Penulis: Cindy Trianita – UKI
Udara bulan Desember di Tirtayasa terasa renyah, membawa aroma pine dari dekorasi Natal yang berlebihan di SMA elit tersebut. Namun, bagi Jasmine (17), aroma itu adalah bau kompetisi. Ia berdiri di depan whiteboard ruang klubnya, jarinya mengetuk-ngetuk diagram skema e-waste recycling yang rumit, proyek yang ia yakini akan memenangkan Christmas Giving Gauntlet tahun ini.
Jasmine adalah definisi dari excellence. Berprestasi, socially conscious, dan feed Instagram-nya adalah galeri sempurna antara aktivisme dan aesthetic. Tetapi di balik senyumnya yang terbingkai rapi, tersembunyi rasa putus asa untuk mendapatkan pengakuan dari Ayahnya yang super kritis.
Seorang gadis bertubuh mungil dengan hoodie kebesaran, Vanya yang menjabat sebagai Kepala Divisi Publikasi sedang sibuk menempelkan mood board di dinding.

Vanya: “Oke, vibes mood board sudah fix ya Zero Waste, maximum Impact. Jasmine, serius deh, ini jenius banget. Siapa yang kepikiran bikin e-waste jadi dekorasi Natal limited edition buat dijual ke influencer? Kita akan meledak! Bye-bye, competitors.”
Jasmine menghela napas, meskipun ia tahu Vanya benar. Ia mengambil kopi susunya, matanya memicing ke salah satu foto di mood board, foto Arion yang tersenyum kemenangan tahun lalu.
Jasmine: “Jangan senang dulu, Van. Inget, Arion. Si Golden Boy Tirtayasa. Dia nggak pernah gagal. Tahun lalu dia cuma menang karena proyek dia kebetulan lebih ‘menyentuh hati’. Tahun ini aku nggak mau cuma ‘menyentuh hati’. Aku mau impact yang terukur.”
Vanya: “Yah, si Arion paling-paling cuma bikin panti asuhan jadi aesthetic lagi. Been there, done that. Lagipula, dia kayaknya sibuk sama Olimpiade Sains dia. Nggak mungkin dia bisa fokus di dua hal.”
Tiba-tiba, pintu ruangan klub terbuka. Suara tawa yang rendah dan percaya diri masuk mendahului orangnya. Arion berdiri di ambang pintu, bersandar santai dengan jaket kulit hitam, kontras dengan suasana Natal di lorong.
Arion: “Bicara soal aku? Vanya, I’m flattered.”
Vanya berbisik cepat ke Jasmine, “Oh, crap. The Golden Boy.”
Jasmine: “Cuma bahas statistik kompetisi tahun lalu, Ri. Dan tentu saja, data menunjukkan kalau tahun ini, reign kamu akan berakhir.”
Arion melangkah masuk, matanya dengan cepat menyapu whiteboard Jasmine, lalu berhenti di diagram skema. Dia tidak menunjukkan kekaguman, hanya analisis dingin.
Arion: “Program e-waste? Solid. Tapi bukannya target audiens kamu terlalu… niche? Mengumpulkan e-waste dari sekolah elit nggak akan memberikan angka yang impresif. You need volume, Jas. Dan volume butuh budget.”
Jasmine merasakan denyut kesal di pelipisnya. Arion selalu menemukan celah.
Jasmine: “Aku sudah memikirkan budget dan volume. Semua datanya dienkripsi di cloud pribadiku. Aku nggak sebodoh itu untuk menaruhnya di tempat yang bisa diintip. Lagipula, aku dengar kamu sibuk. Atau kamu beralih dari rumus fisika ke hacking sekarang?”
Arion tertawa kecil, tawa yang membuat Jasmine ingin memukulnya, karena terlalu karismatik.
Arion: “Tenang, Jas. Aku tahu Kode Etik. Aku nggak mau beasiswa karena mencuri ide orang. Aku mau beasiswa karena ideku memang jauh lebih baik.”
Dia berbalik, melambai santai.
Arion: “Sampai jumpa di Malam Natal. May the best charity win.”
Jasmine mencengkeram ponselnya erat-erat setelah Arion pergi. Rasa benci dan tekanan bercampur aduk. Dia tahu, Arion hanya berpura-pura santai. Kompetisi ini adalah segalanya bagi mereka berdua. Ia mematikan laptop dan memastikan enkripsi datanya aktif sebelum meninggalkan ruangan, yakin tidak ada celah.
