Majalah Sunday

Nella Fantasia (Bagian 3)

“Jadi… Kerajaan Astro akan hancur?” kata suara berat laki-laki. Suaranya bergema akibat sepinya suasana perpustakaan siang itu.

Sunrise yang berdiri sejajar dengan barisan rak buku bawah mengangguk. “Setidaknya itu yang ada di mimpiku, Erik.”

Sunrise ingat betul dengan mimpi buruk yang menyelimutinya minggu lalu. Jangan salah sangka, ia sering sekali bermimpi buruk tetapi yang satu ini… yang satu ini terasa begitu nyata. Sangat nyata seakan-akan mimpi itu akan terjadi sebentar lagi.

Seberapa keras usaha Sunrise untuk melupakannya, ia tidak bisa menyingkirkan mimpi itu dari kepalanya. Akhirnya setelah sarapan hari ini, Sunrise memutuskan untuk pergi menemui Erik. Penjaga arsip dan perpustakaan kerajaan Astro, sekaligus sahabatnya.

“Maksudku, aku sering bermimpi buruk tetapi firasatku mengatakan yang satu ini berbeda dari yang lain. Mimpiku semalam terasa sangat nyata….” Gadis berambut panjang itu mendongak ke arah Erik yang masih sibuk menata buku di rak paling atas. Pria itu tidak menggubris Sunrise untuk beberapa saat. Oh, mungkin Sunrise datang di waktu yang kurang tepat, ia lupa kalau sahabatnya ini tidak bisa diganggu jika sudah berkutat dengan buku-bukunya.

Setelah beberapa saat, Erik mencatat buku terakhir di rak. Ia menggulung perkamennya kemudian melihat ke arah Sunrise yang masih dalam posisi sama. Ia mengibaskan sayap lebar di punggungnya sebelum terbang turun. Ketika pria itu sudah sejajar dengan tubuh Sunrise, ia menatapnya cukup lama kemudian menghela napas perlahan. “Dimasa-masa sulit seperti ini apapun bisa terjadi, Sunrise, tetapi tidak baik jika kita terlalu terpaku dengan mimpi dan bukannya kenyataan.”

“Aku melihat ke masa depan, Erik. Kau yang bilang sendiri ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi, kau lebih tahu daripada aku, dan bagaimana jika mimpiku adalah salah satu kemungkinan?” Sunrise menatap mata Erik, melihat celah akan kesetujuan. Mata tajam burung hantu itu begitu tegas dan mengintimidasi. Seakan mengingatkan siapapun yang menatapnya bahwa ia makhluk paling cerdas dan bijaksana yang ada di kerajaan Astro. Tetapi Erik memang begitu, ia makhluk paling bijaksana yang ada di kerajaan. Tidak heran kalau ia memiliki tugas ganda selain penjaga arsip kerajaan, Raja juga menjadikan Erik sebagai penasihatnya. Layaknya Raja yang menaruh harap di pundak Erik untuk persoalan politik dan peperangan, Sunrise juga bergantung pada nasihat Erik. Nasihat Erik sebagai penasihat kerajaan dan juga sebagai sahabat Sunrise.

“Ada perbedaan antara kemungkinan dan mimpi. Kemungkinan diukur dengan sistematis untuk meminimalisir kerugian nantinya, sedangkan mimpi buruk hanya membuatmu takut akan masa depan yang belum terjadi.”

“Tetapi bagaimana jika aku mempunyai kekuatan seperti para leluhur? Bagaimana kalau mimpiku adalah masa depan?”

“Sunrise, kekuatan itu sudah punah ratusan tahun lalu.”

Erik benar. Sunrise pernah membaca mengenai hal itu pada buku berjudul “Mimpi yang Hidup” yang ditulis oleh ratu ketiga Kerajaan Astro. Kekuatan divinasi memang sudah hilang ratusan tahun yang lalu. Kekuatan ini merupakan kekuatan yang hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan secara turun temurun dan ratu ketiga adalah anggota kerajaan terakhir yang memiliki divinasi.

“Kemungkinan selalu ada, Erik,” kata Sunrise tegas. “Jika memang aku punya kekuatan divinasi, dan jika mimpiku benar maka hari kehancuran itu akan datang tiga bulan lagi, terjadi tepat pada hari pengangkatan ibuku menjadi ratu. Mungkin ini saat yang tepat untuk memberitahu Raja, bisa saja hari kehancuran itu ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Moon. Atau kita bisa berkoalisi dengan Iris-”

“Sunrise,” Erik memegang bahu Sunrise. “Khayalanmu sudah kelewatan, kau tahu? Berkoalisi dengan Iris? Organisasi itu berkali-kali menggagalkan diplomasi antara kerajaan kita dengan Kerajaan Moon karena sifat gegabah mereka, apa yang kau pikirkan sebenarnya?”

“Ini mimpiku dan aku bertanggung jawab atas itu. Jika memang aku punya kekuataan divinasi, dan aku tidak melakukan apa-apa meskipun aku tahu hari itu akan datang, aku lah yang bertanggung jawab atas kehancuran tanah ini,” Sunrise melepaskan genggaman tangan Erik di bahunya. “Aku putri kerajaan Astro akan melakukan apapun untuk menjaga rakyat dan tanahku.”

***

Pria bertubuh tegap terlihat sedang berdiri memandang diorama perang di hadapannya. Ia sendirian di ruangan bawah tanah yang hanya memiliki satu sumber pencahayaan dari jendela dekat langit-langit. Bau lembab pada ruangan itu tidak mengusiknya untuk keluar dari pikirannya sendiri. Sampai terdengar langkah kaki datang dari tangga yang merupakan satu-satunya jalan keluar dari ruangan itu.

