Penulis: Muhammad Khafidz Khoiruddaroin
Sore itu hujan di Jogja, sehabis pulang kerja gue memutuskan untuk mampir dulu ke sebuah angkringan di pinggir jalan. Gue duduk di kursi panjang terbuat dari kayu, sembari memesan satu kopi panas dan pisang goreng. Sebenarnya sore itu adalah sore yang biasa bagi gue. Sore yang dingin, dengan pemandangan jalanan yang becek, jalanan yang renggang, cuma ada beberapa kendaraan yang lalu lalang waktu itu. Gue menggenggam cangkir panas sambil melihat lihat sekitar.
Gue pikir, momen-momen seperti ini harus sering gue dapatkan. Sendirian ngeliatin tukang parkir dengan rompi kuning yang masih sibuk dengan peluitnya, atau ngeliat genangan air yang mulai meluap. Buat gue yang setiap hari sering lembur karena ngerjain revisi dari atasan, rasanya sore ini lebih dari cukup. Gue sesekali menghela nafas, meminum kopi panas, kadang juga, karena iseng, gue sempet nguping obrolan dua remaja di sebelah gue. Salah satu dari mereka ada yang sedang curhat, katanya ‘Gue mau putus aja sama Amel, gue rasanya dimainin, Dik.’ Lalu teman yang gue rasa namanya Dika itu menjawab ‘Azmi, Azmi. Kalau putus, emang lo bisa move on? Dia itu bintang sekolah, Mi,’ katanya, ‘Lo siap buat ngehadapin patah hati. Gue udah ngerasain, Mi. Dan itu, rasanya kayak makan tai,’ lanjutnya menatap Azmi tajam. Mendengar itu, gue cuma berpikir, apakah bener kata Dika kalau patah hati memang seburuk itu? Rasanya itu terlalu lebay, jika disuruh memilih antara makan tai atau patah hati, gue pasti akan memilih patah hati berkali kali.
Sebenernya seru menguping obrolan mereka, tapi karena gue nggak mau ketauan dan dicap mas-mas aneh, gue akhirnya berhenti. Saat itu, gue hanya nyengir kecil sambil berpikir kalau masalah mereka nggak sepenting itu, masa masa patah hati atau cinta monyet gue udah kelar. Gue bukan lagi remaja yang nangis nangis karena diputusin, biarlah itu jadi masalah mereka. Setidaknya itu yang gue pikirin, sampai di mana gue melihat ada seorang perempuan berlari menghampiri angkringan yang gue singgahi. Perempuan itu memakai mantel plastik berwarna biru, dengan dua sepatu yang diangkat di masing-masing tangannya. Menembus derasnya hujan.
‘Bang, teh anget satu ya,’ kata dia.
Perempuan itu langsung duduk di sebelah gue sembari melepas mantel dan meletakkan sepatunya yang basah. Gue hanya memperhatikan sekilas, lalu menggeser posisi duduk agar jarak kami nggak terlalu dekat. Pandangan gue beralih ke pisang goreng yang sepertinya sudah dingin, mungkin karena tadi gue diemin waktu asik sendiri menguping obrolan dua remaja itu. Berjalan beberapa detik, gue yang masih mengunyah pisang goreng, tiba tiba menoleh karena cewek di sebelah gue berseru ‘Adam!?’ katanya ‘Kamu, Adam, kan?’
Saat itu, gue memandangi dia sambil berpikir keras, siapa cewek ini? Gak mungkin cewek yang kemarin gue gombalin di aplikasi Tinder dong, rasanya itu nggak mungkin, temen kantor gue bahkan pernah bilang kalau Tinder itu aplikasi di mana cowo sering berpura-pura jadi cewek. Dan ketika ngeliat dia, gue rasa, dia memang cewek tulen. Gue masih bengong melihat dia, tetesan air sesekali menetes dari rambutnya yang basah, dari jarak sedeket ini, gue bisa liat tahi lalat kecil di bawah matanya.
‘Kok, bengong? Dam?’ tanya dia memecahkan lamunan gue ‘Aku Andini, kamu gak inget?’ lanjutnya seperti tau kebingungan dari raut muka gue.
Dan di saat itulah, gue baru nyadar kalau cewek ini adalah mantan pacar gue waktu SMA sekaligus cinta pertama gue. Maka sore itu yang tadinya biasa, sekarang menjadi berbeda.
‘Oh, inget, Din,’ balas gue ‘Andini Amalia Maheswari, kan? Maaf ya, tadi berusaha nginget, kirain modus baru, di berita berita sering muncul gituan soalnya, Din. Nanti tiba tiba digendam aja. Hahaha.’ lanjut gue ketawa, Andini balas dengan senyum kecil. Kala itu, gue pengin mencari tukang bakso terdekat lalu menyundulkan kepala gue ke panci. Gue malu mampus.