Tiga hari berlalu dengan ketegangan. Jasmine dan Vanya bekerja seperti mesin, memfinalisasi presentasi mereka. Namun, pada sore yang dingin, saat Jasmine sedang scrolling di Twitter, ia melihat sebuah trending topic yang membuatnya lemas.
Jasmine memandang layar ponsel dengan mata melebar, “Van… Van, lihat ini.”
Vanya bergegas mendekat. Di layar ponsel Jasmine, ada berita dari sebuah portal media regional.
Vanya: “Yayasan ‘Cahaya Ibu Pertiwi’ meluncurkan program daur ulang e-waste kreatif? mengubah komponen PC menjadi micro-drone untuk memantau kualitas udara di daerah kumuh? Tunggu… bukannya…”
Jasmine (suaranya bergetar): “Itu persis proyekku, Van. Dari target pasar, skema daur ulang, bahkan sampai detail teknis micro-drone-nya. Persis, Van. Persis!”
Vanya: “Tapi bagaimana? Kamu bilang datanya di cloud yang terkunci! Itu nggak mungkin bocor!”
Jasmine membanting tangannya ke meja. Wajahnya memerah karena amarah dan frustrasi.
Jasmine: “Hanya satu orang. Hanya satu orang di sekolah ini yang punya skill dan motivasi sekejam ini untuk meretas dan membocorkannya.”
Jasmine: “ARION!”.
***
Malam itu, Jasmine tidak tidur. Amarahnya mengalahkan logikanya. Ia harus memenangkan ini. Ia harus membuktikan dia benar. Ia menyusun rencana nekat: Menyelinap ke area loker dan ruang penyimpanan untuk mencari bukti digital bahwa Arion adalah hacker pembocor rahasia.
Pukul 11 malam. Jasmine menyusup ke sekolah, berbekal senter kecil dan tekad bulat. Ia tahu Arion sering menggunakan ruang arsip kuno di sayap timur untuk berlatih, karena tempat itu paling sepi. Di ruang arsip yang gelap dan berdebu, ia mulai mencari di sudut-sudut yang mungkin disembunyikan hard drive atau flash disk rahasia.
Tiba-tiba, sebuah suara membuat jantungnya berhenti.
Arion : “Mencari sesuatu, Miss Perfect?”
Jasmine membeku. Arion berdiri di ambang pintu, tidak tersenyum.
Jasmine: “Arion! Apa yang kamu lakukan di sini?”
Arion: “Aku? Ini tempat favoritku untuk mencari ketenangan. Yang lebih menarik, apa yang dilakukan ratu aktivis di tengah tumpukan debu ini? Mencari inspirasi amal baru setelah proyekmu gagal?”
Jasmine: “Jangan pura-pura, Ri! Aku tahu kamu yang melakukannya! Kamu yang membocorkan proyek e-waste ku! Aku akan mencari buktinya di sini!”
Arion: “Kamu menuduhku meretas dan mencuri idemu? Itu fitnah. Aku nggak butuh ide busukmu. Aku punya proyekku sendiri yang jauh lebih baik.”
Jasmine menerjang Arion dalam upaya merebut tas punggungnya. Dalam pergumulan singkat itu, mereka berdua tersandung tumpukan props Natal kuno yang rencananya akan dipindahkan ke gudang. Prop kayu tua, lampu Natal berkarat, dan kotak-kotak berjatuhan.
Saat mereka terpisah, mata Jasmine tertuju pada sesuatu yang terlepas dari dalam kotak kayu tua yang pecah. Itu adalah… sebuah Kalender Advent kayu yang sangat kuno, dengan ukiran simbol aneh di setiap pintunya.
Arion terengah-engah, memungut Kalender itu dengan kening berkerut, “Benda apa ini?”
Jasmine mendekat, tiba-tiba rasa marah digantikan rasa penasaran, “Itu… itu bukan dekorasi sekolah biasa. Lihat simbol-simbolnya. Mereka seperti… lambang yayasan lama. Buka pintu pertamanya.”
Arion membuka pintu tanggal 1. Di dalamnya, tertulis sebaris teka-teki kuno.
Teka-Teki tertulis rapih : Di mana cahaya berhenti, tapi kebenaran terus berjalan. Cari peninggalan yang bukan emas, tapi nilainya setara seribu kisah.
Mereka berdua saling pandang. Pertengkaran mereka mendadak terlupakan. Di balik kemarahan dan persaingan, mereka menyadari ada rahasia besar yang tersembunyi di dalam kalender Natal tua itu.
Jasmine: “Ini pasti ada hubungannya dengan yayasan. Dan beasiswa itu.”
Arion: “Aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan. Tapi kalau ini ada hubungannya dengan beasiswa yang akan aku menangkan… aku mau tahu.”
