Penulis: Keira Santoso – SISNEJ
Di masa remaja, teman sering kali menjadi tempat pertama yang dicari orang untuk mendapatkan dukungan dan cerita. Saat menghadapi stres, kecemasan, atau masalah sekolah, curhat kepada teman bisa terasa seperti cara terbaik untuk menemukan kelegaan. Namun, tidak semua pertemanan berdampak positif bagi kesehatan mental. Terkadang, tanpa disadari, “teman untuk curhat” bisa berubah menjadi “toxic circle” atau kelompok yang membuat kita merasa tidak nyaman, lelah, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri.
Lingkungan sosial yang sehat memberi ruang bagi setiap individu untuk menjadi diri sendiri. Teman yang baik akan mendengarkan tanpa menghakimi, menghargai privasi, dan memberi dukungan saat dibutuhkan. Mereka tidak menertawakan perasaanmu atau menjadikan masalahmu bahan gosip. Sebaliknya, mereka membantu kamu melihat solusi dan membuatmu merasa diterima apa adanya.
Lingkungan seperti ini membantu remaja tumbuh secara emosional dan membangun rasa percaya diri yang kuat. Dengan dukungan yang tulus, seseorang lebih mampu menghadapi tekanan sekolah, keluarga, atau kehidupan sosial tanpa merasa sendirian.
Namun, tidak semua pertemanan berjalan sehat. Ada kalanya, kelompok teman justru menjadi sumber stres baru. Misalnya, ketika mereka sering membandingkan diri satu sama lain, meremehkan perasaan orang lain, atau menyebarkan gosip di balik layar. Dalam situasi seperti ini, curhat bisa berubah menjadi bahan pembicaraan, dan kepercayaan yang diberikan malah disalahgunakan.
Tanda-tanda kamu berada dalam toxic circle antara lain:
Kamu merasa lelah setiap kali berinteraksi dengan mereka.
Kamu tidak bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
Mereka membuatmu merasa bersalah karena punya pendapat berbeda.
Masalahmu tidak pernah benar-benar didengar, hanya dijadikan bahan omongan.
Kalau kamu sering merasakan hal-hal ini, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan kembali siapa yang kamu izinkan berada di dekatmu.
Lingkungan sosial yang tidak sehat dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Remaja dapat mengalami stres berkepanjangan, kehilangan kepercayaan diri, dan mulai menarik diri dari orang lain. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memengaruhi kesehatan mental, menyebabkan kecemasan, mudah tersinggung, dan bahkan depresi ringan. Remaja yang masih memiliki mental yang lebih lemah daripada mereka yang lebih tua mungkin akan lebih mudah terpuruk. Dampak negatif ini dapat berkembang menjadi lebih berbahaya daripada yang terlihat.
Oleh karena itu, penting untuk mengenali sejak dini apakah lingkungan Anda benar-benar mendukung atau justru merugikan.
Mulailah dengan menetapkan batasan dalam hubungan sosialmu. Tidak semua orang harus tahu semua hal tentang hidupmu dan tidak apa-apa untuk menjaga privasi. Pilih teman yang benar-benar mau mendengarkan, bukan sekadar ingin tahu. Bangun hubungan dengan orang-orang yang membuatmu merasa diterima dan termotivasi untuk menjadi lebih baik.
Kamu juga bisa mencari lingkungan positif di luar lingkaran sekolah, seperti komunitas seni, olahraga, atau kegiatan sosial. Lingkungan baru sering kali membuka ruang bagi pertemanan yang lebih tulus dan sehat.
Kesehatan mental tidak hanya ditentukan oleh apa yang kamu rasakan di dalam diri, tapi juga oleh siapa yang ada di sekitarmu. Teman yang baik bisa menjadi penyemangat dan tempat berpijak, sementara lingkungan yang salah bisa menguras energi dan kebahagiaanmu.
Mulailah peduli dengan siapa kamu bergaul. Jika merasa terjebak di lingkungan yang membuatmu tidak nyaman, tidak apa-apa untuk mengambil jarak. Menjaga batas bukan berarti egois, tapi bentuk cinta pada diri sendiri. Karena pada akhirnya, lingkungan yang sehat akan membantumu tumbuh — bukan membuatmu terluka.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.