Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Cinta sama Adek Sendiri?

Penulis: Cindy Trianita – UKI

               Aku Nathan, anak perantau dari sebuah kota kecil yang kini mencoba bertahan hidup di Ibu Kota Jakarta. Bagi orang sepertiku, Jakarta selalu terasa seperti kota yang terlalu besar, terlalu cepat, dan terlalu ramai untuk dikejar.

Aku tinggal di sebuah kos kecil bersama Andreas, sahabat yang kutemui sejak semester satu. Dia memang ngeselin, tapi justru dia yang paling mengerti aku di sini. Kami sama-sama kuliah di jurusan hukum, sering bercanda bahwa hidup kami dibentuk oleh nasib acak yang dilemparkan oleh kota ini.

Sekarang kami berdua berada di semester tiga, layaknya sahabat yang kemana-mana berdua, ya kami memilih kelas juga selalu dengan dosen yang sama sehingga kami seperti tidak terpisahkan, semester ini adalah semester yang sudah mulai sibuk bahkan kami akan memiliki kelas gabungan mata kuliah umum dengan fakultas lain yang mungkin akan membuatku takut, takut merasa tertinggal, dengan teman sekelas saja terkadang aku merasa masih tertinggal apalagi dengan teman beda fakultas aku rasa aku tidak percaya diri.

Tak sengaja dipertemukan

Sampai pada hari itu, kelas gabungan dimulai. Bertemu teman-teman baru selalu terasa canggung; tidak semua orang di kelas adalah wajah yang familiar bagiku.

Lalu tiga perempuan masuk terlambat, dan salah satu dari mereka membuatku tiba-tiba terpaku. Rasanya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Rambutnya panjang, matanya cantik, tubuhnya tinggi dan ramping. Ia memakai masker dan entah kenapa, itu justru membuatku semakin penasaran dengan wajah cantiknya.

Saat aku sedang bengong memperhatikannya, Andre menepuk pundakku cukup keras.

“Heh, Nath, liatin apa sih? Jangan bilang kau lagi perhatiin cewek-cewek itu ya? Abangoyamangg langsung macam musang birahi muka kau itu, kawan,” katanya sambil tertawa dan meledekku.

Tak kuhiraukan ledekan Andre. Dosenku mulai membuka kelas dengan absen untuk saling mengenal di pertemuan pertama itu. Saat yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba: giliran perempuan itu memperkenalkan diri.

Namanya Jasmin.

Nama yang terasa pas sekali dengan wajah cantiknya.

Kelas pun berlanjut seperti biasa. Tapi apa boleh buat, perasaan memang tak pernah bisa berbohong. Hanya dengan mengetahui namanya saja aku sudah senang bukan main. Nama itu terus berputar di kepalaku sampai-sampai saat nongkrong di kantin bersama teman-teman pun aku masih senyum-senyum sendiri.

Temanku sampai nyeletuk, “Hi bro, tumben hari ini senyum terus. Abis menang judol ya? Traktir dong bos, hahahaha!”

Aku buru-buru ngeles. “Engga, cuacanya lagi bagus aja. Jadi kebawa happy,” jawabku.

Tak perlu waktu 24 jam, aku sudah menemukan kontak WhatsApp Jasmin dari grup kelas. Dan tentu saja… aku langsung menyimpannya.

Malam hari, saat aku sendiri di kamar, aku mencoba memberanikan diri untuk chat dia duluan.

“Halo Jasmin.”

Tak lama kemudian, muncul balasan singkat.

“Siapa?”

“Aku Nathan, dari kelas gabungan pagi tadi. Mau kenalan hehe,” balasku.

Jawabannya cukup ketus.

“Emg tau gue yg mana? Kan di kelas gabungan ada 2 Jasmin dan Yasmin. Mungkin lu salah orang. Udah 2 orang nih hari ini chat gue juga, curiga salah orang lagi.”

