Majalah Sunday

(Toxic) Parents?

Beberapa jam lalu, guru Bimbingan Konseling meminta kami, anak kelas 11 untuk membuat rancangan masa depan.

Sederhana saja, tentunya tentang rencana pendidikan lanjutan dan impian profesi kami, setelah itu kami diminta untuk mempresentasikannya di depan kelas pada jam mata pelajaran Bimbingan Konseling selanjutnya. Aku melihat wajah-wajah antusias temanku yang tidak sabar untuk menujukan rencana masa depan mereka, sisanya– terduduk dengan wajah bingung dengan tatapan kosong dan pikiran yang melayang entah ke mana, itu aku, dan mungkin juga teman-temanku.

Sepulang sekolah, aku masih berpikir dengan keras, apa yang aku inginkan, apa yang sesuai minatku, apa yang membuatku bersemangat, entahlah. Aku bukan siswa yang pintar dikelas, aku tidak memiliki bakat atau minat khusus, seumur hidupku, aku hanya menjalani apa yang harus kujalani. Aku sering mendapatkan kesulitan dalam hal menentukan keputusan, aku selalu meminta bantuan orang tuaku, dan tentu saja, dalam hal ini aku akan meminta andil mereka akan penentuan masa depanku.

“Kayaknya manajemen cocok deh buat kamu, kamu kan anaknya rapi dan terorganisir, mama si yakin kamu cocok di manajemen. Lagian juga kak, cari kerjaan sekarang susah, kalo juruman manajemen banyak perusahaan yang minatin.”

“Ya gak juga sih, kalaupun jurusan manajemen, gak ngejamin juga kamu cepet dapet kerja. Jaman sekarang, jangan terlalu harap kerja di perusahaan, mendingan kamu coba di bidang kreatif, seperti DKV, kalau di bidang kreatif gini, banyak yang cari. Kamu juga bisa buka usaha sendiri, atau freelance nantinya.”

Mama menyarankanku mengambil jurusan manajemen, dengan alasan klise, ingin aku bekerja di perusahaan. Sedangkan ayah menyuruhku mengambil jurusan desain, menarik, tapi apakah aku bisa menggambar?
Esok paginya di sekolah, teman-temanku ramai menceritakan rencananya masing-masing. Ella, sahabatku dengan semangat bercerita tentang impiannya menjadi seniman teater,

“Gue, mau jadi aktor teater, itu impian gue dari kecil, bodo amat ortu gue nentang, pokoknya impian gue harga mati, ga ada yang bisa atur.”

Ella memang aktif di dunia teater sejak SD, namun orang tuanya menentang cita-citanya karena beranggapan bahwa seniman teater tidak memiliki jenjang karier yang bagus, sebaliknya, orang tuanya menyuruhnya untuk mengambil jurusan bisnis saat kuliah nanti.

Team, teamwork, cooperation, partnership, concept. Premium Vector

“Kalo lu Anne?” Hesti bertanya padaku.

“Kalo gue si, kemarin udah minta saran dari ortu dan..” belum selesai aku bicara, Ella langsung memotong ucapanku,

“Hah? Apaan? Lu minta saran ortu lu buat masa depan lu sendiri?”

“Iya soalnya gue bingung mau kuliah apa nanti. Gue juga udah biasa nanya ke ortu sih kalo soal pilihan karir kayak gini.”

“Nah itu!” sergap Ella. “Lu biasa disetir sama ortu lu, sampe lu bingung nentuin pilihan lu sendiri, sampe lu ga sadar kalo sebenarnya lu dikendaliin.” lanjutnya. Aku merasa marah tentang omongannya yang menyudutkan orang tuaku.

“Sok tau lu El, emang lu tau gimana hidupnya Anne?” Hesti membelaku.

“Gini ya, gue yakin kalo Anne selalu ngikutin apa yang ortunya mau, sampe dia ngesampingin keingannya sendiri. Kalo ortunya Anne biasa ngebiarin Anne nentuin pilihannya dari kecil, dia mungkin gak bakal kebingungan kaya gini, dia bakal tau apa yang dia mau.”

Tahu apa yang aku mau. Kalimat ini memang agak asing bagiku, aku tidak pernah tahu apa yang aku inginkan, aku memang selalu mengikuti kemauan orang tuaku, dalam hal apapun. Amarahku mereda karena aku merasa apa yang dibicarakan Ella benar, namun pikiranku terasa penuh. Setelah pembicaraan itu, aku memenuhi pikiranku pada masa-masa aku kecil dulu, tentang apa yang aku lakukan, tentang apa yang orang tuaku lakukan kepadaku, semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa apa yang Ella bicarakan benar. Aku sangat marah dan ingin menangis. Aku merasa baik-baik saja selama ini, namun ternyata tidak.

Sepulang sekolah, aku enggan berbicara dengan orang tuaku. Aku langsung memasuki kamar dan bergulat dengan pikiranku. Begitu pun saat makan malam, aku hanya makan sedikit karena tidak bernafsu, dan orang tuaku bertanya tentang apa yang salah denganku, namun aku enggan menjawab.