“Yang Mulia,” pendatang itu membungkuk memberi hormat. Ia berdiri setelah Raja mempersilahkannya. “Ada kabar apa, Erik?”

“Tokoh masyarakat melakukan protes di alun-alun kota, Yang Mulia. Mereka kembali menuntut dipercepatnya keputusan peraturan pajak bagi keluarga korban perang.”

Raja tetap fokus pada diorama itu. “Lalu?”

Ruangan hening sebelum Erik melanjutkan, “Terjadi pencurian di bagian arsip semalam. Diperkirakan pencurian dilakukan ketika pergantian tugas jaga antara penjaga arsip. Berkas yang hilang adalah lima gulungan perkamen identitas masyarakat yang menjadi tawanan perang di kerajaan Moon.”

Berita ini membawa perhatian Raja, “Lanjutkan.”

“Perkamen-perkamen yang dicuri masih kami sesuaikan dengan salinan yang ada di berangkas lain. Jadi untuk saat ini, kami masih belum bisa mengetahui identitas siapa yang ada pada perkamen itu.”

“Apa ada tanda-tanda kehadiran kerajaan Moon?”

“Kami juga masih mencari tahu untuk yang satu itu, Yang Mulia, tetapi menurut kabar yang tersiar di kota, ada sekelompok pemuda yang kerabatnya menjadi tahanan Kerajaan Moon membentuk sebuah laskar untuk pembebasan kembali sanak saudara mereka. Laskar tersebut bernama Iris, ada kemungkinan pencurian perkamen-perkamen itu merupakan ulah mereka.”

Raja mengangguk kemudian berkata, “Cari tahu segala sesuatu tentang Iris. Apa yang mereka inginkan dan rencana-rencana mereka. Di samping itu tetap telusuri adanya kemungkinan pencurian arsip dilakukan oleh Kerajaan Moon. Jika ada perkembangan, cepat beritahu aku.”

“Baik, Yang Mulia.” Erik menunduk patuh.

Sadar akan kehadiran pemuda di hadapannya yang tidak juga pergi, Raja kembali melihat ke tempat berdirinya Erik, “Ada lagi?”

Awalnya Erik terlihat resah ingin menanyakan sesuatu, tetapi kemudian dia memberanikan diri menatap Raja, “Organisasi itu… m-maksudku Iris… Apakah mereka akan menjadi musuh kerajaan?”

Raja menumpukan tangannya pada diorama di meja. Memandangi diorama perang itu sudah menjadi rutinitasnya sejak perang antara Kerajaan Astro dan Kerajaan Moon pecah. Meskipun ratusan taktik perang sudah pernah terlukis di diorama itu, tanda-tanda perdamaian tidak juga muncul, “Sejak awal diangkatnya diriku menjadi Raja, aku tidak pernah menginginkan peperangan di bumi yang indah ini. Aku selalu percaya bahwa perdamaian bisa diraih tanpa harus menjatuhkan korban tak bersalah,”

Raja menghela napasnya kemudian berdiri tegak, “Tetapi terkadang senjata tetap harus dihunuskan karena pihak lawan memiliki tendensi lain alih-alih berdamai. Jika Iris melakukan segala sesuatu yang mengancam terusiknya gencatan senjata Kerajaan Moon, maka… Ya, Iris adalah musuh kerajaan.”

***

Terlihat seseorang yang mengenakan tudung sutra licin berwarna biru gelap. Pergerakan makhluk di bawah tudung itu tersamarakan oleh gelapnya langit malam yang selaras. Ia kerap kali menengok ke belakangnya pertanda akan sifat enggan untuk diikuti. Kaki rusa itu menuntun tubuhnya untuk memasuki gang-gang sempit dengan mulus seakan sudah hapal dengan tempat yang ingin ditujunya. Beberapa belokan telah ia lalui hingga kemudian ia berhenti di gang tergelap di daerah itu. Ia melirik ke beberapa arah hingga akhirnya ia melihat sesosok bayangan di ujunga gang. Si pemilik kaki rusa kemudian membuka tudung jubahnya, “beritahu aku informasi apapun tentang Iris.”

“Wow… sabar Tuan Putri. Bukankah lebih baik kalau kita memulai dengan perkenalan terlebih dahulu?” suara dari sosok bayangan itu terdengar begitu berat. Ia melangkahkan tubuhnya untuk lebih mendekat kepada Sunrise. Tubuh itu berhenti melangkah Ketika ia dipenuhi cahaya bulan sehingga Sunrise bisa melihatnya dengan jelas. Tubuh jangkung dan penuh dengan bulu putih bercorak, ia lebih tinggi beberapa senti dari Sunrise. Kedua taring tajam mencuat dari gusinya, Sunrise hampir bergidik ketika melihat luka sayatan panjang di mata kiri harimau putih itu.

“Cukup basa-basinya, Hann. Kita sudah sepakat.”

Hann menghela napas, “Tuan Putri tidak sabaran, ya.” Hann menyandarkan tangan kirinya pada tembok kemudian membungkukkan tubuhnya hingga wajah Hann dan Sunrise sejajar, “daripada aku yang mendongeng, bagaimana kalau mereka memperkenalkan diri mereka sendiri kepada Tuan Putri Yang Terhormat ini?”

bersambung ke Part 4.

Oleh: Amalia Mumtaz Nabila, Universitas Negeri Jakarta.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?