Majalah Sunday

Dari Typo Terparah jadi Tipe Terfavorit

Penulis: Cindy Trianita – UKI

Rania, seorang mahasiswi tingkat akhir yang rajin, sedang berjuang menyelesaikan bab tesisnya. Di depan layar laptop, matanya sudah lelah, namun semangatnya tak padam.

Rania menatap layar laptop dengan wajah kusut.
Jam di pojok kanan bawah menunjukkan 22.47.
Tenggat revisi proposal tinggal beberapa jam lagi, dan dosen pembimbingnya, Pak Arfan, terkenal bukan tipe yang sabar menunggu.

“Ya Tuhan, kenapa sih otak ku kayak Wi-Fi kosan, sinyalnya cuma dua bar,” gumam Rania sambil mengetik cepat isi e-mailnya.

Subject: Revisi Bab Dua — Rania Putri, Mahasiswa Bimbingan Bapak yang (Masih) Waras.

Ia membaca ulang. Kayaknya lucu dikit gak apa-apa. Siapa tahu Pak Arfan ketawa dan lupa marah.
Ia melanjutkan bagian penutup dengan niat baik, tapi jari-jarinya udah lelah, matanya buram.

“Terima kasih atas bimbingannya, semoga Bapak selalu sebat, bahagia, dan tidak cepat meninggoy.

Klik.
Sent.

Satu detik kemudian, Rania membeku.
“MENINGGOY?!”

Sejujurnya, aku sempat ingin menelan flashdisk sendiri malam itu. Aku bahkan sempat kepikiran untuk pindah jurusan atau mungkin negara. Tapi hidup gak sebaik drama Korea. Besoknya aku masih harus ke kampus, pura-pura jadi mahasiswa normal yang gak baru aja typo paling konyol abad ini.

“Ya Allah, ini typo terparah sepanjang sejarah ilmiah!” jeritnya, panik setengah mati.

Dia buru-buru nulis e-mail klarifikasi, tapi baru sadar sesuatu yang lebih parah lagi:
alamat yang dikirim bukan arfan@univ.ac.id, tapi arfan-assist@univ.ac.id — asisten dosennya, Dimas.

Asisten yang terkenal kaku, datar, dan gak punya ekspresi.
Katanya, Dimas pernah nyuruh satu mahasiswa ganti salam pembuka “Hai, Pak” jadi “Yang terhormat Bapak Dosen Pembimbing” karena dianggap “tidak akademik.”

“Ya ampun, aku baru aja ngirimin typo alay ke manusia paling kaku di kampus ini,” Rania menyenderkan wajahnya dengan pasrah di meja.
“Besok aku gak usah hidup aja” batinnya.

Satu typo kecil bisa jadi awal cinta besar — dari e-mail salah kirim jadi hubungan tak terduga. Yuk ikuti cerpen berikut ini1

Pagi harinya Rania jalan ke kampus kayak zombie. Kepalanya penuh kalimat ancaman:
“Mahasiswi dikeluarkan karena kata meninggoy.”
“Fakultas memblacklist mahasiswa  akhir akibat typo fatal.”
“Surat permohonan maaf atas kesalahan kalimat”

Sampai akhirnya HP-nya bunyi, satu e-mail masuk.

From: Dimas Arfan
Subject: Re: Revisi Bab Dua — Rania Putri, Mahasiswa Bimbingan Bapak yang (Masih) Waras

Dengan tangan gemetar, Rania buka.

Hai Rania,

Aku bukan Pak Arfan. Aku Dimas, asistennya.

Pertama-tama, makasih. Udah lama aku gak ketawa pagi-pagi gara-gara e-mail mahasiswa.
“Tidak cepat meninggoy” itu doa paling jujur yang pernah aku terima. Kamu nulisnya jujur banget. Jarang aku nemu tulisan akademik yang terasa “hidup”.

Kedua, aku baca revisimu. Lumayan bagus, tapi bagian metodologi bisa kamu tajamkan.
Aku udah kasih catatan di file terlampir.

Ketiga aku akan bantu untuk kirimkan revisian mu ke Pak Arfan.

P.S. Jangan hapus typo-nya. Itu udah jadi legenda kecil di inbox-ku.

— Dimas

Rania bengong. Dia… ngebales?
Dan nggak marah? Bahkan… bantu revisi?! Gratis?

Dan komentar-komentarnya bukan sembarangan: tajam tapi supportive, akademis tapi hangat.
Ada satu kalimat yang bikin Rania senyum malu sendiri:

“Kamu nulisnya jujur banget. Jarang aku nemu tulisan akademik yang terasa ‘hidup’.”

Sejak saat itu, setiap kali Rania kirim revisi ke dosen, dia diam-diam cc-in ke Dimas juga — pura-pura “biar arsip aja.”
Tapi sebenarnya, dia nunggu e-mail balasan dari Dimas lebih daripada komentar dosennya.

Pagi harinya Rania jalan ke kampus kayak zombie. Kepalanya penuh kalimat ancaman:
“Mahasiswi dikeluarkan karena kata meninggoy.”
“Fakultas memblacklist mahasiswa  akhir akibat typo fatal.”
“Surat permohonan maaf atas kesalahan kalimat”

Sampai akhirnya HP-nya bunyi, satu e-mail masuk.

From: Dimas Arfan
Subject: Re: Revisi Bab Dua — Rania Putri, Mahasiswa Bimbingan Bapak yang (Masih) Waras

Dengan tangan gemetar, Rania buka.

Hai Rania,

Aku bukan Pak Arfan. Aku Dimas, asistennya.

