Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Library Intern

Penulis: Shafa Nurul Azmi P – UPI

Kami memulai minggu pertama di sebuah sekolah sekitar Bandung Utara, sekolah yang berdiri di tahun 1990 ini berdiri kokoh dan tumbuh di antara rumah-rumah warga dengan suasana yang ramai. Di antara suara itu, deruan motor plat D menghampiri bangunan yang dituju, suara itu perlahan mulai padam dan terparkir tepat di halaman sekolah, aku Capaw dan rekanku Lana saling memandang dan bergegas berjalan masuk ke dalam sekolah. “Ditunggu sebentar ya,” ujar salah seorang guru piket yang menyambut kami. Suasana sekolah begitu ramai, hari pertama kami diisi dengan membereskan beberapa buku yang tidak beraturan di rak buku. Untuk sepersekian buku, Lana sudah membuat semuanya tersusun dengan rapi.

“Dek Lana dan temannya, ada yang mau bapak diskusikan terlebih dahulu,” ujar Kepala Perpustakaan kepada kami, Lana dan aku lalu menghampiri meja Pak Lusman. 

“Jadi begini Dek Lana dan Dek Capaw, perpustakaan fisik ini akan direnovasi, kebetulan sekolah mendapat dana sumbangan untuk renovasi perpustakaan digital, setelah berdiskusi, ruangan perpustakaan fisik akan dipindahkan ke gudang, yah.. Meskipun kecil, tapi kan kita masih punya perpustakaan fisik.” 

Aku dan Lana saling berpandangan, bingung, kaget dan tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya aku maupun Lana tak pernah memiliki rencana awal jika lokasi magang kami ini mengalami renovasi besar-besaran, bahkan ruangan fisik pun akan dipersempit dan setiap koleksi buku dibatasi.

“Paw, ini gimana ya” tanya Lana saat kami memandang ruangan gudang yang dipakai, aku hanya berdeham pelan, akupun tak punya banyak ide untuk itu. Tempatnya cukup gelap dan pengap, bagaimana caranya rak-rak itu masuk ke sini?

Karena merasa tak punya waktu, akhirnya kami mencicil beberapa buku untuk dimasukkan ke dalam kardus, Lana terlihat sangat frustasi, jika tidak karena mengabdikan diri atas nama universitas, mungkin kami sudah memilih perpustakaan kota yang memiliki tugas dan jam masuk yang lebih flexible. Waktu berjalan cepat, hari pertama kututup dengan tangan penuh debu. Aku dan Lana berharap semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan untuk 25 hari ke depan.

1. Minggu Pertama

Beberapa rak sudah masuk ke dalam gudang untuk layouting, aku mengambil beberapa kardus berisi buku yang sudah di label supaya tidak repot mengambil ke ruang monitor tempat buku-buku lainnya. Susunan rak yang memanjang membuat ruangan terasa semakin sempit, hanya diberikan satu langkah setiap jaraknya untuk masuk diantara jajaran rak, pencahayaan pun tak maksimal dan membuatku tak betah saat menyusuri lorong. Pukul 12, hari itu berawan, padahal di jam sebelumnya langit terasa berseri, aku yang mulai menyusun beberapa buku mulai merasakan ruangan cukup gelap dan pengap. 

“Paw buku komik nanti layoutnya di sebelah sana ya!” tunjuk Lana ke area rak no 3, menurutku tempat itu tidak terkena cahaya lebih banyak, ya.. maksudku gelap.

Aku hanya mengangguk, lalu mengambil beberapa tumpukan komik. Benar kan, sebelah sini terasa sedikit gelap. Aku tak menghiraukan hal itu karena aku bersama Lana di gudang ini, tiga komik, lima komik ku masukan..

“ Eh Lan jangan duduk di atas rak, ga ngaca banget badan gede,” ujarku saat melihat kaki di seberang rak buku ku. Kedua kaki itu terlihat bergoyang goyang maju mundur seperti posisi duduk di kursi, setelah kuperhatikan sambil membereskan buku, aku mulai merasa aneh, Lana adalah laki-laki yang memiliki tinggi 170 dengan berat 90, kurasa ini tak wajar. Mengapa kakinya terlihat seperti kaki perempuan dan sangat kurus, dan.. pucat.

