Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Taruhan Hati

Penulis: Cindy Trianita Silaen – UKI

“Gue tantang lo, Yan. Bisa nggak lo pacarin si Maya, si anak kutu buku itu?” Suara Andre terdengar menantang.

Rian tertawa. Tentu saja bisa. Maya adalah lawan yang paling mudah menurutnya. Tidak ada yang pernah mendekatinya, jadi dia pasti akan luluh dengan sedikit perhatian. Itu hanya permainan.

“Gue akan membuat taruhan ini semudah membalik telapak tangan.” -Rian

Kutu Buku vs Seorang Idola

Namaku Maya, siswi kelas XII. Orang-orang di sekolah lebih sering manggil aku “si cupu” daripada nama asliku. Rambut selalu dikuncir ponytail, kacamata tebal, seragam rapi kayak murid teladan. Aku nggak punya banyak teman, kecuali rak buku perpustakaan yang udah kayak rumah kedua.

Suatu sore yang tenang, aku tengah asyik membolak-balik halaman novel klasik favoritku di sudut perpustakaan. Bau kertas tua yang menenangkan menjadi satu-satunya teman. Tiba-tiba, sebuah suara ringan memecah kesunyian.

“Halo kak, boleh ga gue duduk di sini?”

Aku menoleh, terkejut. Rian—cowok paling populer di sekolah, yang biasanya dikerubungi banyak orang di lapangan basket atau kantin—kini berdiri kikuk di hadapan ku, membawa setumpuk buku yang jelas jarang ia sentuh. Aku sempat mengernyit, heran mengapa sosok seperti dia memilih duduk di meja kecil yang nyaris tersembunyi ini.

“Perpustakaan luas. Kenapa harus di sini?” Aku menjawab dingin.

Rian hanya nyengir, meletakkan bukunya sembarangan. “Karena di sini ada kakak. Dan katanya, kakak jago banget Matematika. Aku butuh penyelamat.”

Aku menghela napas, setengah malas menanggapi. Tapi ada sesuatu di cara Rian berkata-kata. Seperti setengah bercanda, setengah serius—yang membuatku sulit benar-benar menolak.

Hari-hari berikutnya, Rian selalu muncul dengan alasan berbeda. Kadang pura-pura kesulitan mengerjakan soal, kadang hanya datang membawa dua gelas kopi dingin. Suatu kali, ia meletakkan sebuah post-it kecil di atas mejaku dengan gambar doodle lucu, menuliskan: “Terima kasih, guru pribadi. Hari ini otakku tidak jadi meledak.”

Awalnya, aku tetap menjaga jarak. Namun, tanpa sadar, aku mulai menantikan suara langkah Rian yang mendekat, atau komentar isengnya tentang buku yang sedang ia baca.

Yang membuat aku semakin luluh adalah ketika Rian tidak sekadar bertanya soal pelajaran. Ia bahkan ingin tahu film apa yang bisa membuatku menangis, mengingat detail kecil seperti warna pena favoritku, bahkan mendengarkan ketika Aku bercerita tentang mimpiku melanjutkan studi di luar negeri. Di momen-momen itu, Aku mulai  melihat sisi Rian yang berbeda: bukan hanya si populer penuh pesona, tapi juga seseorang yang tampak benar-benar peduli.

Dan dari situlah semuanya mulai berubah. Hati seorang cewe cupu   yang selama ini dingin perlahan terasa hangat, meski aku sama sekali tidak tahu bahwa di balik semua perhatian manis itu, apakah kelak dapat melukai.

Tapi semua itu runtuh dalam semalam.

Aku nggak sengaja lewat lapangan saat latihan basket. Dari jauh, aku dengar suara tawa yang aku kenal.

“Gila, lo serius bisa bikin senior cupu itu klepek-klepek?!” suara seorang temannya.

Rian tertawa puas. “Tunggu aja, sebentar lagi dia pasti mau jadian. Taruhan gue berhasil.”

