Penulis: Keira Santoso – SISNEJ
Di era digital yang serba cepat ini, fenomena diagnosis mandiri semakin marak di kalangan Gen Z. Istilah ini merujuk pada kecenderungan individu untuk mendiagnosis kondisi fisik atau mental mereka sendiri hanya berdasarkan informasi dari internet, media sosial, atau pengalaman pribadi, tanpa berkonsultasi langsung dengan profesional. Hal ini terbukti berbahaya dan dapat menimbulkan keraguan bagi mereka yang benar-benar memiliki kondisi tersebut.
Akses Informasi yang Mudah
Dengan sekali ketik di mesin pencari atau menonton video edukasi di TikTok, Gen Z bisa menemukan berbagai informasi medis secara instan.
Keterbukaan terhadap Isu Kesehatan Mental
Gen Z dikenal lebih terbuka membicarakan kesehatan mental dibanding generasi sebelumnya. Mereka mencari label untuk menjelaskan perasaan cemas, stres, atau burnout.
Keterbatasan Akses ke Profesional
Tidak semua orang memiliki akses mudah ke psikolog atau dokter, baik karena biaya maupun lokasi. Self-diagnose dianggap sebagai solusi praktis dan cepat.

Meskipun banyak risikonya, selalu ada sisi positif dari Self Diagnosis. Tetapi, faktor-faktor positif ini biasanya muncul setelah dampak negatifnya.

Self-diagnose bukan sepenuhnya buruk, tetapi juga tidak bisa dijadikan pegangan mutlak. Informasi medis di internet sebaiknya diperlakukan hanya sebagai referensi awal, bukan sebagai vonis akhir. Penting pula untuk membedakan antara sekadar mencurigai adanya gejala dengan meyakini diri sudah sakit. Jika gejala yang dirasakan berlanjut atau sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, langkah paling bijak adalah segera berkonsultasi dengan tenaga profesional agar mendapatkan penanganan yang tepat.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
