Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Suryakara, 2029
Lima tahun telah berlalu sejak perpisahan terakhir mereka di Hearts of Luvenia. Dunia game yang dulu menjadi pelarian kini tinggal kenangan, namun jejak hubungan itu tetap membekas di hati keduanya.
Deva kini bekerja kepala teknisi di perusahaan teknologi terkemuka di Suryakara. Dengan keahlian yang ia kembangkan sejak bermain game, ia merancang sistem keamanan virtual dan menjadi salah satu pengembang terbaik di perusahaan. Meski hidupnya kini stabil, ia masih sering merasa ada bagian dari dirinya yang hilang.
Nirvana, di sisi lain, menjalani hidup yang ia dambakan. Sebagai psikolog, ia membantu orang-orang yang berjuang melawan tekanan hidup, memahami dan mencintai diri mereka, dan menemukan kedamaian. Ia menjalankan praktik kecil di pinggiran Suryakara, tempat ia bisa lebih dekat dengan komunitas yang membutuhkan bantuannya.
Pada suatu pagi yang cerah, Deva sedang berjalan melewati taman kota setelah rapat penting. Udara segar dan suara burung memberinya sedikit ketenangan di tengah tekanan pekerjaannya. Ia berhenti di sebuah kedai kopi kecil untuk membeli minuman, sebuah rutinitas yang sudah ia jalani selama beberapa bulan.
Ketika ia hendak melangkah keluar, ia mendengar suara yang familiar.
“Deva?”
Deva berhenti. Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh, dan di sana, berdiri seseorang yang tak pernah ia sangka akan ia temui lagi.
Nirvana.
Wajahnya sedikit berbeda dari yang ia ingat—lebih dewasa, dengan senyuman lembut yang sama seperti dulu. Tapi matanya, mata itu masih menyimpan kehangatan yang dulu membuatnya merasa diterima.
“Nirvana?”
Nirvana tersenyum. “Ternyata benar-benar kamu. Udah lima tahun, ya?”
Deva tersenyum canggung. “Haha, iya lima tahun. Kok kamu bisa di sini?”
“Aku bekerja di sini sekarang, sebagai psikolog. Aku membuka praktik kecil di dekat taman ini. Kalau kamu?”
“Aku bekerja di perusahaan teknologi, nggak jauh dari sini. Jadi, aku sering lewat taman ini.”
Mereka duduk di salah satu bangku taman, membawa kopi masing-masing. Percakapan yang awalnya canggung perlahan berubah menjadi nostalgia. Mereka mengenang petualangan mereka di Hearts of Luvenia, cerita-cerita lucu dari guild, dan bahkan perpisahan yang mengharukan lima tahun lalu.
“Aku sering bertanya-tanya,” kata Nirvana akhirnya. “Gimana hidup kamu setelah itu? Apa kamu pernah log in lagi ke game?”
Deva menggeleng. “Nggak. Aku rasa aku meninggalkannya bersama kenangan kita. Tapi aku gak pernah melupakan apa yang aku pelajari di sana. Itu membantuku menjadi seperti sekarang.”
“Aku juga ngerasa begitu,” jawab Nirvana. “Game itu mungkin hanya dunia maya, tapi… hubungan yang kita bangun di sana sangat nyata. Aku selalu bersyukur pernah kenal kamu.”
Deva menatap Nirvana. Ada kehangatan dalam suaranya, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman meski bertahun-tahun telah berlalu.
“Aku juga bersyukur, Nir. Mungkin kamu gak sadar, tapi kamu udah ngebantu aku melewati masa-masa sulit.”
Nirvana tersenyum kecil. “Jadi, apa rencana kamu sekarang? Tetap di Suryakara?”
Deva mengangguk. “Sepertinya begitu. Aku ngerasa nyaman di sini. Dan kamu? Apa kamu berencana tinggal lama di sini?”
“Kayaknya iya. Aku suka pekerjaanku, dan aku ngerasa tempat ini layaknya rumah.”
Deva merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Seolah-olah semesta memberikan mereka kesempatan kedua.
Hari itu berakhir dengan mereka bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi. Tidak ada janji besar, tidak ada pengakuan cinta yang mendramatisir. Hanya dua hati yang akhirnya menemukan jalan kembali setelah bertahun-tahun terpisah.
Deva berjalan pulang dengan senyum kecil di wajahnya. Mungkin hidup telah membawa mereka ke arah yang berbeda, tapi sekarang, ada kemungkinan baru di depan mereka—kemungkinan untuk memulai sesuatu di dunia nyata.
Dan kali ini, mereka tidak membutuhkan dunia maya untuk menjadi penghubung. Dunia nyata cukup luas untuk mereka berdua.
Selesai-
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.