Majalah Sunday

Sekaten: Upacara dan Keseruan menjadi Satu

Penulis: Disti Cahya Agustine – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hai, Suners, kalau kamu suka hal-hal yang berbau budaya, musik, atau tradisi yang punya cerita panjang, Sekaten adalah salah satu festival yang wajib kamu tahu. Setiap tahun, Yogyakarta dan Surakarta berubah menjadi tempat penuh suara gamelan, keramaian pasar malam, dan ritual unik yang bikin suasananya beda dari hari biasanya. Seru banget, kan, kalau kita bisa kenal lebih dekat dengan tradisi yang sudah dijaga turun-temurun ini?

Asal Usul Sekaten

Sekaten adalah tradisi budaya yang berakar dari gamelan bernama Sekati milik Keraton Yogyakarta. Gamelan ini selalu dimainkan saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang percaya bahwa nama “Sekaten” berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Pandangan ini muncul karena tradisi Sekaten erat kaitannya dengan dakwah Sunan Kalijaga, yang pada masa itu mengajak masyarakat mengenal Islam dan membimbing mereka mengucapkan syahadat sebagai tanda masuk Islam.

Menariknya, upacara Sekaten ternyata sudah ada sejak dua periode kerajaan: masa Hindu-Buddha dan masa Islam. Pada era Majapahit, tepatnya saat pemerintahan Prabu Brawijaya V, tradisi ini bermula dari kisah sang prabu yang bersedih setelah mendengar bahwa putranya, Raden Patah, berniat menyerang Majapahit jika sang ayah tidak masuk Islam. Untuk menenangkan diri, Prabu Brawijaya melakukan tapa selama 12 hari. Para ahli gending pun mencoba menghiburnya dengan memainkan gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima, namun iramanya justru makin membuat Prabu larut dalam kesedihan. Karena itu, gamelan lalu dimainkan dengan keras hingga menghasilkan irama yang berubah-ubah. Dari peristiwa inilah muncul nama Sekati, yang berarti sesek ati atau sesak hati.

Pada masa Kerajaan Demak, Sekaten berkembang dengan tujuan yang berbeda. Sunan Kalijaga menciptakan seperangkat gamelan dan berbagai lagu untuk menarik perhatian masyarakat yang saat itu masih banyak menganut Hindu-Buddha. Ketika masyarakat berkumpul untuk menyaksikan gamelan dimainkan, Sunan Kalijaga mulai mengajarkan Islam dan membimbing mereka mengucapkan dua kalimat syahadat. Dari proses dakwah inilah Sunan Kalijaga dijuluki “Kyai Sekati”, dan nama Sekaten pun semakin dikenal sebagai bagian dari penyebaran Islam di tanah Jawa.

Sekaten: Upacara dan Keseruan menjadi satu
Suasana Sekaten

Rangkaian Acara dan Ritual Utama

Upacara sekaten dibuat dengan maksud memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tujuan lain diselenggarakannya upacara Sekaten ini adalah sebagai sarana penyebaran agama Islam. Dalam rangkaian upacara sekaten ada yang unik dan menarik terkait lima prosesi upacara sekaten yang diselenggarakan oleh Keraton Ngayogyakarta. Prosesi dalam sekaten meliputi prosesi Miyos Gangsa, Numplak Wajik, Kondur Gangsa, Garebeg, dan Bedhol Songsong.

Prosesi Miyos Gangsa dimulai dengan dikeluarkannya dua gamelan keramat keraton, yaitu Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga. Sebelum dibawa keluar, keduanya ditempatkan di Bangsal Pancaniti dan mulai dibunyikan sejak pukul 15.00 hingga 23.00. Pada malam hari pukul 20.00, perwakilan keraton menaburkan udhik-udhik berisi bunga, beras, uang logam, dan biji-bijian sebagai simbol sedekah raja kepada rakyat. Tepat pukul 23.00, kedua gamelan diarak menuju Masjid Gedhe dan ditempatkan di dua pagongan berbeda. Gamelan lalu dibunyikan selama enam hari berturut-turut, kecuali saat waktu salat dan malam Jumat.

Tiga hari sebelum puncak acara Garebeg, digelar prosesi Numplak Wajik di Panti Pareden. Prosesi ini dipimpin oleh putri tertua Sultan dan dilakukan untuk menyiapkan wajik yang akan ditempatkan di Gunungan Wadon. Pada waktu yang sama, digelar latihan barisan prajurit keraton yang akan bertugas saat Garebeg Mulud. Latihan ini dilakukan dengan rute mengelilingi area keraton hingga Alun-alun Utara, dan para prajurit masih mengenakan pakaian sederhana sambil membawa atribut masing-masing.