Jantungku jatuh ke lantai. Jadi… selama ini aku hanya permainan?

Air mataku menetes, tapi aku buru-buru menahannya. Hari itu aku pulang sekolah dengan kepala penuh pertanyaan.

Namun, alih-alih hancur, ada sesuatu dalam diriku yang menyala. Aku sadar: aku tidak boleh lagi jadi objek yang gampang dipermainkan. Aku mainin peranku dengan baik— pura-pura nggak tau, pura-pura lugu.

Yang dikira mangsa ternyata Predator

Hari itu sekolah sedang ramai luar biasa. Lapangan penuh hiasan lampu dan panggung besar berdiri megah. Semua orang sibuk dengan acara pensi tahunan—penampilan band, tari modern, sampai stand-stand makanan.

Lapangan sekolah malam itu penuh sesak. Lampu sorot berkelap-kelip, band terakhir baru saja selesai tampil, dan MC bersiap menutup acara.

Tiba-tiba, suara teriakan terdengar dari sisi panggung.
“Bentar! Gue mau ngomong sesuatu!”

Semua orang menoleh. Itu Rian—si kapten basket, si idola sekolah. Dengan gaya penuh percaya diri, dia naik ke panggung, mikrofon sudah di tangannya.

“Gue mau jujur malam ini…” katanya, senyumnya khas banget. “Di depan semua orang, gue mau bilang, Kak Maya…  selama ini gue suka sama lo kak!” 

Sekolah langsung heboh. Jeritan cewek-cewek, sorakan cowok-cowok. Semua mata otomatis mencari aku di tengah kerumunan.

Aku berdiri, wajahku datar. Aku tahu dia akan melakukan ini—dan aku juga tahu semuanya cuma aksi drama. Bukan cinta. Bukan ketulusan. Hanya taruhan.

MC memberiku kode untuk maju ke panggung. Perlahan aku melangkah, ribuan tatapan mengikuti.

Rian menyodorkan tangannya, seolah yakin aku akan luluh. “Kak Maya… jadi pacarku, ya?”

Aku mengambil mikrofon lain. Tersenyum tipis. Dan di situlah aku mulai.

“Lucu ya… kamu pikir aku nggak tahu kalau ini cuma taruhan?”

Hening. Seketika suasana riuh berubah jadi sunyi. Rian kaku, senyumnya langsung hilang.

“Aku udah dengar semuanya, Rian. Dan tahu nggak? Dari awal aku nggak pernah percaya sama manisnya kata-katamu. Aku cuma nunggu… kapan kamu bakal jatuh sendiri ke dalam permainanmu.”

Penonton berbisik-bisik, beberapa langsung menutup mulut menahan kaget.

Aku menatapnya lurus. “Aku memang ‘cupu’, iya. Tapi aku nggak pernah pura-pura jadi orang lain. Sedangkan kamu… anak populer, kapten basket, idola semua orang… ternyata cuma pengecut yang butuh taruhan biar kelihatan jago.”

Sorak-sorai mulai terdengar. Ada yang ketawa, ada yang teriak, “Savage banget, May!”

Aku mengangkat daguku sedikit. “Jadi jawabanku… jelas: tidak. Dan mulai sekarang, berhenti pake aku buat nambahin cerita heroikmu. Karena di cerita ini, Rian… kamu bukan pahlawan. Kamu cuma plot twist yang gagal.”

Aku letakkan mic ke tangannya lagi, lalu turun panggung dengan kepala tegak.

Tepuk tangan, sorakan, dan teriakan membahana. Semua orang bersorak menyebut namaku. Dan Rian? Dia berdiri kaku, wajahnya pucat, ditertawakan teman-temannya sendiri.

Malam itu, aku bukan lagi “senior cupu” yang jadi bahan taruhan. Aku adalah gadis yang membalik permainan di panggung paling besar—dan aku menang, dengan cara paling savage yang bisa dibayangkan.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 23