Penulis: Ahmad Syaiful Annas – UNESA
Puisi ini merupakan kritik sosial yang halus namun tajam terhadap fenomena relasi manusia dengan hewan peliharaan di era modern. Lewat gambaran kontras antara kucing peliharaan yang hidup nyaman dan bocah miskin yang kelaparan, puisi ini menyentil ketimpangan empati dalam masyarakat—bagaimana kasih sayang dan perhatian kadang lebih mudah diberikan kepada hewan lucu nan menggemaskan daripada sesama manusia yang menderita.
Dengan nada sinis dan reflektif, puisi ini mengeksplorasi bagaimana hewan peliharaan bisa menjadi simbol kasih sayang semu yang lebih menonjolkan keinginan untuk memiliki dan mengontrol dibanding benar-benar mencintai. Kasih sayang dimaterialisasi dalam bentuk pakan mahal, aksesori lucu, bahkan prosedur kastrasi demi estetika. Kritik diperluas pada praktik komersialisasi hewan di toko dan media sosial, di mana penampilan dan “kelucuan” menjadi syarat layak tidaknya diberi perhatian.
Di ruang tamu yang wangi sabun,
seekor kucing duduk tenang di bantal empuk,
namanya diberi seperti bangsawan
Lucifer, Simba, atau Madam Putih Salju.
Ia makan daging dalam piring keramik,
saat bocah di seberang desa
menghisap tulang ayam dari tong sampah.
Tapi siapa yang peduli,
yang penting Luci sehat dan menggemaskan.
Anjing-anjing jalanan menggonggong lapar,
namun tak punya wajah Instagramable,
tak lucu saat bersin atau meringkuk dalam hoodie,
maka tak layak diberi nama.
Di toko hewan, mata-mata kecil mengintip
dari kandang baja sempit,
dijual seperti mainan,
karena kasih sayang kini bisa dibeli
atau ditinggal bila bosan.
Tapi kita memuja mereka, bukan?
Seperti anak sendiri, katanya,
walau kadang lebih disayang
dari manusia yang sungguh-sungguh lapar,
berkeringat, berdarah, dan berbicara.
Apa cinta yang sesungguhnya?
Adakah ia dalam pakan premium
atau di balik kastrasi paksa demi estetika?
Adakah kita mencintai
atau sekadar mengendalikan?
Hewan kesayangan,
kadang benar-benar disayang,
kadang hanya dijadikan
cermin ego manusia yang kesepian
Puisi “Dibalik Ekor Yang Bergoyang” mengajak pembaca merenungkan ulang bentuk kasih sayang manusia terhadap hewan peliharaan. Di balik kelembutan dan perhatian yang tampak, tersimpan pertanyaan kritis tentang ketulusan, keadilan, dan ketimpangan empati. Melalui ironi dan kontras yang tajam, puisi ini menggugah kesadaran bahwa cinta sejati bukanlah sekadar konsumsi, kontrol, atau pencitraan melainkan penghargaan atas kehidupan, baik hewan maupun manusia, secara setara dan bermartabat.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.