‘Kamu masih sama ya kayak dulu.’ kata dia.
‘Sama gimana?’
‘Ya gitu, bercanda garing.’ jawab dia.
‘Garing-garing gini juga dulu kamu pernah naksir, Din.’ balas gue jail.
Andini hanya membalas dengan tertawa. Cangkir berisi teh hangat datang. Kami basa basi hampir 15 menit.
Andini bilang dia ke Jogja untuk liburan dan sekarang lagi menginap beberapa hari di rumah neneknya. Dia juga bercerita tentang temen sekolah kita yang baru gue tau kabarnya, katanya ada yang udah pergi ke Jepang untuk usaha roti buaya, Andini bilang ‘Aneh, ya, jauh-jauh ke luar negeri jualan roti Buaya’ lalu gue balas ‘Mending dong, daripada jualan sayur lodeh coba. Ntar gak ada yang beli. Karena, kan, orang jepang susah ngucapinnya. Sumimasen Sayuru Rodeshu, masa gitu. Ribet, Din.’
Andini tertawa kecil lalu bilang ‘Tuh, kan, garing, Damm’. Gue juga ikut bercerita tentang gue yang akhirnya menetap di Jogja dan jadi budak korporat. Rasanya sudah hampir 10 tahun gue dan Andini berpisah. Nggak seperti kebanyakan pasangan lainnya, kita waktu itu sama-sama sepakat untuk putus. Alasanya? Karena dulu Andini harus ikut bokapnya yang seorang tentara untuk dinas di Aceh, sedangkan gue juga harus ke Semarang untuk berkuliah. Kita sama sama setuju untuk putus dibanding LDR.
‘Dulu aku inget, kamu selalu pakai kacamata, Din.’ kata gue.
‘Sekarang juga masih, tadi aku copot karena pakai softlens. Eh malah hujan, akhirnya softlens nya juga dicopot sekalian deh.’ balas dia lalu meminum teh hangat dari cangkir.
Hening. Rintik air berbunyi mengenai seng diatas gerobak angkringan, seperti mengetuk pelan. Aneh, Seperti masuk mesin waktu, rentetan kenangan masa lalu memenuhi pikiran gue. Sebuah rollercoaster perasaan, selaras dengan pernyataan yang dia berikan.
‘Hujan-hujan gini, aku jadi inget pas dulu kamu ke rumah buat nembak aku, terus malah disangka maling.’ kata Andini masih menggenggam cangkir dengan kedua tanganya.
Gue tertawa, merasa malu mengingat kejadian itu.
Dulu waktu malam hari, dengan bermodalkan niat, gue nekat untuk hujan-hujanan ke rumah Andini. Gue berada di depan pagar rumahnya, sedangkan dia berada di jendela kamar nya. Gue mengambil nafas dalam-dalam lalu berteriak kencang ‘Andini, Kamu mau gak jadi pacar aku??!’ Lalu sepersekian detik setelah gue teriak, pintu rumah Andini terbuka, gue waktu itu berharap kalau Andini yang keluar dengan matanya yang berbinar, tapi apa daya, yang keluar adalah Bokapnya. Satu hal yang pertama kali gue notice adalah: Bokapnya Andini memegang pistol. Kami akhirnya bertukar pandang, saat itu, gue nggak lagi berpikir apakah Andini mau jadi pacar gue, kala itu, gue hanya berpikir apakah gue bisa pulang dengan selamat. ‘Lo’ kata bokapnya menunjuk gue ‘Maling lo ye!?’ lanjut dia berseru. Gue nggak menjawab, dengan baju yang basah karena hujan, ditambah pistol di tangan bokapnya Andini, bibir gue tiba-tiba kaku. Dia berjalan mendekat, dan seperti Dewi Fortuna, Andini tiba tiba muncul keluar dari pintu rumah. Dia akhirnya menjelaskan ke bokapnya kalau gue adalah temen sekolah dia. Bokapnya akhirnya mengajak gue untuk masuk dulu, untuk mengeringkan badan, tapi gue menolak, bilang mau langsung pulang aja. Tapi gue waktu itu pulang dengan senyum lebar, bukan karena mau ditembak sama bokapnya, tapi karena Andini. Andini yang tadi sebelum gue pulang, bilang dengan nada berbisik ’Aku mau, Dam’. Malam itu, gue pulang dengan selamat, gue berhasil menembak, dan untuk artian yang berbeda, gue gak jadi ditembak.
