Penulis: Meiccy Putri Jonarti – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Indonesia punya banyak tradisi unik, tapi tidak semua orang tahu maknanya. Salah satunya adalah Turun Mandi dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tradisi ini khusus untuk menyambut kelahiran bayi. Bukan sekadar memandikan anak, tapi penuh simbol, doa, dan harapan yang menarik untuk dipahami. Kelihatannya sederhana, tapi setiap tahap punya cerita yang bikin kita makin sadar betapa kayanya budaya negeri sendiri. Yuk, Sunners, kita kenalan lebih dekat dengan tradisi keren yang satu ini!
Turun mandi adalah tradisi Minangkabau untuk menyambut kelahiran bayi. Turun mandi biasanya dilakukan ketika bayi berusia 40 hari, namun beberapa daerah melakukannya sebelum 3 bulan. Dalam ritual ini, bayi dibawa ke sungai untuk dimandikan sebagai simbol penyucian, rasa syukur kepada Allah, dan tanda bahwa ia resmi menjadi bagian dari keluarga dan suku. Meskipun terlihat sederhana, setiap langkah dari prosesi ini punya makna yang dalam.

Sebelum tradisi ini dilaksanakan, keluarga terlebih dahulu menyiapkan berbagai perlengkapan khusus. Tahapan dimulai dengan menentukan hari pelaksanaan yaitu hari ganjil untuk bayi laki-laki dan hari genap untuk bayi perempuan. Selanjutnya, mereka menyiapkan batiah bareh badulang (beras goreng) sebagai simbol berbagi kepada anak-anak sekitar. Keluarga juga menyiapkan Sigi Kain Baruak, (obor dari kain koyak) yang akan dinyalakan dan dibawa menuju sungai. Tak kalah penting, ada tampang karambia tumbuah (bibit kelapa yang sudah bertunas) yang nantinya dihanyutkan sebagai perlambang kehidupan baru. Kemudian, tangguak (alat penangkap ikan) disiapkan untuk membawa tujuh batu dari sungai, sementara palo nasi yaitu nasi yang diberi arang dan darah ayam diletakkan di titik-titik tertentu sebagai penolak gangguan makhluk halus.
Pada hari pelaksanaan, bayi diarak dari rumah menuju sungai oleh keluarga dan masyarakat yang hadir. Sesampainya di sungai, bayi dimandikan sebagai simbol penyucian dan doa keselamatan. Prosesi dilanjutkan dengan menghanyutkan bibit kelapa dari hulu, kemudian ditangkap oleh sang ibu sebagai lambang harapan agar anak kelak tumbuh mandiri. Setelah itu, tujuh batu diambil menggunakan tangguak dan dibawa pulang untuk menutup lubang tempat bibit kelapa ditanam. Setelah seluruh rangkaian selesai, keluarga dan para tamu kembali ke rumah dan menikmati hidangan makan bajamba sebagai penutup tradisi.

Setiap tahap dalam ritual Turun Mandi ternyata bukan sekadar tradisi, tapi penuh pesan kehidupan. Ketika bayi pertama kali dibawa keluar rumah, itu menjadi simbol harapan agar ia tumbuh akrab dengan lingkungan dan mampu hidup selaras dengan alam. Tangguak yang dipakai saat prosesi mandi menyiratkan doa agar si kecil kelak sukses dalam berbagai bidang. Sementara obor atau suluah yang dinyalakan menjadi lambang bahwa ia diharapkan tumbuh sebagai sosok yang menerangi bagi agama, bangsa, dan masyarakatnya. Bibit kelapa bertunas yang dibawa dalam upacara melambangkan kemandirian, agar sang anak nanti bisa berdiri tegak dan tidak bergantung pada siapa pun. Pembagian bareh rendang dan bareh babiyak kepada anak-anak dan warga sekitar mencerminkan harapan agar ia kelak tumbuh sebagai pribadi yang murah hati dan suka menolong sesama.
Tradisi Turun mandi bukan cuma ritual memandikan bayi, tapi cara masyarakat Minangkabau mengirimkan doa, harapan, dan cinta untuk awal kehidupan seseorang. Setiap simbolnya dari obor kain sampai bibit kelapa mengajarkan banyak hal, seperti bersyukur, mandiri, peduli, dan hidup selaras dengan alam. Nilai-nilai yang ternyata masih sangat relevan buat kita hari ini.
Ayo, Sunners! Bukan cuma tahu sekilas, tapi benar-benar menghargai dan ikut menjaga agar tradisi seperti Turun mandi tetap hidup. Mari terus belajar, membagikan cerita, dan jadi bagian dari mereka yang meneruskan warisan keren dari leluhur kita. Jangan sampai budaya sekaya ini hilang begitu saja hanya karena kita tidak peduli.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
