Penulis: Rizma Ardhana Kamaria – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Di banyak tempat, teknologi alat menjadi alat utama manusia untuk memahami cuaca, waktu musim, hingga arah perjalanan. Namun di sebagian wilayah Papua, terutama di kalangan Suku Moi, pengetahuan itu diwariskan lewat alat mulai dari angin yang berubah halus, suara serangga tertentu, sampai warna awan yang nyaris tak terlihat berbeda oleh kebanyakan orang. Pengetahuan ini bukan hanya sekadar teknik bertaham hidup, tetapi cara hidup yang membentuk hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan.
Suku Moi memiliki kedekatan mendalam dengan hutan dan tanah yang mereka tempati. Bagi mereka, alam bukan objek, melainkan kerabat. Mereka belajar membaca tanda-tanda dari fenomena alam yang berulang, lalu mengolahnya menjadi pengetahuan kolektif. Misalnya, perubahan arah angin tertentu menandai datangnya hujan, dan suara burung-burung tertentu menunjukkan adanya hewan liar di sekitar. Kearifan ini lahir dari observasi berulang selama ratusan tahun dan menjadi fondasi kehidupan sehari-hari.

Salah satu kearifan paling menarik dari Suku Moi adalah tradisi Egek, sebuah konsep yang menyerupai sistem navigasi berbasis alam. Egek memetakan ruang bukan dengan GPS, tetapi dengan tanda alam seperti jalur sungai kecil, tekstur tanah, arah pertumbuhan pohon, dan jejak satwa. Teknik ini memungkinkan mereka menjelajahi hutan tanpa tersesat, sekaligus menjaga diri dari bahaya. Pengetahuan ini diajarkan dari generasi ke generasi, bukan melalui buku, melainkan melalui praktik langsung dan cerita lisan yang terus diulang dalam aktivitas sehari-hari.

Bahasa Moi memegang peranan penting dalam menjaga keberlanjutan kearifan alam. Banyak kosakata mereka merujuk pada detail spesifik lingkungan, seperti jenis tanah, pola angin, atau kategori flora dan fauna yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Setiap istilah adalah petunjuk dan sekalligus arsip ekologis. Saat bahasa ini terancam punah, hilangnya bukan hanya kata-kata, tetapi juga seluruh pengetahuan tentang lingkungan yang selama berabad-abad disimpan oleh masyarakat Moi.
Dalam era modern, generasi muda sering memandang alam sebagai sesuatu yang jauh dari kehiudpan mereka, padahal krisis iklim semakin dekat. Pengetahuan Suku Moi menawarkan perspektif baru yaitu dengan memahami alam tidak harus bergantung pada teknologi canggih, mereka menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan alami untuk membaca lingkungan jika dilatih dengan kesadaran dan kepekaan. Bagi remaja Indonesia, pemahaman ini dapat membangun rasa identitas, memperkuat kecintaan terhadap keberagaman budaya, sekaligus membuka fokus baru bahwa tradisi lokal mengandung solusi ekologis yang relevan bagi masa depan.
Kearifan Suku Moi bukan cerita lama, melainkan pengetahuan hidup yang masih berdenyut hingga hari ini. Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim dan hilangnya biodiversitas, kita dapat belajar banyak dari cara mereka menghormati dan memahami alam. Mengangkat kembali pengetahuan lokal seperti ini bukan hanya upaya melestarikan budaya, tetapi juga membuka jalan baru bagi generasi muda untuk melihat bahwa masa depan bisa dibangun dengan menggabungkan teknologi dan tradisi. Sudah saatnya remaja Indonesia mengenal lebih dekat kekayaan budaya seperti milik Suku Moi karena dari sana, kita belajar bahwa menjaga alam adalah bagian dari menjaga diri.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
