Majalah Sunday

The Show Must Go On

 

Trigger Warning: Tulisan ini berisi adegan tindak kekerasan.

 

***

Entah bagaimana awalnya. Tapi kini aku berdiri tepat di tengah ruang kelasku. Lalu aku berjalan tanpa tenaga menuju cermin besar yang menempel pada tembok putih dekat pintu yang biasa kami jadikan “spion” untuk mengawasi siapa-siapa saja yang akan memasuki kelas kami, atau kami juga biasa menggunakannya untuk bersolek nirguna ketika jam istirahat.

Langkahku ringan, tapi kepalaku pusing, ruangan ini seperti berputar. Mungkin anemiaku kambuh lagi. Lalu aku menghadap cermin untuk melihat pantulan wajahku yang agak lengket, sepertinya bekas riasan ketika pentas tadi belum kuhapus sempurna.

Tapi yang kulihat di sana adalah pemandangan asing. Asing sama sekali.

*

Saat itu adalah enam hari sebelum kami—teater kebanggaan sekolah—pentas di depan seluruh guru dan siswa. Kebetulan teater kami dipercaya menjadi pembuka acara dalam rangka perlombaan pertunjukam sastra dan seni spesial hari jadi sekolah. 

Kami sudah berlatih sejak 2 bulan sebelumnya untuk pementasan kali ini. Kami biasa berlatih setiap 3 hari dalam seminggu, sisanya kami manfaatkan untuk beristirahat. Tapi saat injury time seperti ini masih saja ada yang mengganggu para aktor. Flu, kaki terkilir, radang tenggorokan, perselisihan tak terduga, dan banyak hal menyebalkan lainnya.

Misalnya dua hari sebelumnya aku bertengkar dengan Ayuni, dia si pemeran permaisuri di pementasan kali ini. Sebenarnya saat itu kami hanya meributkan masalah sepele, tapi masalah itu ampuh untuk membuat kami tidak bisa memerankan peran kami dengan baik saat latihan. Sutradaraku agak geram sepertinya. Dia memanggil kami untuk berbicara bertiga. Inti dari pembicaraan itu tak lain adalah ia ingin membuat kami akur kembali. Mediasi atau apalah itu sebutannya.

“Mau bagaimanapun suasana hati kalian, the show must go on.” katanya, suaranya yang tegas lolos masuk ke dalam kedua telingaku dan kata-katanya bertahan di dalamnya.

Setelah itu akhirnya aku dan Ayuni sepakat untuk saling memaafkan, ditandai dengan jabat tangan dan peluk singkat.

 

Lalu sehari sebelumnya, beberapa dari kami memiliki jadwal latihan yang bentrok dengan jadwal lain, sehingga hampir setengah dari jumlah aktor yang semestinya hadir harus absen dari latihan. Tak heran kami yang tersisa menjadi lesu. Bingung apakah kami perlu melanjutkan agenda atau harusnya kami pulang ke rumah masing-masing saja, agar kami bisa beristirahat atau meminum sari jahe sambil mengompres betis dan lutut yang agak ngilu.

Tapi sutradaraku berdiri dengan segera dari duduknya, ia menepuk-nepuk kedua tangannya sambil berseru semangat. “Yuk, mulai. The show must go on! The show must go on!

Aku yang sudah membayangkan hangatnya secangkir sari jahe sejujurnya agak jengkel. Tapi lagi-lagi, kalimat yang dia ulang-ulang itu kembali menancap dalam kepalaku.

 

Dan terakhir, saat itu Sari menangis di hadapan kami, tapi dia tidak mau mengatakan sepatah kata pun tentang alasan mengapa ia menangis. 

Baiklah, aku dan teman-teman lain tak bisa memaksanya berbicara. Mungkin ada yang mengganggu pikirannya, mungkin ada yang mematahkan hatinya, atau mungkin juga ada bisul besar di ketiaknya. Kita semua tidak ada yang tahu. Yang bisa kulakukan hanyalah menepuk-nepuk punggungnya, berharap itu bisa sedikit membawa ketenangan untuknya.

Melihat pemandangan yang tidak kondusif, sutradaraku memisahkan Sari dari kami. Ia menenangkannya dan mengajaknya bicara. Setelah mereka agak menjauh, salah satu dari kami memberi usul.

“Kalau begitu kita olah tubuh dulu ya, 15 menit, mungkin?”

Kemudian si sutradara menimpali, dengan berteriak dari jaraknya.

“Jangan ada yang cedera. Pokoknya, the show must go on!” katanya, dengan kalimat andalannya lagi.

 

Cih, aku muak. 