Nada bicaranya bikin aku menebak, kayaknya dia tipe cewek jutek. Tapi, di detik yang sama, aku jadi mikir… jangan-jangan aku memang salah orang?

Akhirnya aku memastikan.

“Kamu yang tadi pakai masker kan? Rambut digerai, baju hitam?”

“Oh iya, berarti lu ga salah orang. Itu gue, Jasmin.”

Huft… lega banget rasanya.

Tapi… eh.

Tunggu dulu.

Dia bilang dua orang udah duluan ngechat dia?

Baru sehari dan udah ada kompetitor?

Jelas saja hatiku agak panas padahal aku bukan siapa-siapa. Daripada overthinking, aku coba lempar topik.

“Oh syukur deh kalo gitu, berarti sekali tebak langsung bener ya. Udah takdir ga sih hehe.”

Balasannya cuma emoji bingung dan jempol.

Emoji… doang.

Huft.

Oke, gapapa, coba lagi.

“Kalau boleh tau, dua orang yang chat kamu itu anak kelas gabungan juga?”

Jawabannya mengalir panjang.

“Iya. Andreas sama Jeremy kalo ga salah namanya. Katanya mereka chat Yasmin juga nanyain gue. Jangan-jangan kalian komplotan ya? Mau jadiin gue bahan taruhan? Ga bakal bisa sih.”

Deg.

Andreas?

Dia juga ngechat Jasmin?

Kepalaku langsung panas. Bukan cuma karena aku baru tahu ada “pesaing”, tapi juga karena Andre itu… ya ampun, orangnya blak-blakan, pede, dan sering banget sok ganteng. Tipe yang kalau ngomong suka bikin kuping panas, tapi entah kenapa banyak cewek suka.

Sementara aku?

Ya… aku cuma Nathan. Anak perantau yang kalo ngomong suka mikir dulu lima kali.

Jangan-jangan dia ngechat Jasmin juga sambil ngeledek kayak biasa?

Atau lebih parah… jangan-jangan Jasmin ngerespons dia dengan lebih ramah?

Aku mencoba menyembunyikan rasa cemburuku yang datang terlalu cepat itu. Akhirnya aku balas seperti orang paling santai sedunia padahal hati kerasa kayak direbus.

“Oh gitu ya… hahaha mungkin mereka cuma salah orang juga kali.”

Padahal jelas-jelas tidak salah orang.

Dari seribu perempuan, kenapa harus Jasmin juga?

Jasmin nge-read, tapi ga jawab.

Ah iya, realistis aja… cewek cantik kayak dia pasti ribuan chat masuk. Wajar lah kalau dia slow response ke orang asing.

Aku taruh HP di samping bantal, niat mau tidur. Tapi lima menit kemudian, HP-ku bunyi lagi.

Jasmin: “Lu orang mana sih?”

Aku otomatis bangun setengah duduk. Jantungku langsung naik lagi kecepatannya.

Aku balas cepat, “Gue perantau, dari kota kecil di Sumatra. Lu sendiri?”

Ga lama kemudian, dia balas: “Jakarta. Lah, lu ngomongnya sopan juga ternyata.”

Aku nganga.

Jadi selama ini dia kira aku bar-bar apa gimana?

“Emang gue keliatan nggak sopan ya?” balasku. Lama. Belum dibalas.

Sampai aku hampir ketiduran, notif masuk lagi.

Biasanya cowok-cowok yang ngechat gue sok akrab. Baru chat 3 menit udah ngajak call. Jijik.”

Aku ngakak kecil.

Oke, jadi itu alasannya dia jutek tadi.

“Tenang. Gue mah nggak gitu. Mau chat aja deg-degan, apalagi call,” balasku jujur.

Untuk pertama kalinya, dia kirim emoji ketawa dikit.

Bukan yang panjang.

Cuma satu.

Tapi itu sudah cukup untuk membuatku merasa seperti menang lotre.

Percakapan mulai ngalir.