Pertama-tama, makasih. Udah lama aku gak ketawa pagi-pagi gara-gara e-mail mahasiswa.
“Tidak cepat meninggoy” itu doa paling jujur yang pernah aku terima. 

Kedua, aku baca revisimu. Lumayan bagus, tapi bagian metodologi bisa kamu tajamkan.
Aku udah kasih catatan di file terlampir.

Ketiga aku akan bantu untuk klarifikasi ya ke Pak Arfan atas kesalahan penulisanmu.

P.S. Jangan hapus typo-nya. Itu udah jadi legenda kecil di inbox-ku.

— Dimas

Rania bengong. Dia… ngebales?
Dan nggak marah? Bahkan… bantu revisi?! Gratis?

Dan komentar-komentarnya bukan sembarangan: tajam tapi supportive, akademis tapi hangat.
Ada satu kalimat yang bikin Rania senyum malu sendiri:

“Kamu nulisnya jujur banget. Jarang aku nemu tulisan akademik yang terasa ‘hidup’.”

Sejak saat itu, setiap kali Rania kirim revisi ke dosen, dia diam-diam cc-in ke Dimas juga — pura-pura “biar arsip aja.”
Tapi sebenarnya, dia nunggu e-mail balasan dari Dimas lebih daripada komentar dosennya.

Teasing Email

Beberapa hari kemudian, hubungan mereka tiba-tiba jadi… rutin.
Tiap Rania kirim file revisi, Dimas balas dengan saran, komentar, dan kadang celetukan receh.

“Analisis ini terlalu panjang. Bacaannya bikin aku meninggoy ringan.

“Tabelmu bagus, tapi warna birunya kayak trauma masa kecilku—tolong ganti.”

Rania gak nyangka bisa nyaman ngobrol lewat e-mail. Lama-lama topiknya gak cuma soal skripsi.
Mereka ngomongin hal-hal random: kopi sachet terbaik, musik buat nulis, sampai gosip dosen yang suka typo di power point.

Rania mulai nungguin balasan Dimas setiap malam, kayak nungguin notifikasi dari gebetan. Dia sampai pernah ngomel ke temannya,
“Pak Arfan sih dosen pembimbing, tapi Dimas? Dosen penyemangat hidup.”

Dua minggu kemudian Rania nekat. Dia kirim satu e-mail cuma berisi satu kalimat.

“Kak Dimas, menurutmu, typo paling fatal itu yang gimana?”

Balasannya datang 10 menit kemudian.

“Typo paling fatal?
Yang bikin dua orang jadi sering saling kirim e-mail tiap malam padahal awalnya gak kenal.”

— Dimas

Rania terdiam lama.
Lalu tersenyum.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah skripsi, dia ngerasa salah ketik bukan kutukan, tapi keberuntungan.

Beberapa minggu kemudian skripsi Rania akhirnya rampung.
Dia lulus sidang dengan revisi minimal.
Pak Arfan cuma bilang, “Kamu dibimbing sama Dimas ya? Pantes hasilnya rapi banget.”

Rania pura-pura santai, tapi dalam hati: bukan cuma skripsinya yang rapi, Pak, hatinya juga.

 

Sore hari, setelah sidang, Rania duduk di kafe kampus, buka laptop, dan tiba-tiba satu e-mail baru masuk. 

From: Dimas
Subject: Final Revisi

Selamat, Rania. Kamu lulus.
Tapi aku mau minta izin buat revisi satu hal terakhir.

Di file hidupku, aku mau ganti status “asisten dosen” jadi “asisten pribadi kamu.” Mau?

Rania ngakak setengah gak percaya.
Dia bales cepat:

“Tapi hati-hati ya, Mas. Sekali typo lagi, bisa berubah jadi asisten pacar selamanya.

Dimas bales satu baris:

“Typo itu takdir, Ran.”

Satu typo kecil bisa jadi awal cinta besar — dari e-mail salah kirim jadi hubungan tak terduga. Yuk ikuti cerpen berikut ini1

Beberapa bulan kemudian, Rania duduk di kamar kos, iseng buka e-mail lamanya.
Dia scroll sampai ke e-mail pertama — yang berisi typo “meninggoy” itu.
Tapi sesuatu bikin alisnya naik.

Waktu diklik view original message, muncul catatan sistem:

Edited by Dimas Arfan (Admin Mail Group) — 23.49 PM.

Rania bengong.
“Edited?”
Berarti… Dimas yang ubah isi e-mail itu?

Dia langsung ngetik pesan singkat ke Dimas:

“Mas… jangan bilang typo itu bukan salahku.”

Balasannya datang cepat.

“Kalau aku bilang iya, kamu masih mau balas e-mail pertamaku waktu itu?”

Rania menatap layar lama.
Lalu mengetik:

“Mungkin enggak. Tapi aku gak akan tahu kalau typo terparah ternyata ngebawa aku ke tipe terfavorit.”


 

Beberapa minggu setelah itu, Rania dan Dimas resmi pacaran — tapi lucunya, mereka tetap saling kirim e-mail setiap malam.
Topiknya bukan lagi revisi, tapi hal-hal random: rencana liburan, resep mie instan, dan kadang sekadar satu baris pesan:

“Semoga kamu gak cepat meninggoy, ya.”

Dan setiap kali membaca kalimat itu, Rania cuma bisa senyum.
Karena bagi mereka, satu typo kecil sudah cukup untuk mengubah seluruh hidup jadi cerita paling lucu — dan paling manis. 💌

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 6