Jasmine: “Deal. Kita harus memecahkan ini. Tapi jangan pikir aku memaafkanmu soal proyekku.”
Arion (senyum kecil yang misterius): “Aku juga tidak memaafkanmu soal mencoba merampokku. Tapi untuk saat ini, kita harus kerja sama, Jas. Selamat datang di Misi Rahasia Kalender Advent.”

Di tengah malam yang dingin, rasa permusuhan antara Jasmine dan Arion mereda, digantikan oleh kegelisahan dan adrenalin. Mereka bersembunyi di ruang kelas kosong, dengan Kalender Advent kuno tergeletak di meja sebuah objek yang tidak seharusnya ada di sana.
Jasmine: “Oke, kita punya ‘cahaya berhenti’ dan ‘peninggalan yang bukan emas’. Ini pasti teka-teki, Ri, bukan riddle iseng.”
Arion, yang sudah mengambil posisi seperti sedang memecahkan soal Olimpiade, mengambil buku catatan dan pensil.
Arion: “Aku tahu. ‘Cahaya berhenti’ berarti sesuatu yang memantulkan cahaya, tapi bukan sumbernya. Atau, sesuatu yang menghentikan cahaya. ‘Peninggalan yang bukan emas’ mengarah ke sesuatu yang bernilai historis, bukan finansial.”
Jasmine: “Peninggalan… Sekolah kita dibangun oleh keluarga Tirtayasa pada tahun 1920-an. Ada banyak patung dan plakat yang terbuat dari perunggu. Tapi perunggu itu… bukan emas, tapi bernilai.”
Arion mendongak.
Arion: “Patung perunggu pendiri sekolah di Aula Utama. Malam-malam lampu aula selalu mati, tapi jendela di belakangnya memantulkan cahaya bulan. Itu dia! Cahaya berhenti di patung!”
Mereka bergerak cepat. Berbekal senter dan skill menyelinap, mereka tiba di Aula Utama yang gelap. Di balik patung perunggu yang besar, Arion menemukan ukiran kecil. Itu adalah angka romawi dan koordinat samar.
Arion: “Ini kode enkripsi yang aneh. Berdasarkan pergeseran Cesar, angka ini mengarah ke….”
Jasmine: “Ruangan Direksi yang lama!”
Arion: “Tepat. Ruangan yang ditutup setelah renovasi lima tahun lalu. Sekarang menjadi gudang, tapi tidak ada yang pernah membersihkannya.”
Mereka bergegas ke gudang lama. Pintu terkunci dengan gembok tua.
Jasmine: “Bagaimana kita masuk?”
Arion: “Aku punya skill hacking digital, bukan physical. Tapi…”
Arion melihat ke atas. “Terowongan ventilasi. Aku pernah lihat Vanya masuk ke sana saat dia mau memasang spanduk raksasa di Hari Guru.”
Jasmine tiba- tiba bersemangat, “Vanya! Tentu! Dia pro urusan menyelinap. Aku akan menghubunginya!”
Jasmine mengirim pesan kepada Vanya, yang terpaksa bangun tengah malam. Vanya awalnya panik melihat Jasmine bersama Arion, tetapi rasa ingin tahu yang besar mengalahkan segalanya.
Vanya tiba 15 menit kemudian, membawa kotak peralatan kecil. Dengan cekatan, Vanya membuka kisi-kisi ventilasi.
Vanya: “Oke, ini kode etiknya: Kalian berdua harus berjanji nggak akan pernah bilang ke siapa-siapa kalau aku master kunci cadangan. Dan kalian harus utang aku french fries MCD sebulan.”
Jasmine: “Deal! Lebih baik utang kentang goreng daripada utang beasiswa.”
Arion, meski sinis, mengangguk. Mereka bertiga menyelinap melalui terowongan ventilasi yang sempit dan berdebu. Di dalam ruangan Direksi lama yang berdebu, pintu tanggal 2 dari Kalender Advent telah terbuka. Di bawah meja Direktur yang berjamur, mereka menemukan sebuah buku jurnal dengan inisial Direktur lama.
Arion: “Jurnal ini berisi laporan yang tidak dipublikasikan tentang kinerja Yayasan 10 tahun lalu. Lihat ini…”
Arion menunjuk pada entri yang mengkhawatirkan. Laporan Yayasan resmi menunjukkan surplus besar, tetapi jurnal ini mencatat banyak penarikan dana tunai yang tidak jelas selama periode Natal.
Jasmine: “Periode Natal. Tepat saat Gauntlet diadakan. Mereka menyelewengkan uangnya di tengah gemerlap amal palsu.”