Dari sekadar topik kuliah, kos-kosan, dosen killer, sampai hal-hal random kayak makanan favorit. Jasmin mulai terbuka sedikit demi sedikit, dan aku… ya, aku mencoba untuk tidak terlalu terlihat excited meskipun jelas-jelas begitu.

Jadi harus bersaing nih?

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Andreas dan aku saling terbuka bahwa kami sama-sama sedang berusaha mendekati Jasmin. Jasmin pun tahu bahwa aku dan Andre adalah sahabat dekat, kami selalu terlihat bersama, hampir seperti paket hemat yang tak terpisahkan.

Sepertinya Jasmin sadar kalau kami berdua diam-diam bersaing untuk merebut hatinya. Bahkan sempat beberapa hari dia mengabaikan kami berdua karena takut dijadikan bahan taruhan, atau lebih parah dianggap main-main.

Suatu sore, saat aku sedang asyik main ponsel di kamar kos, Andre tiba-tiba masuk dari kamar sebelah dan langsung menjatuhkan dirinya ke kasurku.

“Nath, kau bahagia kali ya semenjak kenal Jasmin,” katanya tiba-tiba. “Ku tengok, selama di Jakarta ini baru kali ini kau semangat betul datang ke kampus. Vibesmu pun makin asik sekarang. Jasmin bahagia mu ya, Nath?”

Aku kaget.
Kenapa sainganku berkata begitu?

“Entahlah, Dre,” jawabku pelan. “Tapi rasanya baru kali ini hatiku dibuat sesemangat ini. Jasmin itu… cewek langka. Dia lucu, ambisinya besar, pinter, dan banyak banget di dirinya yang bikin aku kagum.”

Andre mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Kalau itu yang bikin kawanku satu ini bahagia, aku ikut bahagia. Pepet lah, Nath. Aku bantu doa dari sini supaya kau sama Jasmin bisa bahagia berdua.”

Aku terdiam.
Kaget.
Maksudnya apa?
Andre sudah nggak suka Jasmin lagi?

Aku akhirnya bertanya, “Terus kau gimana, Dre?”

Andre menarik napas sebentar lalu berkata, “Aku nggak mau bersaing sama sahabatku sendiri. Kau udah macam abangku di sini, Nath. Bahagiamu bahagiaku juga. Tapi awas ya… kalau nanti kau sakitin Jasmin. Jangan main-main kau. Bisa-bisa nanti tulang keringmu ku basahi,” ujarnya sambil tertawa dan memukul pelan kakiku.

Aku ikut tertawa dan langsung memeluk Andre.

“Thanks, bro.”


                                                                                      ****

                            Hari demi hari berlalu. Hampir dua tahun aku dan Jasmin saling melengkapi seperti pasangan sungguhan. Semua teman kami mendukung hubungan kami. Meski kami jatuh dalam hubungan tanpa status, orang-orang di sekitar kami sudah menganggap kami berpacaran.

Memang, layaknya pasangan, kami sering bertemu, melakukan hal-hal romantis, merayakan hari kasih sayang, makan bersama, bahkan aku sudah mengenalkan Jasmin ke tongkronganku sebagai cewekku. Karena itu, anak-anak tongkrongan lain tidak boleh mendekatinya. Tapi meski begitu, tetap saja ada beberapa yang mencoba mendekati Jasmin diam-diam. Untungnya Jasmin selalu jujur dan memberitahuku.

Awalnya semua terasa tenang. Jasmin memiliki teman dekat bernama Rara, hubungan mereka mirip seperti aku dan Andreas. Tapi yang aku tahu, Rara memang terkenal problematik, dan tidak jarang Jasmin ikut terlibat dalam masalah kalau sedang bersamanya. Aku beberapa kali sudah memperingatkan Jasmin untuk tidak terlalu dekat dengan Rara, tapi Jasmin selalu bilang dia bisa mengatasinya. Pada akhirnya, aku percaya dan membiarkan mereka berteman.

