Penulis: Muhammad Dafa Anugrah – Universitas Negeri Jakarta
Luvenia, 2024
Sejak pertemuan mereka di taman kota, hubungan antara Deva dan Nirvana terasa berbeda. Mereka tetap bermain bersama di Hearts of Luvenia, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa digambarkan di antara mereka. Deva mulai menyadari bahwa dunia nyata memiliki pengaruh yang lebih besar dari yang ia duga. Dia mulai merasakan Nirvana semakin menjauh, seperti ada tembok tak terlihat yang perlahan terbentuk.
Pada suatu malam, Nirvana tiba-tiba mengirim pesan pribadi padanya.
Nirvana: “Dev, maaf ya aku jarang online akhir-akhir ini. Orang tuaku makin ketat sama aturan di rumah. Mereka bahkan memeriksa ponselku setiap malam.”
Deva membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu tekanan dari keluarga Nirvana berat, namun tidak menyangka akan seberat ini.
Deva: “Nggak apa-apa Nir, yang penting kamu di sana baik-baik aja. Kalau ada yang bisa kulakukan buat bantu kamu, jangan malu buat ngasih tahu aku ya.”
Nirvana: “Makasih ya, Dev. Cuma bicara denganmu aja udah cukup. Tapi… aku nggak tahu berapa lama aku bisa terus bermain. Dunia ini adalah pelarian bagiku, namun mereka mau aku fokus pada kenyataan.”
Pesan itu membuat hati Deva terasa sesak. Ia tak bisa membayangkan bermain tanpa Nirvana di sisinya. Pasti dunia Hearts of Luvenia akan kehilangan sesuatu yang membuatnya merasa hidup.
Hari-hari berlalu, dan kehadiran Nirvana semakin jarang. Deva sering menunggu di tempat biasa mereka bertemu di dalam game, namun yang datang hanya kesunyian.
Noir, seperti biasa, menyadari perubahan sikap Deva. “Dev, aku tahu kamu mikirin Nirvana. Tapi kamu nggak bisa terus nunggu kayak gini. Dia punya hidupnya sendiri di luar sana, kamu juga, kita semua punya hidup kita masing-masing.”
Deva menghela nafas panjang. “Aku tahu, Noir. Tapi aku ngerasa seolah kehilangan sesuatu yang penting. Nirvana itu bagian penting dari hidupku, biarpun aku sama dia cuma ketemu di dunia ini.”
Noir menatapnya dengan ekspresi lembut namun tegas. “Kamu tuh harus ambil Keputusan, Dev. Apa kamu akan tetap berada di sini, nungguin dia, atau kamu mau berani coba meraih dia di dunia nyata?”
Pada malam yang lain, Nirvana akhirnya kembali online, namun hanya untuk waktu singkat. Mereka bertemu di Azure Meadows, seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Suara Nirvana terdengar lebih pelan dan penuh dengan rasa bersalah. “Dev, kayaknya aku harus offline untuk sementara waktu. Orang tuaku mutusin buat mengirimku ke sekolah asrama. Mereka bilang ini demi kebaikanku.”
Deva sangat kaget dan sulit mempercayai apa yang ia dengar. “Sekolah asrama? Kalau gitu… kamu nggak akan bisa main lagi dong?”
Nirvana mengangguk sambil tersenyum sedih. “Aku juga nggak tahu. Tapi aku mau kamu tahu satu hal, Dev. Waktu yang kita habiskan di sini adalah yang terbaik dalam hidupku. Kamu itu alasan aku bisa bertahan sejauh ini.”
Deva merasa tenggorokannya tersedak. “Nir, aku… aku bingung harus ngomong apa. Aku nggak mau kehilangan kamu. Entah di dunia game atau dunia nyata.”
Ada jeda panjang sebelum Nirvana menjawab. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Dev. Namun kita harus nerima kenyataan, kan? Dunia nyata gak selalu memberikan kita apa yang kita inginkan.”
Setelah malam itu, Deva merasa hampa. Nirvana tidak muncul lagi di Hearts of Luvenia. Dia mencoba fokus pada guild, menyelesaikan misi, dan bersosialisasi dengan teman-temannya, namun semua terasa kosong tanpa kehadiran gadis itu. Noir dan anggota guild lainnya mencoba menghiburnya, tetapi mereka tahu bahwa hanya Nirvana yang bisa mengisi kekosongan itu.
Pada suatu malam, Deva menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal.
Nirvana: “Dev, ini aku, Nirvana. Aku cuma punya waktu sebentar buat mengirim pesan ini. Makasih ya udah jadi bagian dari hidupku. Kalau kita ditakdirkan bertemu lagi, aku harap itu di dunia nyata, di tempat di mana kita bisa bebas menjadi diri kita sendiri.”
Pesan itu menguatkan tekad Deva. Dunia nyata mungkin lebih keras daripada dunia game, namun ia tahu bahwa perasaannya terhadap Nirvana nyata. Jika takdir memang memisahkan mereka untuk sementara, maka ia akan menunggu—tidak hanya di Hearts of Luvenia, tetapi juga di kehidupan nyata.
Deva mulai berusaha memperbaiki hidupnya di luar game, menjalin hubungan dengan teman-teman baru, dan mencari cara untuk menjadi lebih kuat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Namun di hatinya, ia menyimpan satu harapan: bahwa suatu hari nanti, ia akan bertemu dengan Nirvana lagi. Dan kali ini, mereka tidak akan terpisahkan oleh layar.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.