Majalah Sunday

Suara dari Lautan

Penulis: Salsabila Azahra – Universitas Negeri Jakarta

Angin pantai berhembus merdu. Membelai pipi Bei, mengusap rambutnya ke sana ke mari. Bei duduk termenung di atas pasir. Ditemani kerang-kerang dan sedikit plastik. Ombak kecil mengelitik jari kakinya yang telanjang seraya mengajak bermain sampai larut malam. Orang-orang dengan jaring ikan di pundak menyiapkan sampan, bahkan perahu. Menarik layar, menyalakan mesin. Mereka terlihat sibuk, tetapi masih menyempatkan diri untuk menyapa Bei.

Lain lagi dengan yang disapa, pikirannya sibuk berkelana. Mengingat suara-suara gurunya tentang berpisah dengan uang. Beberapa bulan lagi ia lulus sekolah. Sebelum menerima ijazah, Bei dan teman-teman seangkatannya diwajibkan mengikuti acara perpisahan sekolah. Sebenarnya Bei sangat menunggu momen ini. Ia dan teman-temannya menghabiskan waktu bersama sebelum menempuh jalan hidup masing-masing. Namun, Bei merenung. Memikirkan biaya perpisahan yang tidak sedikit.

Bei tidak sampai hati membicarakan masalah ini kepada kedua orang tuanya. Uang hasil melaut memang cukup untuk mereka bertiga, tetapi tidak sampai berlebih untuk membayar biaya perpisahan. Pemuda jangkung itu membiarkan kakinya dibelai manja ombak sampai para nelayan hilang dari pandangannya.

“Berapa bayar perpisahan, Bei?” tanya Bapak begitu Bei sampai di rumah. Bei tidak menyangka orang tuanya memiliki kemampuan cenayang. Mereka mengetahui sesuatu tanpa Bei beri tahu.

“Satu juta delapan ratus,” jawabnya dengan sedikit menunduk.

“Ya sudah, minggu depan semoga bisa bayar. Masuk sana, makan dulu!” Bapak menepuk pundaknya sambil lalu.

*****

Malam ini bulan purnama menampakkan dirinya. Jika ia sudah muncul, gelombang laut menjadi tinggi. Nelayan sangat menyukai saat-saat seperti ini. Namun, jika kemunculan bulan purnama dibarengi dengan badai di laut, nelayan pun segan untuk mengibarkan layar. Lain lagi dengan orang tua Bei. Mereka dengan mantap menyiapkan perahu. Semantap niat mereka membahagiakan anak semata wayang. Berkali-kali Bei menyampaikan rasa keberatannya. Berkali-kali pula orang tuanya tidak mendengarkan perkataannya. Ia menatap kepergian perahu ikan yang ditumpangi bapak dan ibunya sambil merapalkan doa di setiap hembusan napasnya. Berharap laut tidak memiliki minat untuk memeluk orang tuanya dalam dekapan.

Bertahan dari kehidupan yang sulit, bukan hal yang mudah, seperti cerita pendek "Suara dari Lautan" berikut ini.
Saat badai di laut, ombak siap merengkuh

Raga Bei kembali ke rumah, tetapi jiwanya tetap di pantai. Menunggu orang tuanya pulang dengan tangkapan ikan yang cukup banyak untuk dijual. Menunggu orang tuanya tersenyum begitu ia pamit untuk perpisahan sekolah. Menunggu orang tuanya menatapnya bangga saat ia menggenggam ijazah SMA. Yang ditunggu tidak pernah datang dengan ikan. Yang ditunggu tidak pernah melepasnya perpisahan sekolah. Yang ditunggu tidak pernah menatapnya dengan bangga.

Lutut Bei lemas, ia tidak sanggup berdiri. Orang tuanya, satu-satunya keluarga yang ia punya, kini telah meninggalkannya seorang diri. Seumur hidupnya, ia diajarkan untuk mencintai lautan, menghargainya dengan sepenuh hati. Tetapi, setelah ini, tidak ada lagi rasa cinta yang dimiliki Bei. Semua telah berubah. Dua orang yang dahulu membuatnya mencintai laut sudah tidak ada. Tidak ada pula alasan untuknya tetap terus mencintai laut.

Kerabat dan tetangganya ramai-ramai berkumpul di rumah Bei begitu mendengar suara dari laut. Suara yang mendekap kedua orang tua Bei selamanya. Selama beberapa hari rumah Bei terus disambangi orang terdekat yang merasa iba dengan keadaan pemuda malang itu. Namun dunia tetap berputar, hidup terus berjalan. Mereka tidak bisa terus-terusan mengasihani Bei seumur hidupnya. Perut masing-masing lebih penting untuk dikasihani. Di hari kedelapan rumah Bei sudah sepi. Hanya ada dirinya, sendiri.