Tapi semakin aku merasa sesak oleh perkataannya, semakin sering juga aku menggumamkan kalimat itu.

The show must go on, the show must go on, the show must go on.

 

Melihat insiden beberapa hari sebelumnya, sebetulnya itu bukan hal asing lagi. Setiap hari-hari terakhir menuju pementasan selalu saja ada yang membuat kami tak tenang. Semuanya pasti merasa lelah tapi the show must go on. Kami sedang belajar menjadi profesional. Kami harus melakukan peran kami sebaik mungkin.

Sebentar, apa kataku barusan? The show..

Ah, benar. The show must go on, seperti kata Queen dan seperti kata si sutradara. Kalimat itu memang sudah bersarang di kepalaku untuk waktu yang lama.

*

Setelah melakukan latihan-latihan terakhir dengan lebih giat, serta pemantapan yang dilakukan sehari sebelumnya. Maka saat itulah harinya, hari di mana kami menunjukan kebolehan dalam bersandiwara panggung pada seluruh warga sekolah. Dan tentu saja, tak peduli seberapa sering kami melakukan pementasan, degup jantung yang memburu tak pernah absen dari agenda. Aku gugup.

Guru-guru dan semua siswa telah berkumpul di gedung kesenian tempat kami dan siswa lain akan tampil. Panitia hilir mudik kesana kemari terlihat sibuk dengan entah apa yang mereka urus. Ditambah tamu undangan dari komunitas seni kota ini ikut menyaksikan pertunjukan kami, kulihat sutradaraku menyapanya, hangat. Tapi senyumnya licik, seperti biasa. Dan, ya, mereka menambah keramaian di gedung ini.

Untuk terakhir kalinya, sutradaraku menepuk-nepuk tangannya lagi sebagai tanda memerintah kami untuk berkumpul di dekatnya. Ia memberi pengarahan pada kami untuk terakhir kali sebelum kami memulai penampilan. “The show must go on!” lagi-lagi, kalimat itu.

Kami mengangguk-angguk tanda mengerti. Lalu kami meneriakkan jargon dengan kompak agar mengundang semangat sekaligus menepis gugup di ujung tenggorokan.

 

*

 

Satu-satu memasuki panggung dan beraksi sesuai perannya. Semua berjalan sempurna. Semua mata tertuju pada kami di panggung. Juga pada adegan tertentu penonton memberi tepuk tangan sebagai apresiasi.

Lalu aku sedang fokus pada ekspresi wajah dan gerak tubuhku ketika segerombolan laki-laki yang kupikir mereka berasal dari komunitas seni di kota ini berlarian ke panggung. Tangan mereka memegang pisau berukuran sedang, masing-masing satu. 

Fokusku hilang, Daniel yang sedang berdialog dengan Ayuni juga sempat terdiam beberapa detik sebelum ia melanjutkan dialognya dengan agak linglung. Lalu kepalaku seperti mendengar suara hati si sutradara.

The show must go on, the show must go on!

Setelah kudengar suara fana si sutradara, suara hatiku, dan suara hati aktor yang sedang berdiri di panggung kini seperti bersahutan. Ada yang berteriak, ada yang menangis, ada yang lirih. Tapi kami mengucapkan kalimat yang sama.

 

The show must go on.

 

Para pemegang pisau semakin mendekat. Tapi kulihat guru-guru dan seluruh siswa hanya tertegun dan sunyi. Sepertinya mereka berpikir bahwa ini adalah bagian atraksi dari pentas kami. Tapi tidak. Ini bukan bagian dari skenario, dan kami juga tidak akan menampilkan atraksi kekerasan menggunakan pisau sungguhan.

Aku sedang melafalkan skenarioku ketika orang-orang itu berhasil memasuki panggung. Salah satu dari mereka mendekati Ayuni, menggenggam rambutnya, lalu membanting kepalanya pada lantai kayu panggung tempat kami berdiri.

Guru-guru dan seluruh murid yang tadi tertegun sunyi kini hembus napasnya bisa kudengar jelas. Suara terkaget-kaget bersahutan dari berbagai sudut gedung kesenian. Ayuni yang tersungkur mencoba mengangkat kepalanya pelan, ia mencoba melihat siapa yang tega melakukan kejahatan padanya, pada permaisuri kebanggaan sekolah kami.

Kulihat hidungnya berdarah, bibirnya pecah, dan seluruh tubuhnya bergetar hasil bantingan kuat tadi. Belum tuntas ia mengangkat kepalanya, orang tadi menginjak kuduknya, dan tertawa. Terbahak kencang.