Hingga suatu hari, Rara tampaknya membuka pesan pribadiku dengan Jasmin. Dari situ, dia tahu kalau aku kurang suka Jasmin berteman dengannya. Sejak itu, Rara mulai menghasut Jasmin. Katanya, Jasmin jangan mau terus dekat denganku kalau hubungannya tidak jelas. Dia juga bilang aku laki-laki yang tidak baik dan Jasmin harus menjauhiku.

Tapi aku tahu siapa Jasmin. Dia tidak segampang itu terpengaruh. Dia bahkan cerita semuanya padaku. Aku kesal pada Rara, tapi aku sadar dia adalah sahabat Jasmin—aku mencoba menahan diri.

Namun beberapa minggu kemudian, sikap Jasmin mulai berubah. Ia menjaga jarak, mulai jarang membalas pesan dan teleponku, bahkan semakin sulit kutemui di kampus. Aku sempat menyerah. Kami lost contact selama dua minggu. Kupikir Jasmin sudah bosan denganku… atau mungkin dia bertemu laki-laki lain.

Aku galau. Hidupku terasa kosong tanpa Jasmin.

Sampai akhirnya aku memberanikan diri menghubungi Rara untuk bertanya tentang keadaannya. Dan dari Rara, aku baru tahu Jasmin sudah seminggu dirawat di rumah sakit.

Tanpa pikir panjang, sepulang kampus aku langsung pergi ke rumah sakit bersama Andreas. Di perjalanan, aku menyempatkan diri membeli bunga dan cokelat kesukaannya.

Ketika sampai di rumah sakit, aku dan Andreas langsung masuk ke kamar Jasmin. Di dalam sudah ada mama Jasmin dan Rara. Mereka semua kaget—termasuk Jasmin. Aku menyalami mama Jasmin, lalu memperkenalkan diri sebagai… cowoknya Jasmin.

Iya, hari itu aku datang bukan sekadar menjenguk. Aku datang dengan niat bulat: aku mau minta Jasmin jadi pacarku, resmi, di depan sahabatnya dan orang tuanya.

Semua mendukung.

Dan singkat cerita, setelah Jasmin kembali pulih dan keluar dari rumah sakit, kami resmi bersama.

Aku merasa hidupku akhirnya lengkap. Aku sangat menyayangi perempuan itu. Aku suka membelikannya bunga—karena setiap kali aku datang bawa bucket bunga, wajahnya berubah jadi super lucu dan manis banget. Ada rasa bahagia yang ga bisa kujelaskan.

Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.

Suatu hari, mamaku menelpon. Aku iseng mengenalkan Jasmin lewat video call. Tetapi saat mamaku bertanya soal suku dan marga Jasmin, wajah mama tiba-tiba berubah tegang. Aku langsung mengalihkan obrolan dan menutup telepon, takut Jasmin curiga.

Malamnya, mama kembali menghubungiku.

“Nak… sudahi saja hubunganmu dengan perempuan cantik itu. Mama tahu kau sayang banget sama dia. Tapi secara adat, marga kalian ga bisa bersatu. Di kampung kita adatnya masih kental. Mau dibilang apa nanti kalau orang tau… calonmu itu sebenarnya adikmu sendiri dalam adat.”

Aku terdiam.

Mama melanjutkan, suaranya bergetar, “Biar ga makin sakit nantinya, sudahi dari sekarang, Nak. Sayangi dia sebagai adik, bukan sebagai pasangan.”

Deg.

Rasanya kayak dadaku diremas dari dalam.

Sehari… dua hari… aku hilang fokus. Kepala terasa penuh. Jasmin mulai memperhatikan perubahan sikapku. Karena aku ga jujur-jujur amat, akhirnya ia bertanya ke Andre.

Dan Andre, sebagai sahabat yang terlalu jujur, akhirnya buka suara.

Ia bilang kalau secara adat, aku dan Jasmin memang tidak boleh bersama.