Aku tetap fokus merapikan buku namun mataku terganggu dengan kaki di seberangku, aku mencoba berdehem namun tak ada respons dari Lana, “ Lana ih jangan bercanda, buruan turun tar lemarinya rusak!” ucapku sedikit menekan. Tak lama orang yang kupanggil menghampiri, “ Apaan turun?” tanyanya bingung.

Wajahku terkejut, kaku dan refleks kembali menoleh ke arah bayangan kaki itu, sudah hilang, mataku membulat dan segera aku bangun. “Kenapa? Tadi nyuruh apaan?” tanya Lana, aku menggeleng dan masih memikirkan apa yang sedang terjadi.  Ah.. sepertinya salah lihat, sejak tadi kan aku membereskan komik, jadi otakku hanya sedang membuat skenario horor saja. Setengah hari tak terasa, aku dan Lana pergi ke kantin untuk membeli sesuatu yang bisa mengisi tenaga. Aku memesan bakso tahu sedangkan Lana membeli batagor, kami makan di depan sekolah sambil memandang keatas perpustakaan. “ ada 23 hari lagi…” ucapku pasrah, Lana hanya bisa mengunyah dan menggelengkan kepala. Setelah selesai kami kembali ke perpustakaan dan membereskan buku sampai pulang.

Minggu ketiga

Hari ini tidak begitu banyak pengunjung, aku hanya berteman dengan sunyi, sementara Lana ada di bawah karena jadwal piket. Setiap sudut seperti memberikan nadanya sendiri, termasuk sudut di ujung sana yang gelap dan tertutup tirai, sedikit membayangkan ada seseorang di balik tirai itu karena terasa sangat tebal untuk sebuat tirai. Aku memejamkan mata, mataku terasa sangat berat, kepalaku seperti ditekan oleh sebuah benda, atau mungkin seperti ada yang duduk di antara kedua pundakku dan memegang kepalaku untuk menyeimbangkan posisinya, awalnya kutahan dan kuabaikan, mungkin ini efek menstruasi. Seketika semua gelap, aku terhanyut ke dalam tidurku, namun saat aku memejamkan mata, Lana sudah di sisiku sambil menggenggam  minyak kayu putih.

“Paw, jangan bercanda ah, ini udah beneran sadar kan?” ucap Lana cemas, aku yang mencoba menyadarkan diriku mengangguk perlahan dan keheranan, memangnya ada apa?

“Paw, kita ke bawah ya ke uks, kuat ga kalo turun?” Lana merangkul bahuku membantuku memapah jalan, aku yang mulai tersadar sedikit menolak dan mendorong sedikit tubuhnya dariku “Eh, eh apaan kok ke UKS, apaan sih?!” tolakku.

“Ayo udah ke UKS, dari tadi lu ga sadar gue bangunin, ini juga.. lu bocor, kita ke UKS aja ya. Gak apapa kok jangan malu sama gua.” aku langsung melihat bangkuku dan aku terkejut, kenapa menstruasiku bisa sederas ini. Aku hanya bisa berdiam dan mulai merasakan  mata dan wajahku memanas, aku merasa malu di depan Lana, namun Lana mencoba menenangkanku dan menawarkanku untuk mengganti rokku dengan celana training yang kebetulan ia bawa untuk bermain futsal di kampus sehabis magang. 

Aku mengambil sabun dan perlengkapan gantiku di tas sembari membawa celana training Lana, meskipun kebesaran, namun ini lebih baik daripada mencuci rokku karena noda yang cukup banyak. Lana sedikit khawatir soal kondisiku, namun aku meyakinkan dirinya bahwa aku bisa pergi ke toilet di lantai bawah sendiri, ya, tak ada toilet di lorong sekitar perpustakaan. Aku berjalan melewati kelas sebelum menuju tangga bawah, aku sambil melihat ke sekitar kelas yang ternyata sudah sepi karena aku tertidur lama sampai melewatkan jam pulang. Aku bertemu dengan Pak Lusman setelah menuruni tangga, ya, untuk sementara kantor Pak Lusman di ruang guru karena tak ada tempat. 