Vanya: “Ya Tuhan. Beasiswa itu… Apakah itu cuma umpan?”
Arion: “Petunjuk ketiga ada di sini, di halaman jurnal yang dilipat.”
Mereka menemukan petunjuk ketiga: Jika hadiahmu hilang, cari pada yang memberi. Di balik jendela kristal, letak kebohongan abadi.
Mereka tahu, petunjuk itu mengarah pada Ayah Jasmine, yang merupakan salah satu anggota Board Yayasan.
Arion: “Jasmine… kita harus hati-hati. Ini bukan lagi soal beasiswa atau proyekmu. Ini soal keluargamu.”
Jasmine terdiam. Rasa curiga terhadap Arion belum hilang, tetapi kekhawatiran yang ia rasakan terhadap kebenaran ini jauh lebih besar. Ia harus tahu seberapa jauh Ayahnya terlibat.
Konflik telah meningkat. Petunjuk Kalender Advent terus menuntun mereka ke bukti penyelewengan dana. Kerja sama yang awalnya dipaksakan kini menjadi ikatan tegang yang didorong oleh adrenalin dan rasa ingin tahu. Mereka berhasil mengumpulkan cukup bukti untuk mengetahui bahwa kompetisi The Gauntlet hanyalah panggung. Petunjuk tanggal 23 dan 24 Kalender Advent mengarahkan mereka ke file digital yang dienkripsi di server utama sekolah, yang menyimpan bukti final skandal dan log akses.
Hanya tersisa satu malam sebelum Malam Natal, malam pengumuman pemenang Gauntlet. Jasmine, Arion, dan Vanya berada di ruang server tua di bawah tanah sekolah, berjam-jam mencoba memecahkan enkripsi terakhir. Energi mereka habis, hanya didorong oleh kopi dan janji french fries mcd dari Vanya.
Arion dengan jari-jarinya bergerak cepat di keyboard laptop yang terhubung ke server, “Ini adalah enkripsi tingkat tinggi. Tidak dibuat oleh staf IT sekolah. Ini buatan profesional.”
Sedangkan Jasmine sedang mengecek daftar nama di buku jurnal, “Tentu saja. Ayahku ada di board. Pasti dia yang menyewa tim mahal untuk menutupi ini.”
Vanya, bertugas mengawasi monitor keamanan, tiba-tiba berseru pelan. “Sistem deteksi gerak di koridor utama baru saja aktif. Itu bukan patroli keamanan biasa. Mereka bergerak terlalu cepat.”
Arion: “Sial! Mereka pasti tahu kita masuk. Ini firewall terakhir, Jasmine, aku butuh keyword! Aku nggak bisa menembusnya tanpa password yang relate dengan keluarga Tirtayasa.”
Jasmine memejamkan mata, memikirkan setiap detail arsitektur dan sejarah yayasan yang pernah ia pelajari demi kompetisi ini.
Jasmine: “Coba… ‘KEJUJURAN’. Itu adalah tagline pertama Yayasan saat didirikan sebelum semua berubah.”
Arion mengetik cepat. Layar menyala hijau.
Arion: “Got it! Kita masuk. Flash drive!”
Jasmine dengan cepat mencolokkan flash drive ke port server. Semua data penyelewengan dana Yayasan, jutaan uang yang seharusnya untuk beasiswa terunduh dalam hitungan detik.
Saat file terakhir terunduh, Arion melihat satu folder ekstra yang diberi nama samar “JASMINES_BACKUP.” Arion membukanya karena penasaran. Folder itu berisi log akses ke cloud pribadi Jasmine yang diretas sebulan lalu.
Arion dengan suaranya serak, matanya membesar, “Jasmine… lihat ini. Aku menemukan log akses ke cloud mu yang diretas. Ini membuktikan siapa yang mencuri proyekmu.”
Jasmine mendekat. Dia siap melihat nama Arion, meskipun ia sudah tahu Arion tidak mungkin bertanggung jawab.
Jasmine membaca alamat IP di layar. “Alamat IP-nya mengarah ke jaringan kantor Ayahku. Nggak mungkin…”
Arion: “Dan ini… ini log email yang dikirim ke Yayasan ‘Cahaya Ibu Pertiwi’. Ayahmu yang mengirimnya. Dia membocorkan proyekmu untuk menjatuhkanmu di kompetisi ini.”
Jasmine ambruk ke lantai yang dingin. Rasa sakit pengkhianatan melumpuhkannya. “Kenapa… kenapa Ayahku melakukan ini? Aku melakukan semua ini untuk membuatnya bangga!”
