Dia mati.
Sarah, ketua kelas itu mati dengan kondisi yang tidak memungkinkan para siswa untuk melihatnya. Tubuhnya terbujur kaku di dalam kamar mandi sekolah lantai tiga dengan darah yang membanjiri seluruh keramik. Di tangannya, ada satu lembar naskah monolog yang baru selesai gadis itu baca saat lomba hari ini. Tidak ada yang berani untuk sekedar meratapi kepergiannya di depan kamar mandi itu. Tempat kejadian sudah diberi garis polisi dan mayat akan segera dibawa untuk diotopsi.
Dia berbakat dan hebat. Semua siswa dan guru menyukainya. Sayang, nyawanya tidak tertolong saat tak ada seorang pun yang mengawasinya ketika pesta perayaan sekolah itu tiba.
“Aku harap aku masih bisa menyapanya.”
“Dia orang yang baik.”
“Mari berdoa supaya dia mendapat ketenangan.”
Semua murid kelas 12 IPA 1 berkumpul di depan meja Sarah sambil menunduk dalam. Membayangkan bagaimana kenangan-kenangan indah yang mereka lalui bersama. Pun halnya denganku yang turut bergabung. Kali ini, doa dipimpin oleh teman sebangkunya, Bunga.
“Sarah, semoga kamu tenang.”
Amin.
Beberapa hari setelah kejadian itu, para siswa masih tidak seceria biasanya. Mereka menjadi lebih murung dan pendiam. Kematian Sarah dua hari lalu ternyata cukup membuat semuanya terpuruk. Guru sudah memberikan petuah berkali-kali agar mereka semua tetap semangat dalam menjalani hari-hari seperti biasanya. Satu tangkai bunga lily diletakkan di meja Sarah dan diganti setiap hari. Tidak ada seorang pun yang ingin menempati meja itu. Bagi mereka, Sarah masih di sana.
Satu bulan yang lalu, tepat saat perayaan bulan bahasa, satu orang siswa kelas ini juga mati di dalam kamar mandi lantai tiga. Dahlia, namanya. Perempuan pendiam yang duduk di bagian pojok belakang kelas seorang diri. Teman-teman tidak begitu memerhatikannya. Bagi mereka, ada atau tidak ada Dahlia, kelas akan tetap sama. Dahlia memang tidak memiliki peran yang luar biasa seperti Sarah. Dia hanyalah gadis pendiam yang enggan menunjukkan kemampuannya di hadapan teman-teman.
Pasca kematian Dahlia kala itu, keesokan harinya kelas masih sama seperti biasanya. Ramai. Seperti sebelumnya, ada atau tidak ada Dahlia, kelas tidak berubah. Hanya ada satu tangkai bunga mawar yang diletakkan oleh ketua kelas di meja gadis itu sebagai pengingat bahwa Dahlia mati dengan darah yang mengelilinginya. Warnanya mirip seperti bunga mawar yang baru dipetik. Segar.
Dua hari setelahnya, mawar itu sudah mulai mengering dan tidak ada satu pun orang yang menggantikan. Dahlia telah pergi, dan mereka tahu itu. Sayang, tidak ada yang memberikan doa atau bela sungkawa kepadanya.
Perempuan yang mengenakan seragam sekolah itu duduk di sana sambil menangis. Teman di sampingnya sedang membuka sebuah buku diary milik Sarah dan tertinggal di dalam tas perempuan itu. Aku mencoba mengintip isi diary itu diam-diam.
28 Oktober, 2020
Dahlia, harusnya kamu tidak perlu mengambil apa yang harusnya menjadi milikku.
Berpura-pura bodoh adalah keahlianmu, dan aku tahu itu.
Hari ini, aku harap kamu tidak pernah mengambil apa yang harusnya guru banggakan padaku.
Siang ini sebelum kamu memulai lomba monologmu, akan kubuat semua orang bisu dan membiarkan diriku yang menggantikanmu.
Dahlia, aku harap kamu akan segera menemui ketenanganmu.
–Sarah.
Aku tersenyum kecut saat melihat perempuan di hadapanku masih menangis saat teman satu bangkunya membuka isi buku itu. Semua siswa menoleh ke arahnya lantaran Bunga; gadis yang membacanya itu memekik ketika kalimat terakhir dibaca. Sarah, yang masih duduk di bangku itu menangis sambil menyesali perbuatannya ribuan kali.
Tanganku terdorong ke depan dengan telapak tangan terbuka. Satu tangkai mawar merah bekas darah aku berikan padanya sambil mengajak Sarah untuk turut bergabung bersama yang lain. Namun, ia masih meronta-ronta dan menyangkal semua omongan yang diucapkan teman satu kelasnya.
“Jadi Sarah yang bunuh Dahlia?”
“Pas perayaan bulan bahasa itu?”
“Terus, kenapa sekarang Sarah mati?”
Semuanya menoleh ke arah kursi paling belakang. Mawar kering yang sudah satu bulan didiamkan itu menghilang tanpa sebab. Sekarang, mawar itu berada di tanganku dan akan aku berikan pada Sarah sebagai balas budi karena hanya dia yang meletakkan satu tangkai bunga di mejaku.
“Aku memberikan apa yang kamu inginkan, Sarah. Aku membiarkanmu menggantikan diriku dalam lomba monolong ini.”
Sarah menangis, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu. Kini, ia hanya bisa meratapi nasibnya. Kejeniusan bukan hal utama seseorang menjadi baik dan tidak mengambil hak orang lain. Semua siswa kelas menjauhi meja Sarah dan berkumpul di depan mejaku. Hari ini, Reza bertugas membawakan satu tangkai bunga lily yang harusnya diletakkan di meja Sarah. Kini, bunga itu berpindah ke mejaku.
“Maaf, Dahlia.” Ucap Bunga, sambil terus memegang diary milik Sarah.
Mereka semua memejamkan mata. Bunga kembali menjadi pemimpin doa kali ini. “Dahlia, semoga kamu mendapat ketenangan.”
Amin.
Novianti Sabani
Universitas Negeri Jakarta
Ceritanya menarik min!! Sukaak💖
terima kasih zahra ^^