“Dek, gimana hari ini, lancar?” tanya Pak Lusman.

“Alhamdulillah pak, hari ini belum ada yang pinjam buku sih,” jawabku sambil melipat sedikit rokku untuk menutupi noda, 

“Ah percaya bapak  sama kalian, kalau gitu hubungi bapak ya kalau butuh sesuatu.” 

Aku mengangguk. Sesampainya di toilet, aku merasa ada seseorang yang mengikutiku, namun aku yakin tak ada seorang pun yang berjalan di belakangku, aku masuk ke toilet staf, posisi toilet itu ada di dalam gudang dalam, biasanya toilet ini dipakai oleh staf kebersihan atau guru yang mengajar di sekitar situ, aku melihat ke arah potongan cermin sebelum masuk kamar mandi, tak ada apa-apa namun firasatku semakin kuat.

Saat keluar aku semakin tertegun karena tak ada seorang pun yang ada di dalam kamar mandi gudang ini selain aku, aku menengok ke samping dan toilet di sebelahku masih terbuka jelas. Menyadari itu, aku bergegas sambil menahan tangis dan mencerna apa yang sedang terjadi. 

“Lan, pulang yu” ajakku sedikit terburu-buru, Lana mengangguk dan membereskan meja kerja. Aku tak mau berpikir panjang soal hari ini, aku juga tak berani memandang ke arah sudut tirai itu dan bergegas pulang.

Kejadian di minggu-minggu sebelumnya tak mengganggu pekerjaanku, namun aku tak akan menggunakan toilet itu lagi, aku memilih berjalan sedikit lebih jauh ke toilet guru. Suasana di minggu ini seperti tidak membawa semangat, di pagi hari langit sudah mengisyaratkan kegelapan, sore terlihat panas namun perlahan padam dan semakin gelap.  Lana menjaga sendiri di perpustakaan sementara aku sedang piket di bawah, aku sedang asyik berbincang dengan beberapa anak magang dari prodi yang berbeda, ternyata pengalaman gangguan di perpustakaan bukan terjadi sekali atau dua kali. Menariknya, sepanjang area perpustakaan memang bukan ruangan yang sering beroperasi, setelah layout  sekolah berubah, akhirnya perpustakaan dipindahkan ke lantai atas bersama dengan ruangan monitor dan gudang yang tepat berada di ujung. 

“Paw, boleh ke atas dulu nggak?” suara Lana terdengar dari tangga, ia mengampiri aku dan kuiyakan sembari pamit sebentar pada rekan piketku. Sambil menaiki tangga, aku yakin ada sesuatu yang dirasakan oleh Lana, 

“Kenapa Lan?” tanyaku bingung. 

Ia hanya tersenyum dan mengernyitkan matanya, “Males nih sendiri, dari tadi area komik jatuh terus, terus bukunya yang itu terus jatuhnya, padahal udah aku masukin buku lain di situ.” Aku membuka mata memberikan reaksi seakan tidak percaya, namun aku paham bagaimana rasanya, kebetulan suasana perpus memang semakin gelap. 

Hari ini kami berencana pulang lebih larut, beberapa buku ini perlu diselesaikan lebih cepat sebelum hari kerja kami habis. Baru kusadari waktu sudah menjelang magrib, Aku dan Lana masih membersihkan dua tumpuk di antara delapan buku lainnya. Kami tetap berencana melanjutkan, kebetulan ada kegiatan MPLS di area lapang, setidaknya suasana tidak terlalu sunyi karena jarak lapang yang hanya terhalang gedung kelas. 

Suara gemuruh petir terdengar keras sampai membuat Aku dan Lana terkejut, tiba-tiba blam semua lampu di sekolah mati dan terdengar jeritan beberapa siswa yang terkejut. Tidak ada yang bisa kulihat selain pintu luar yang masih terbuka, aku berusaha mencari ponsel ku sambil menyusuri  rak, Lana yang berada di ruangan perpustakaan digital segera menghampiri keberadaanku dahulu. 