Aku teringat ketika aku kecil dulu, waktu itu aku sangat menginginkan ikut kelas balet, namun mama melarang dengan alasan yang tidak aku tahu. Meskipun sudah lama, itu terasa menyakitkan sekarang. Begitupun tentang hal-hal kecil seperti pilihan model baju atau sepatu, mama selalu menentang kemauanku, dan pada akhirnya mama membelikanku baju dengan model yang sama dengan adikku. Hingga pada akhirnya aku merasa begitu lelah dan menyerah untuk memilih apa yang kumau. Aku membiarkan diriku hanyut dalam kemauan orang lain.

Aku terlihat murung selama beberapa hari ini, orang-orang di sekitarku menyadarinya. Mereka bertanya apa yang sedang salah denganku, namun aku enggan menjawab. Aku takut mereka malah menyepelekan masalahku dan membuatku semakin sakit. Pikiranku semakin kalut ketika aku semakin ragu dengan masa depanku, dengan kepribadianku yang seperti ini, bagaimana aku bisa menghadapi dunia? Aku takut gagal, aku semakin takut. Rasanya ketakutan ini membuatku ingin berteriak dan menangis dengan kencang, sambil menyalahkan orang tuaku karena telah menjadikanku seperti ini.

Setelah berhari-hari diam dan mengurung diri, mama mulai kesal dan marah dengan sikapku yang aneh. Tangisku pecah, dan aku membencinya karena tidak mengerti perasaanku. Aku mengurung diriku kembali di kamar.

Concept of a young upset woman. Premium Vector

“Tok..tok..tok.. Kak, ini mama, boleh mama masuk?”Aku enggan menjawab, amarahku masih menggebu.

“Kak, mama mau ngomong berdua sama kamu, maafin mama tadi marah. Boleh mama masuk ya?” Mama meminta maaf, perlahan, ego ku mulai mereda. Nada bicara mama yang lembut membuatku luluh, dan aku membukakan pintu kamarku.

“Mama minta maaf ya..” Kalimat pertama yang keluar dari mulut mama saat memasuki kamarku. Tersungging senyum manis di bibirnya, dengan tatapan mata yang sedih.

“Mama gak suka ngeliat kamu murung seperti itu. Kamu ga cerita masalah kamu, tau-tau sikap kamu seperti itu, mama sama ayah sudah bertanya berkali-kali kenapa kamu murung, kamu cuman diam saja. Mama jadi frustasi, dan lepas kendali jadi marah seperti itu. Kenapa kak? Cerita sama mama.”

Tangisku pecah kembali, tersengguk sampai aku kesusahan untuk berbicara. Dengan patah-patah, aku berusaha mengungkapkan seluruh masalahku pada mama. Seluruhnya. Segala protes dan rasa ingin tahuku, segala perasaan yang ku pendam selama ini. Aku melihat wajah mama yang kaget dan bersedih, yang keluar dari mulutnya hanya kata “Maaf”. Melihat wajah mama yang bersedih, dan kata maaf yang mendalam, membuat hatiku sakit. Aku merasa bersalah dengan kata-kataku yang mungkin menyakiti hatinya.

“Mama minta maaf, mama gak tahu apa yang mama lakukan telah menyakiti kamu sampai membuat kamu tertekan seperti ini, maaf.” Aku melihat air mata mama, mata dan hidungnya memerah. Suasana menjadi hening, dan mama memelukku erat, sangat hangat.

“Waktu mama punya kamu, itu pertama kalinya mama jadi seorang ibu, jadi orang tua. Mama belum banyak belajar, mama cuman mau yang terbaik untuk kamu. Walaupun apa yang menurut mama baik, belum tentu baik buat kamu.”

“Mama membuat banyak kesalahan sebagai orang tua, maafin mama, dan mama menyesal. Mama sering nolak keinginan kamu tanpa memberi kamu penjelasan yang masuk akal, mama juga jarang bertanya apa keinginan kamu. Mama terlalu egois, dan merasa pilihan mama sudah paling benar. Kita juga jarang bicara dari hati ke hati. Kita selalu bersikap semua baik-baik saja tanpa mempertimbangkan apa yang ada di perasaan terdalam kamu.”

Tangis kami pecah, kami memang tidak pernah berada pada situasi ini. Kami berdua saling merasa bersalah, saling meminta maaf, dan saling memaafkan. Aku sadar apa yang mama lakukan adalah yang terbaik untukku, meskipun sebenarnya mungkin tidak. Aku juga sadar, hal ini terjadi karena kurangnya komunikasi intens antara kami. Kami belajar untuk jujur dan saling terbuka satu sama lain. Mengatakan sakit kalau memang sakit, saling berbagi kebahagiaan bila ada hal menyenangkan, karena berpura-pura hanya akan membuat semua semakin buruk. Sampai saat ini hubungan kami semakin baik, bebanku semakin berkurang, dan satu hal yang aku tahu, keluarga adalah tempat yang terbaik.

Oleh: Nurul Azizah, Universitas Negeri Jakarta

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?