik yang bertentangan dengan Orde Baru. Operasi ini dilakukan hampir merata di wilayah Indonesia.

Sekian sepenggal kisah dari sang penyair, semoga semangat juangnya dapat memotivasi kalian para generasi muda untuk lebih kritis ya Sunners.

 

Penulis : Agis Manjal (Politeknik Negeri Media Kreatif)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?