Setelah satu minggu berada di Pagongan Masjid Gedhe, kedua gamelan dikembalikan ke keraton melalui prosesi Kondur Gangsa yang dilaksanakan pada 11 Mulud pukul 23.00. Sebelum prosesi berlangsung, Sri Sultan dan rombongan menghadiri pembacaan riwayat Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Gedhe Kauman. Sultan menaburkan udhik-udhik di dua pagongan dan di empat penjuru tiang utama masjid sebagai simbol berkah bagi masyarakat. Seluruh perjalanan ini dikawal prajurit keraton, sementara Sultan mengenakan simping mlathi di telinga kiri sebagai tanda kesediaannya mendengarkan suara rakyat.

Keesokan harinya, pada 12 Mulud, digelar Hajad Dalem Garebeg Mulud yang membagikan tujuh gunungan ke tiga lokasi berbeda, termasuk Masjid Gedhe, Pura Pakualaman, dan Kepatihan. Gunungan-gunungan ini diarak keluar dari keraton dan diperebutkan masyarakat sebagai simbol keberkahan. Pada malam hari pukul 20.00, acara dilanjutkan dengan upacara Bedhol Songsong berupa pegelaran wayang kulit semalam suntuk di Bangsal Pagelaran. Lakon yang dibawakan adalah Wisanggeni Ratu, sekaligus menandai berakhirnya rangkaian perayaan Sekaten.

Makna di Balik Sekaten

Upacara Sekaten punya makna yang sangat dalam dan mencakup banyak sisi, mulai dari spiritual, budaya, sampai sosial. Tradisi ini digelar untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk dakwah Islam yang dibalut dengan kearifan budaya Jawa. Musik gamelan Sekaten menjadi media dakwah yang lembut, mengajak masyarakat mendekat pada ajaran Islam dengan cara yang damai. Proses gunungan yang berisi hasil bumi juga menjadi simbol rasa syukur sekaligus harapan agar masyarakat selalu diberi rezeki dan keberkahan.

Selain nilai religiusnya, Sekaten juga sarat makna sosial karena mampu mempererat hubungan antarwarga. Pasar malam yang hadir selama perayaan Sekaten menggambarkan suasana kebersamaan dan kegembiraan yang bisa dinikmati semua orang, tanpa memandang latar belakang. Doa Bersama menjadi momen untuk mengingat kembali keteladanan Nabi Muhammad SAW, sambil mengajak masyarakat melakukan refleksi diri untuk memperkuat iman dan akhlak.

Sekaten di Masa Sekarang

Perkembangan upacara Sekaten di masa sekarang menunjukkan perubahan besar yang mengikuti gaya hidup era modern dan digital, tapi tetap menjaga kesakralannya. Di Yogyakarta dan Surakarta, ritual utama seperti tabuhan gamelan Kyai Sekati dan pawai Grebeg Maulud masih dilakukan seperti dulu. Bedanya, bagian hiburan seperti pasar malam kini dibuat lebih kekinian dan interaktif. Contohnya lewat acara Pesta Rakyat Istimewa (PRI) 2025 yang menghadirkan workshop membatik, kerajinan tangan, hingga kuliner kreatif. Semua ini dilakukan agar Sekaten tetap relevan dan menarik untuk generasi muda.

Di tengah perkembangan zaman yang serba cepat, Sekaten tetap hadir sebagai tradisi yang dijaga dan dirayakan setiap tahun. Walaupun ada beberapa bagian yang disesuaikan agar lebih cocok dengan generasi sekarang, tujuan utamanya tetap sama, yaitu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dan menguatkan keimanan umat Muslim.

Sekaten: Upacara dan Keseruan menjadi satu
Gunungan Sekaten diarak dengan meriah sebagai simbol berkah bagi masyarakat

Sekaten menunjukkan bagaimana sebuah tradisi bisa tetap sakral sekaligus menghadirkan keseruan yang dekat dengan kehidupan kita hari ini. Dari ritual gamelan hingga pasar malam yang meriah, semuanya menyatu menjadi pengalaman budaya yang sayang untuk dilewatkan. Yuk, Sunners, kalau kamu berkesempatan datang ke Sekaten, jangan hanya menikmati hiburannya, tapi juga resapi makna, budaya, dan spiritualnya.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 17