Penulis: Nur Rina Khadijah – UNJ
Pernah dengar Turkmenistan? Mungkin tidak. Nama negara ini nyaris tak pernah masuk dalam berita utama, apalagi jadi bahan obrolan media sosial. Tapi justru karena itu, Turkmenistan jadi menarik untuk dibahas. Seperti sebuah akun media sosial yang dikunci rapat tanpa postingan, tanpa story, dan tanpa komentar—negara ini menyimpan banyak hal yang bikin kita bertanya-tanya, “Sebenarnya ada apa di sana?”
Yuk, kita kulik lebih jauh!
Turkmenistan adalah negara yang berada di Asia Tengah. Ia berbatasan dengan Kazakhstan di utara, Uzbekistan di timur dan utara, Iran dan Afghanistan di selatan, serta memiliki pesisir di Laut Kaspia di barat. Ibukotanya bernama Ashgabat, dan bahasa resminya adalah Turkmen.
Meski wilayahnya luas, jumlah penduduknya tergolong kecil. Negara ini juga dikenal sebagai salah satu penghasil gas alam terbesar di dunia. Tapi yang bikin penasaran adalah, dengan kekayaan alam sebesar itu, kenapa kehidupan rakyatnya tidak semaju yang dibayangkan?
Turkmenistan dijuluki sebagai salah satu negara paling tertutup di dunia karena pemerintahnya menerapkan kontrol yang sangat ketat terhadap hampir semua aspek kehidupan warganya, terutama dalam hal informasi, kebebasan berbicara, dan akses keluar masuk negara. Julukan ini sering disandingkan dengan Korea Utara, karena kemiripannya dalam hal pengekangan kebebasan. Berikut beberapa alasan utamanya:
Kalian harus tau bagaimana keadaan media dan internet dikrontrol penuh oleh pemerintah di Turkmenistan:
Seluruh media berada di bawah kendali pemerintah. Tidak ada media independen yang bebas mengkritik atau menyampaikan informasi secara objektif.
Internet sangat dibatasi. Banyak situs populer seperti YouTube, Facebook, Twitter, dan Instagram diblokir. Bahkan, penggunaan VPN pun dianggap ilegal dan bisa dikenai hukuman.
Informasi dari luar negeri juga difilter ketat, membuat warga tidak tahu perkembangan dunia secara luas.
Kritik terhadap pemerintah, baik secara langsung maupun tidak, bisa berujung pada penangkapan atau intimidasi. Bahkan hal-hal yang dianggap biasa di negara lain, seperti membuat lelucon politik atau protes damai, bisa dianggap sebagai tindakan kriminal di sana.
Selain itu:
Aktivis dan jurnalis independen hampir tidak ada.
Pengawasan terhadap warga sangat ketat, termasuk di dunia maya.
Meskipun secara hukum warga boleh bepergian, pada praktiknya:
Banyak warga tidak bisa mendapatkan paspor atau izin keluar negeri.
Mereka yang diizinkan pergi kadang masih diawasi ketat.
Pemerintah juga memblokir informasi soal keberadaan warga yang mengkritik rezim dari luar negeri.
Turkmenistan berusaha menunjukkan citra negara yang megah dan ideal:
Kota Ashgabat dibangun dengan gedung marmer putih dan patung emas presiden.
Acara nasional diatur seragam, dan sering kali dibuat untuk menyanjung pemimpin negara. Namun, di balik itu:
Kondisi ekonomi rakyat banyak memprihatinkan.
Masalah pengangguran, kelangkaan bahan pokok, dan kemiskinan tidak pernah disiarkan secara resmi.
Di balik kemegahan kota Ashgabat yang dipenuhi bangunan berlapis marmer putih dan monumen raksasa, Turkmenistan menyimpan banyak hal yang tak terlihat oleh dunia luar. Pemerintahnya tampak berusaha menampilkan citra negara yang modern dan makmur, namun pada kenyataannya, banyak warga hidup dalam kesulitan ekonomi. Akses terhadap kebutuhan pokok seperti makanan, listrik, dan air bersih sering kali terbatas, meskipun negara ini kaya akan sumber daya alam, terutama gas alam. Di samping itu, terdapat berbagai laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pengawasan ekstrem terhadap warga, pembatasan kebebasan beragama, serta penghilangan paksa terhadap individu yang dianggap mengancam stabilitas rezim.
Pemerintah juga membangun kultus individu terhadap pemimpinnya. Nama-nama tempat, buku pelajaran, hingga acara kenegaraan sering kali digunakan untuk memuja sang presiden, bahkan patung emas dirinya berdiri megah di tengah kota. Semua ini membuat negara tampak seolah ideal di permukaan, padahal banyak aspek kehidupan rakyat yang tidak ditampilkan ke publik. Karena media dan internet dikontrol penuh, informasi yang keluar dari dalam negeri sangat minim, dan dunia luar hanya bisa menduga-duga tentang realitas sebenarnya. Dalam kondisi seperti ini, sulit untuk mengetahui apa yang benar-benar terjadi di balik dinding yang dibangun pemerintah—dan justru karena itulah, Turkmenistan terasa begitu misterius.
Kisah tentang Turkmenistan bukan sekadar cerita tentang sebuah negara jauh yang tertutup dari dunia. Ia juga menyimpan pelajaran penting bagi kita yang hidup di era digital, di mana kebebasan berpendapat dan akses informasi sering kali dianggap sebagai hal biasa. Di Turkmenistan, remaja seusia kita tidak bisa bebas bersuara di media sosial, mencari informasi dari internet, atau menyampaikan kritik terhadap pemerintah tanpa risiko. Hal ini mengingatkan kita bahwa kebebasan berekspresi adalah hak istimewa yang harus disyukuri dan dijaga.
Selain itu, situasi ini menunjukkan pentingnya berpikir kritis terhadap informasi. Kita hidup dalam banjir data dan berita, tapi tidak semuanya benar. Belajar dari Turkmenistan, kita jadi sadar betapa pentingnya menyaring informasi, memahami konteks, dan tidak mudah percaya pada satu sudut pandang saja.
Lebih jauh lagi, cerita ini bisa menumbuhkan empati global dalam diri kita. Sebagai generasi digital yang terhubung dengan dunia, kita sebaiknya tidak hanya peduli pada hal-hal yang viral atau yang dekat dengan kehidupan kita. Kita juga perlu membuka mata terhadap situasi orang lain di belahan dunia lain—termasuk mereka yang hidup dalam ketidakbebasan, kesulitan, dan ketidakadilan. Karena menjadi remaja cerdas bukan hanya soal tahu banyak hal, tapi juga soal peduli dan peka terhadap dunia yang lebih luas.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.