“Mati lampu ya?” tanya Lana, aku menjawab iya sambil fokus melihat di antara kegelapan. Baru saja aku mendapatkan ponselku, angin bertiup kencang dar BRAK, pintu luar tertutup dengan sendirinya, sekarang cahaya itu semakin tipis untuk dilihat, samar-samar aku masih bisa melihat bayangan Lana, namun aku tak berani menatap bayangan Lana karena kulihat pantulan di kaca yang gelap itu melihatkan sesosok wanita berambut panjang yang berdiri di belakang Lana. Aku segera mencengkram lengan Lana dan memastikan bahwa itu adalah Lana.

“Tenang, ini gue kok Paw, lu pegang tangan gue di belakang, yuk kita jalan!” ajak Lana.

“Oke ayo,” kami menghampiri pintu tersebut, namun sesuatu yang lebih aneh terjadi, pintu itu memang sudah rusak, namun tak ada agenda yang mengatakan pintu itu bisa mengunci dengan sendirinya, Lana sedikit panik sambil menekan pintu keluar. Aku hanya bisa mencengkram Lana sambil menundukan mataku, ya, jika aku menengok, aku tepat berhadapan dengan area tirai itu dan aku tak mau melihatnya. 

“Gua coba buka pintu perpus digital, lo coba buka yang ini ya Paw”

“Ga, gamau.. gua ikut lo aja plism” aku menggeleng cepat tanpa menatap Lana, aku hanya bisa menahan tangis. Aku tau aku anak yang cengeng, tapi siapa yang bisa tahan, 20 menit berlalu setelah kami mencoba menggedor-gedor pintu, kami juga mencoba menghubungi Pak Lusman satu satunya yang kami bisa hubungi di sekolah.

“Halo, ada orang di dalam?” suara itu terdengar saat kami masih panik, kami lalu menggedor-gedor untuk memberi isyarat suara, suara itu bertautan dengan jawaban kami namun seketika suara itu berubah menjadi pekikan tertawa. Lutut ku terasa lemas, Aku merasakan rasa takut lewat tangan Lana, aku hanya bisa mencoba untuk tidak menangis di situasi seperti ini. 

“Lan, udah yu pasrah aja,” ucapku ditengah pekikan suara yang semakin nyaring, Lana hanya mendekapku untuk memastikan kami dalam posisi yang aman jika pintu itu mendadak terbuka karena angin. Aku masih mendengar suara tertawa dan sautan itu dan akhirnya membuat perasaan ku justru marah,

“ HEY SIAPAPUN LO YANG DI SINI, GUE CUMA MAU MAGANG… GUE CUMA MAU BANTU BIAR RUANGAN INI GA KOSONG, TOLONG JANGAN GANGGU DONG!” Lana mencoba menenangkan emosiku, aku sudah tak tahan meski lututku bergetar hebat. Gemuruh dan petir menyambar dan menciptakan kilat, sekilas aku melihat dari pantulan jendela di ujung, sosok wanita itu berdiri di atas salah satu rak lemari, aku hanya bisa menangis menahan takut.

Beberapa menit berlalu, hujan mulai mereda seketika cahaya lampu kembali menyala, Aku dan Lana saling berpandangan dan segera berteriak kembali meminta dibukakan pintu, tak lama pintu terbuka.

“Neng, kenapa masih di sini?” rupanya Pak Muin membuka pintu itu sambil terheran, aku bersyukur dan hanya bisa tersenyum lega. 

“Neng, Aa.. kenapa ga pulang, jangan di sini sendirian ya ampun..” Aku hanya bisa tertawa lega dan Lana menjelaskan bahwa kami terkunci dari dalam. 

“Nah, Neng, Aa.. lain kali jangan terlalu lama ya, kalo engga kasih tau saya kalo masih di atas, untung ini kedenger sama saya, kalo engga nginep mungkin berdua di sini. Emang pintunya udah jelek, dan anginnya lagi gede-gedenya, udah sok sekarang pulang ya..” 

Kami mengiayakan dan segera bergegas pulang. Mataku terasa sembabkarena tangis, Lana juga terlihat masih pucat, namun kami memilih pulang dan tidak menceritakan apa yang sudah kami alami. 

WEEKEND PRODUKTIF YANG BAKAL BIKIN KAMU SEMANGAT DI HARI SENIN!
Sumber Gambar : Pinterest

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 1