Arion: “Dia nggak mau kamu menang, Jas. Dia nggak mau kamu mendapatkan beasiswa ini. Karena kalau kamu menang, kamu akan duduk di dewan. Dan dia tahu, kamu akan menemukan kebenaran ini. Dia membocorkan proyekmu yang kecil untuk mencegahmu menemukan skandalnya yang besar.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar sangat keras di tangga darurat.
Vanya (Panik): “Mereka datang! Itu bukan keamanan, itu Pak Hadi, Ketua Yayasan, dan beberapa orang lain! Kita harus lari!”
Arion mencabut flash drive yang panas itu dan menarik tangan Jasmine. Mereka bertiga melesat ke lorong servis. Jasmine berlari, tetapi pikirannya jauh lebih berat daripada kakinya. Ayahnya, orang yang ia coba puaskan selama bertahun-tahun adalah pembohong dan manipulator. Rasa sakit itu memberinya kekuatan yang baru. Dia tidak lagi berlari dari rasa takut, dia berlari menuju keadilan.

Malam Natal. Auditorium penuh sesak dengan siswa, orang tua, dan dewan Yayasan. Lampu berkilauan, pohon Natal tampak sempurna, dan panggung dihiasi spanduk megah “The Annual Christmas Giving Gauntlet.”
Jasmine dan Arion berada di ruang tunggu belakang. Mereka telah menghubungi beberapa jurnalis tepercaya melalui Vanya. Jasmine memegang flash drive itu dengan erat.
Jasmin: “Ini dia. Kesempatan kita yang terakhir. Kalau kita upload ini sekarang, beasiswa itu akan hilang. Semua akan hilang.”
Arion menatap Jasmine, matanya menunjukkan rasa hormat dan dukungan sejati, “Aku tahu. Tapi kita nggak akan kehilangan kita, Jas. Kita akan mendapatkan hal yang lebih nyata daripada selembar kertas beasiswa yang dibangun di atas kebohongan. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”
Jasmine mengangguk, air mata bercampur tekad : “Aku tahu. May the best truth win.”
Acara dimulai. Ketua Yayasan, Pak Hadi, naik ke panggung. Dia meminta Ayah Jasmine, salah satu anggota dewan terhormat, untuk naik dan memberikan pidato.
Saat Ayah Jasmine mulai berbicara tentang “semangat memberi dan kejujuran,” Arion diam-diam pergi ke meja kontrol audio-visual. Dengan skill hacking-nya, dia mengalahkan sistem presentasi Yayasan. Di tengah kalimat Ayah Jasmine, layar megah di belakang panggung tiba-tiba menampilkan bukanlah logo Yayasan, melainkan halaman web baru yang penuh dengan log transaksi, bukti email, dan file yang diunduh dari server. Judul besar berwarna merah menyala:
“SKANDAL DANA YAYASAN TIRTAYASA: BEASISWA HANYA TAMENG?”
Auditorium meledak dalam kekacauan. Para jurnalis yang sudah siaga mulai memotret. Ayah Jasmine pucat pasi di atas panggung.
***
Skandal itu menjadi berita utama nasional. Yayasan dibubarkan. Kompetisi “Gauntlet” dibatalkan selamanya. Meskipun Jasmine dan Arion tidak pernah mendapatkan beasiswa, mereka dipuji karena keberanian mereka.
Enam bulan kemudian. Jasmine dan Arion, yang kini sepasang sahabat/partner yang sangat dekat, tidak lagi bersaing. Mereka duduk di depan laptop, bukan untuk vlogging, melainkan untuk mengelola “The Phoenix Foundation” yayasan amal yang benar-benar transparan, yang mereka bangun dari nol.
Vanya masuk, membawa sekantong besar french fries mcd.
Vanya: “Nih, chiefs. Budget kalian untuk bulan ini. Kalian tahu kan, kita sekarang dicari banyak investor karena reputasi kita yang super jujur. Siapa sangka, berkat kalender Natal kuno, kita jadi begini?”
Jasmine tersenyum, menatap Arion.
Jasmine: “Aku nggak peduli beasiswa itu. Aku mendapatkan hal yang jauh lebih baik. Aku mendapatkan kejujuran.”
Arion (Menyeringai, mengambil kentang goreng): “Aku juga. Aku mendapatkan mitra yang cerdas… dan utang french fries mcd seumur hidup. Selamat Natal, Jas.”
Mereka berdua tertawa, menutup laptop mereka. Mereka telah memenangkan hal yang paling otentik: tujuan yang nyata dan koneksi yang jujur.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