Pisau yang orang itu pegang sedari tadi sedikit terangkat, dan sekian detik kemudian pisau itu tertanam di leher milik Ayuni. Ia menusuknya, menariknya, dan menusuknya lagi. Berkali-kali.

Saat itu sepertinya napasku ikut berhenti.

Siswa-siswa berlarian, menjeritkan ketakutan. Beberapa guru nekat mendekat, ada juga yang buru-buru menghubungi polisi dan ambulans. Aku mematung, sedangkan aktor lain berhamburan ke sana kemari menyelamatkan diri sebisa mungkin.

“Lari! Ayo, lari!” seseorang menjerit, memerintah aku yang seperti batu. Suaranya terengah-engah di ujung panggung. Tapi hatiku lebih berteriak.

The show must go on.

The show must go on.

 

Lidahku kelu, tubuhku kaku, duniaku membeku. Aku tidak bisa merasakan apapun sampai seseorang berlari ke arahku, dan menendang lututku sampai berbunyi “brak”. Kencang sekali.

Aku gemetar. Lututku patah, tapi seluruh tubuhku terlalu ngilu untuk meratapi sakitnya lututku. Sekilas kulihat Dinda dan Aryo juga terkapar bermandi darah beberapa meter dariku. Aku takut, aku juga ingin berlari. Aku tak ingin berakhir seperti tiga rekanku itu. Tapi salah satu pegiat seni bodong ini ada di hadapanku, menginjak lututku yang bahkan sudah tidak bisa digerakkan. Lalu kuhela napas panjang, mungkin ini napasku untuk yang terakhir kalinya. 

Aku yakin saat itu adalah giliranku, lalu dalam hati aku mulai menghitung.

 

Satu

 

Dua

 

Tiga

 

Empat

 

Lima

 

Sejujurnya, setelah hitungan kelima, aku tidak ingat bagaimana kelanjutannya.

 

*

Entah bagaimana awalnya. Tapi kini aku berdiri tepat di tengah ruang kelasku. Lalu aku berjalan tanpa tenaga menuju cermin besar yang menempel pada tembok putih dekat pintu yang biasa kami jadikan “spion” untuk mengawasi siapa-siapa saja yang akan memasuki kelas kami, atau kami juga biasa menggunakannya untuk bersolek nirguna ketika jam istirahat.

Langkahku ringan, tapi kepalaku pusing, ruangan ini seperti berputar. Mungkin anemiaku kambuh lagi. Lalu aku menghadap cermin untuk melihat pantulan wajahku yang agak lengket, sepertinya bekas riasan ketika pentas belum kuhapus sempurna.

Tapi yang kulihat di sana adalah pemandangan asing. Asing sama sekali.

Pakaian bernuansa tradisional yang kukenakan saat pentas kini sudah terganti dengan seragam putih abu-abu. Lebih tepatnya seragam putih yang terkotori darah merah di hampir seluruh bagiannya, serta rok abu-abu yang agak kusut dan sobek di beberapa sudut. Juga wajahku tak luput dari noda darah itu. Lengket, amis, dan menjijikan.

Ah, the show must go on, katanya? Tahi kucing. Mereka ternyata berhasil merobek-robek kulit leherku, dan menyerang hampir sebagian dari aktor di pementasanku.

Lalu setelah sekian purnama akhirnya aku tahu bahwa kematianku, kematian Ayuni, Dinda, Aryo, dan juga 3 aktor lain yang tak kuingat namanya tetap dirahasiakan sekolah. Keluarga kami mungkin meminta pertanggungjawaban, tapi sekolah tetap bungkam. Para penyerang itu juga tak pernah diketahui lagi keberadaannya karena sekolah lagi-lagi tak menunjukkan upayanya.

Meski begitu cerita tentang penyerangan kami terus melegenda. Dibisikkan dari telinga ke telinga. Dari angkatan tua menuju angkatan muda. Cerita tentang kematian kami selalu mengundang gidik ngeri mereka. Tapi tetap saja mereka menganggap kami tidak nyata alias hanya karangan semata.

Sungguh, aku gatal. Aku gatal ingin mereka tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Hingga akhirnya malam tadi aku bercerita pada salah satu murid kelas 11 Ilmu Sosial. Aku muncul di mimpinya dengan wajahku yang masih jelita. Lalu aku bercerita padanya tentang pementasan, tentang penyerangan, tentang kematian, dan segala-galanya. Pagi tadi dia terburu-buru mencatat mimpinya, agar ia tidak lupa detail yang ada. Agar mimpi yang ia ingat selalu otentik seperti cerita yang kini sedang kamu baca. 

 

***

Ditulis Oleh: Dewi Sulistia, Universitas Negeri Jakarta.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?