Majalah Sunday

Serba Praktis karena AI, Tapi Kok Rasanya Otak Jarang Dipakai?

Penulis: Nur Rina Khadijah – UNJ

Hidup di era digital membuat segalanya terasa lebih mudah dan cepat. Dari mencari informasi, menyelesaikan tugas, hingga berkomunikasi semuanya bisa dilakukan dalam hitungan detik. Salah satu penyebab utama dari semua kemudahan ini adalah kehadiran kecerdasan buatan (AI). Banyak aktivitas yang dulunya membutuhkan waktu dan tenaga, kini menjadi lebih praktis karena AI. Tidak heran jika teknologi ini semakin populer di kalangan remaja.

Namun, di balik segala kemudahan tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah penggunaan AI yang terlalu sering justru membuat kita jarang berpikir? Ketika semua serba instan dan otomatis, otak kita jadi tidak terbiasa berpikir kritis atau memecahkan masalah sendiri. Lalu, apakah AI sedang membantu atau malah secara perlahan melemahkan kemampuan kita?

Apakah AI Solusi Super Praktis untuk Kehidupan Harian?

Kehadiran kecerdasan buatan (AI) telah mengubah cara kita menjalani kehidupan sehari-hari menjadi jauh lebih mudah. Banyak aktivitas yang dulu terasa rumit atau memakan waktu, kini bisa dilakukan dengan cepat. Misalnya, saat harus membuat ringkasan buku pelajaran, siswa bisa memanfaatkan aplikasi AI seperti ChatGPT atau Quillbot untuk merangkum teks secara otomatis.

Saat bingung menjawab soal matematika, aplikasi seperti Photomath bisa memberikan jawaban lengkap beserta langkah-langkahnya. Bahkan ketika harus membuat konten media sosial, AI dapat membantu membuat caption, memilih tagar yang relevan, atau bahkan menyunting foto secara otomatis. Semuanya terasa lebih praktis karena AI, membuat kita tak perlu berpikir terlalu keras atau menghabiskan banyak waktu. Itulah mengapa banyak remaja kini sangat terbantu dan mulai terbiasa mengandalkan teknologi ini dalam hampir setiap aspek kehidupan mereka.

Hidup makin praktis karena AI, tapi benarkah itu membuat kita malas berpikir? Kenali dampak kreativitas dan kemampuan berpikir kritis remaja.

Apa Jadinya Ketika Otak Dimanjakan Terlalu Lama?

Semakin sering kita menggunakan AI untuk menyelesaikan berbagai tugas, semakin jarang pula otak kita benar-benar bekerja keras. Ketika semua serba instan dari menjawab soal, menyusun tulisan, hingga membuat keputusan kita mulai kehilangan kebiasaan berpikir kritis dan mandiri. Otak kita seperti otot: jika jarang digunakan, maka akan melemah. Misalnya:

  • Siswa langsung meminta AI untuk menuliskan seluruh esai tanpa mencoba menyusun ide sendiri terlebih dahulu, sehingga kemampuan merangkai kalimat dan menyusun argumen menurun.

  • Alih-alih mencoba memahami soal, pelajar hanya memotret soal lewat aplikasi seperti Photomath dan langsung menyalin jawabannya tanpa belajar dari prosesnya.

  • Saat diminta menjelaskan topik tertentu, siswa hanya mengandalkan ringkasan dari AI tanpa membaca sumber lain atau memahami konteks secara mendalam.

  • Dalam diskusi kelas, siswa jadi kurang aktif karena terbiasa mengandalkan AI untuk merumuskan pendapat, bukan dari hasil pemikiran dan pembacaan sendiri.

Apakah AI Selalu Buruk?

Meskipun ada kekhawatiran bahwa AI bisa membuat manusia menjadi malas berpikir, bukan berarti teknologi ini selalu membawa dampak negatif. AI hanyalah alat dan seperti alat lainnya, dampaknya tergantung pada cara kita menggunakannya. Jika digunakan dengan bijak, AI justru bisa menjadi pendukung luar biasa dalam proses belajar dan pengembangan diri.

AI bisa membantu kita memahami materi pelajaran yang sulit, memberi umpan balik cepat atas tulisan yang kita buat, atau membantu menyusun jadwal belajar yang efisien. Bahkan dalam dunia kreatif, AI bisa menjadi sumber inspirasi, bukan pengganti ide. Masalah muncul ketika AI digunakan bukan sebagai pendukung, tapi sebagai “pengganti otak”. Jadi, kuncinya bukan pada teknologinya, melainkan pada sikap dan kebiasaan kita dalam memanfaatkannya.

Remaja dan Tantangan Era AI

Remaja hidup di masa ketika hampir semua hal bisa dilakukan dengan bantuan teknologi, termasuk AI. Tantangannya bukan hanya soal menguasai teknologi, tetapi bagaimana mereka tetap bisa mengembangkan kemampuan berpikir, berkreasi, dan bertanggung jawab dalam menggunakan AI. Berikut contoh tantangan yang dihadapi remaja:

1. Menjadi Pasif dalam Belajar

Banyak siswa yang langsung menyalin jawaban dari AI untuk tugas sekolah tanpa memahami isi atau konteks materi.

2. Kehilangan Kemampuan Menulis dan Berpendapat

Ketika disuruh membuat opini atau esai, sebagian remaja hanya menyalin dari hasil AI tanpa menyusun gagasan sendiri, sehingga kemampuan berargumen melemah.

3. Tergantung pada AI untuk Keputusan Pribadi

Bahkan untuk memilih jurusan sekolah atau topik tugas akhir, ada yang sepenuhnya mengandalkan rekomendasi AI tanpa melakukan refleksi atau riset pribadi.

4. Kurangnya Literasi Digital Kritis

Tidak semua remaja bisa membedakan mana informasi yang akurat dan mana yang keliru dari hasil AI, sehingga mudah percaya tanpa memverifikasi.

*****

Kehadiran AI memang membawa banyak manfaat dalam hidup kita. Namun jika terlalu mengandalkan AI, kita berisiko kehilangan kemampuan penting seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kemandirian belajar. AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti otak kita.

Jadi, yuk mulai bijak menggunakan AI!
Gunakan teknologi ini untuk membantu proses belajar, bukan untuk menggantikan usaha kita dalam memahami sesuatu. Tantang dirimu untuk tetap berpikir, membaca, menulis, dan berdiskusi tanpa selalu bergantung pada jawaban instan.

Ingat, otak juga butuh dilatih.
Jangan biarkan AI yang mikir, sementara kamu diam. AI boleh canggih, tapi kamu yang tetap harus jadi pengendali.

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 12