‘Kamu tuh aneh-aneh aja.’ kata Andini senyum.
‘Kamu lebih aneh,’ balas gue ‘Dulu aku inget, kamu pernah ngasih aku hadiah ulang tahun ikan Salmon.’
Andini kali ini menoleh ke gue, alisnya mengerut ‘Jangan diingettt!’ katanya malu-malu.
Memang Andini berbeda dari cewek biasanya dan itu yang bikin gue akhirnya naksir. Layaknya seseorang yang jatuh cinta, dulu gue mencoba untuk mencari tau segala hal tentang dia. Selain Ikan Salmon, gue juga jadi tau kalau Andini suka dengan permainan Board games: Dungeons and Dragons, dia juga fans berat dari The Paper Kites, sebuah band indie dari Australia, salah satu lagu yang paling dia suka judulnya adalah Bloom. Dan tentang Ikan Salmon, Andini juga punya alasannya sendiri.
Waktu itu dia bilang ketika kita sedang makan bareng di kantin sekolah ‘Kamu tau, Dam, kenapa aku kasih kamu Ikan Salmon?’ tanya dia.
Gue menggeleng pelan, masih sibuk meniup bakso yang panas.
‘Aku mau kamu jadi setangguh Ikan Salmon, Dam.’ kata dia ‘Aku kemarin nonton di National Geo. Ikan Salmon tuh ternyata dilahirin di hulu sungai. Terus dia bakal bermigrasi ke laut, dan di puncak usianya dia bakal balik lagi ke tempat dia lahir. Banyak rintangan yang dia lewatin sepanjang perjalanan pulang, ngelawan arus, nabrak batu, sampai bahkan dikejar beruang. Seringkali, sebagian dari mereka mati waktu perjalanan, tapi Salmon nggak peduli. Dia berenang terus. Ketika sampai, Salmon yang selamat bakal bertelur, Dam. Dan tragisnya, setelah bertelur, Salmon itu akan mati. Tapi aku rasa, kematian mereka nggak sia sia, tujuan mereka terpenuhi.’
‘Jadi, kamu mau aku mati setelah bertelur?’ kata gue mencoba bercanda.
‘Yeee, kamu, mah.’ balas Andini ‘Aku mau kamu jadi Salmon yang punya tujuan, Dam. Salmon yang berani ngehadapin rintangan.’ lanjutnya menatap gue.
‘Iya, Din.’ balas gue menatap dia ‘Kalau menyangkut kamu, aku pasti berani.’
Teh dan kopi sudah dingin, hujan digantikan gerimis. Kami mengobrol beberapa hal lain, tentang pertama kali kita berdua bertemu di perpustakaan, tentang pertama kali kita boncengan di motor, tentang guru MTK yang menyebalkan. Tapi waktu nggak menunggu, sore itu berjalan cepat. Gue mengecek jam tangan, menunjukan pukul lima. Sebenernya, ada keinginan untuk gue mengobrol lebih lama dengan Dini, sekedar untuk mengenang dan menertawakan masa lalu. Tapi sayang, waktu itu Dini bilang mau pamit ‘Aku duluan ya, Dam. Ayah udah jemput, tuh’ katanya sambil menunjuk ke seberang jalan.
Gue melihat ke arah yang ditunjuk Dini, sebuah mobil Jeep hitam terparkir.
‘Iya, hati-hati, Din.’ balas gue senyum.
Setelah membayar pesanannya, Dini berdiri, kedua tanganya memegang mantel plastik dan sepasang sepatu. Gue melihat dia berlari kecil ke arah mobil itu, rasanya Andini mirip seperti anak kecil yang main-hujan hujanan. Sesekali kakinya menendang genangan air di jalan, cipratannya tersebar ke segala arah, bersamaan dengan tawanya yang terdengar. Nggak lama, dia akhirnya masuk ke mobil, lalu samar samar dia bilang ‘Dah, Adam, Semoga lain waktu ketemu lagi ya!’ Gue liat dia melambaikan tangan dari jendela mobil.
Gue tersenyum. Mobil itu berjalan menembus beceknya jalanan.
Lampu-lampu ruko mulai terang. Setelah membayar ke abang penjual, gue akhirnya berdiri, berjalan ke arah motor gue yang terparkir. Gue membuka telapak tangan, air hujan menetes pelan, satu demi satu, membentuk gumpalan bulat seperti gelembung. Di kejauhan, motor di bawah lampu hijau mulai berjalan, berpisah di persimpanganya masing-masing. Sedangkan dua remaja tadi masih duduk. Lalu samar-samar, bukan dengan maksud menguping, salah satu remaja itu bilang:
‘Gue pasti bisa move-on.’
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.