Setelah mendapatkan ijazah, ia menjauhi semua hal yang berhubungan dengan laut dan mencoba memulai hidup baru di perkotaan. Jauh dari laut, jauh dari hal yang ia kenali, dan semuanya tampak asing saat ini. Tidak mudah memulai hidup di tempat baru, saat pertama tiba di kota, Bei hampir ditipu oleh seorang pemuda yang menurut perkiraannya tidak berbeda jauh dengannya dari segi usia. Selama seminggu ia hanya luntang-lantung tak tau arah.

Sulit sekali rasanya hidup tanpa kehadiran dua orang terkasih, Bei benar-benar terpuruk. Tidak pernah sekali pun terbesit di pikirannya untuk kembali ke daerah asalnya. Tempat itu memiliki kaitan yang sangat erat dengan laut dan saat ini Bei membenci hal yang menjadi penyebab orang tuanya tenggelam, termasuk perpisahan sekolah. Rasanya seperti semua orang memiliki peran atas tenggelamnya kedua orang tua Bei.

Bei sering memperbaiki mesin kapal. Setidaknya ia memiliki keahlian di bidang tersebut. Setelah seminggu tidak tahu arah, Bei mulai mencari pekerjaan di bengkel-bengkel, di pabrik-pabrik, atau tempat apa pun yang berhubungan dengan mesin. Mencari pekerjaan di kota bukanlah perkara yang mudah, ia harus bersaing dengan banyak orang yang juga menginginkan pekerjaan.

Sudah tiga minggu Bei di kota, dua minggunya ia habiskan untuk mencari pekerjaan. Ia sangat berharap dipanggil untuk bekerja oleh tempat yang sudah ia kirimkan lamaran. Bei ingin melanjutkan hidupnya, tidak luntang-lantung seperti ini. Sempat beberapa kali pemuda itu berpikiran untuk kembali ke tampat asalnya. Namun, kenangan pahit di tempat itu sangat besar, ia tidak bisa melupakan kejadian yang merenggut kedua orang tuanya.

Selama di kota, Bei tinggal dengan berpindah-pindah tempat. Awalnya ia menyewa kamar kos yang biaya sewanya harian, tetapi semakin lama uang simpanannya semakin sedikit. Ia tidak bisa terus-terusan menyewa kamar kos. Saat ini uangnya benar-benar menipis dan tidak memiliki masukan dari mana pun. Bei terpaksa tidur di depan toko sembako yang tutup pada malam hari.

“Kamu yang beberapa hari terakhir tidur di depan toko kami?” Seorang pria paruh baya menghampiri Bei yang sedang melamun beberapa meter dari toko tempatnya tidur. Ketika pria itu bertanya, Bei sedikit panik. Ia takut akan diusir dari tokonya.

“Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya, Pak. Saat ini saya tidak memiliki tempat tinggal, jadi terpaksa menggunakan halaman toko Bapak sebagai tempat untuk tidur di malam hari. Jika Bapak keberatan, saya akan meninggalkan toko Bapak saat ini juga dan tidak akan kembali lagi ke sana, Pak. Sekali lagi saya meminta maaf yang sebesar-besarnya.” Bei berucap dengan sungguh-sungguh, ia benar-benar merasa tidak enak dengan Bapak Pemilik Toko itu.

“Eh, tidak perlu begitu. Justru saya ingin berterima kasih kepadamu. Beberapa hari terakhir ini saat kami ingin membuka toko, halaman depan menjadi sangat bersih. Kami melihat di kamera pengintai dan ternyata kamu yang melakukannya. Saya benar-benar berterima kasih.” Bei hanya mengangguk dan tersenyum kikuk. Ia tidak menyangka akan mendapat respon seperti ini.

“Kalau saya boleh tahu, apakah kamu memiliki pekerjaan?” ucapan Bapak Pemilik Toko membuat Bei segera mendongakkan kepalanya. Ia menggeleng dengan kuat sebagai jawaban.

“Kebetulan sekali, toko kami sedang mencari pekerja. Apakah kamu bersedia bekerja bersama kami?” Bei berusaha mencerna ucapan Bapak Pemilik Toko.

“Saya bersedia, Pak. Sangat bersedia!” Bei menjawabnya dengan semangat, tidak pernah ia merasa sesemangat ini sejak kematian bapak dan ibunya. Bei seperti mendapatkan sebuah harapan baru, ia tidak lagi berpikiran akan pergi ke laut dan menyusul orang tuanya. Ia akan melanjutkan hidupnya di kota ini bersama kenangan mereka.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 55