Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Overthinking Tidak Bisa Ditransfer via QRIS

Penulis: Afifah Fayza – UKI

Jamilah, maba yang hidupnya penuh overthinking, tugas numpuk, arah hidup error 404, dan dompet yang bahkan malu ngakuin saldo sendiri.

Cara Hidup Normal Padahal Kepala Lagi Error 404

Jamilah baru seminggu resmi menyebut dirinya “calon orang sukses” di bio Instagram. Masalahnya, sukses itu kayak dosen pembimbing: ada, tapi susah ditemui.

Hari pertama kuliah, dia berdiri di depan peta kampus selama lima menit.

“Gedung A di mana ya…” gumamnya.

Peta diam. Peta tidak peduli pada kebingungannya. Seperti masa depannya.

Di kepala Jamilah, ada suara lain.

Mil, tenang… semua orang mulai dari nol.

Iya, tapi ini aku kayak minus, bukan nol… ini udah utang ke hidup.

Tanggal tua belum datang, tapi dompetnya lebih dulu latihan.

Dia buka pelan-pelan.
Isinya cuma:

  • struk fotokopian
  • kartu pelajar
  • dan harapan yang udah almost expired

“Aku percaya kita bisa, kok,” katanya ke dompet.

Dompet tidak menjawab. Mungkin dia juga lagi overthinking.

Overthinking Tidak Bisa Ditransfer via QRIS — kisah Jamilah, maba overthinking, dompet kosong, dan hidup yang error pelan-pelan.

Semua Orang Kelihatan Punya Arah, Aku Punya Arah Mata Angin (Tapi Muter)

Di kelas, semua orang keliatan serius banget. Kayak habis tanda tangan kontrak sama masa depan.

“Aku mau ikut organisasi biar CV-ku keren.”

 “Aku mau daftar lomba nasional.”

“Aku target IPK 4 di semester satu.”

Aku ikut buka HP juga.  Bukan buat nyatet cita-cita.  Aku ngetik pelan:

Target hari ini:

  1. Jangan salah ruangan

     

  2. Jangan nyasar ke jurusan orang

     

  3. Jangan tiba-tiba pulang karena capek eksistensial

     

Dian nyenggol lenganku.

“Mil, kamu kenapa melamun terus?”

“Aku lagi ngobrol sama diriku dari masa depan.”

“Terus dia bilang apa?”

“Dia juga bingung.”

Dian ketawa. Aku ikut ketawa, tapi jujur dalam hati aku lagi nanya:

Kenapa semua orang kayak dikasih buku panduan hidup, sedangkan aku cuma dapet brosur tapi tulisannya kabur?

Aku liat papan tulis.  Dosen lagi nulis: FUTURE PLANNING

Kepalaku nambahin sendiri: ‘BUT FIRST, SURVIVING’

Aku tarik napas pelan.

“Ya Tuhan, kalau mereka punya arah hidup, aku kayaknya baru punya arah kipas angin muter doang.”

Interview Jiwa Jam 2 Pagi

Jam 2 pagi.  Kamar kos hening kayak habis diputusin sepihak.

Jamilah duduk di lantai, bersandar ke kasur. Di depannya: dompet kosong dan bantal yang udah tahu semua rahasia hidupnya.

Mil… jujur aja deh, katanya pelan ke diri sendiri, kamu ini lagi capek apa lagi drama?

Sunyi. Lalu kepalanya jawab sendiri:

“Aku nggak nyari makna hidup. Aku cuma pengen sehari aja nggak mikir.”

Dia nengok ke dompet.

“Kamu kenapa kosong terus?”

Seolah dompet menjawab: “Cermin diri, Mil.”

Jamilah ketawa kecil. Antara mau waras atau mulai halu.

“Kalau aku ini tokoh utama, kenapa rasanya kayak figuran yang nyasar ke lokasi syuting?”

Dia tiduran, nempel ke bantal.

“Atau jangan-jangan ini bukan film, ini iklan panjang tentang sabar dan mie instan.”

Dan di titik itu… dia nggak nangis. Nggak panik. Nggak berusaha cari jawaban.

Dia cuma mikir satu hal paling jujur hari itu:

“Kayaknya aku nggak rusak… aku cuma lagi loading.”

Konsultasi Hidup sama Kipas Angin

Jamilah bangun, masih setengah sadar, masih setengah overthinking. Dia duduk di depan kipas angin yang muter pelan.

“Menurut kamu, aku ini kenapa sih?” tanyanya serius.

Kipas angin: nguuung nguuung

“Aku bukan nanya soal kecepatan, aku nanya soal hidup.”

Kipas angin tetap muter. Stabil. Konsisten. Berdedikasi.

Jamilah mikir sebentar.

“Oh… jadi maksud kamu, hidup itu muter aja dulu ya? Nggak usah tahu ujungnya ke mana?”

Ngung ngung.

“Aku suka jawaban kamu sih. Simple. Nggak sok bijak, tapi menenangkan.”

Dia balik ke kasur,  ngambil HP,  buka bio Instagram-nya:

Dari:
“calon orang sukses”

Jadi:
“masih mikir, jangan diganggu”

Dia senyum sendiri.

“Lebih jujur.”

Hari Ini Udah Cukup

Malam itu, Jamilah rebahan lagi. Tapi berbeda dari sebelumnya.

Kepalanya nggak ribut. Pikirannya nggak berantem.

Dia sadar satu hal kecil tapi penting:

Dia nggak harus ngerti semua sekarang. Nggak harus punya 5 tahun plan.

Nggak harus jadi versi “hebat” versi orang lain.

Hari ini… dia cuma mau:  makan, mandi, tidur, dan tetap hidup.

“Besok mungkin aku masih bingung,” gumamnya pelan,

“Tapi hari ini aku aman.”

Dompet masih kosong. Masa depan masih blur. Pertanyaan masih ngantri.

Tapi Jamilah tetap ada di sini.

Dan entah kenapa… itu terasa cukup.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 24