Jasmin kaget—dia bahkan ga benar-benar ngerti detail adat Batak. Keluarganya tidak terlalu ketat urusan adat, jadi dia tidak pernah mendalami soal itu. Karena bingung, Jasmin memutuskan bertanya ke oppung-nya.

Dan jawabannya…

Ternyata benar.

Marga kami memang tidak boleh bersatu.

Menurut adat, kami adalah abang-adik.

Malam itu aku menghubungi Jasmin. Awalnya kami bicara seperti biasa, tapi akhirnya pembicaraan itu berubah jadi deep talk yang terberat dalam hidupku.

Aku tidak ingin hubungan ini berakhir. Aku masih ingin memperjuangkannya. Tapi Jasmin…

Setelah hening cukup lama, ia berkata dengan suara yang patah:

“Nath… aku sayang sama kamu. Tapi aku juga ga mau hubungan ini bikin kita dosa menurut adat. Aku ga mau kamu dibenci keluargamu. Dan aku ga mau keluargaku kena omongan.”

Aku terdiam.

Air mata sudah turun duluan.

Jasmin melanjutkan, “Kita saling sayang. Tapi kadang cinta bukan soal bisa atau engga… kita ga bisa lawan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.”

Aku menggenggam HP erat-erat.

“Jas… jangan gitu… kita cari jalan lain, ya. Kita coba dulu. Kita—”

“Nath…” suaranya lirih.

“Aku melepas kamu bukan karena aku ga sayang. Justru karena aku sayang.”

Saat itu dunia seperti berhenti.

Dan akhirnya aku sadar…

Ada sakit yang bahkan cinta paling tulus pun ga bisa sembuhkan.

Kami saling diam. Hanya suara napas dan sesekali isakan kecil yang terdengar dari telepon.

Sebelum menutup telepon, Jasmin berkata:

“Terima kasih udah sayang sama aku selama ini. Mulai hari ini… kamu tetap abangku dalam adat. Tapi dalam hatiku, kamu tetap laki-laki yang paling aku banggakan.”

Telepon terputus.

Duniaku ikut runtuh.

Sejak malam itu, aku dan Jasmin tidak pernah lagi kembali seperti dulu.

Kami masih saling hormat, masih saling mendoakan…

Tapi tidak lagi berjalan berdampingan.

Kami mencintai satu sama lain, tapi kami tidak ditakdirkan bersama.

Dan itu, adalah patah hati paling senyap dalam hidupku.

Kisah cinta dua mahasiswa yang terjebak dalam hubungan tanpa status selama dua tahun, hanya untuk dipisahkan oleh takdir dan larangan.

Setengah tahun lebih aku menjalani hidup sebagai mahasiswa kupu-kupu. Kehilangan Jasmin membuatku seperti kehilangan setengah jiwaku. Bertahun-tahun aku hidup bersama seorang perempuan yang selalu kubanggakan, yang paling memahami diriku, yang mengenalkan ku pada kota yang besar ini, yang selalu ada saat aku butuh tempat pulang. Dan kini, tanpa kehadirannya, hidupku terasa hampa.

Aku jarang nongkrong.

Aku kehilangan semangat.

Aku bahkan belum membuka hati untuk siapa pun.

Sampai suatu hari, ketika akhirnya aku mencoba membuka hati lagi, bayang-bayang Jasmin masih menghantuiku. Aku tak sadar bahwa aku selalu mencari sosok dirinya dalam setiap perempuan yang datang. Tapi tak pernah ada yang sama. Tak pernah ada yang mampu menggantikan.

Pada titik itu, aku sadar: aku tidak boleh terus terjebak pada seseorang yang sudah tidak lagi bersamaku. Aku mencoba menjalani hubungan baru, berusaha memberi kesempatan pada diriku sendiri.

 


 

Suatu hari, saat aku nongkrong dengan teman-teman, Andre tiba-tiba meminjam ponselku. Tanpa aku duga, dia langsung menelpon Jasmin. Dan Jasmin… mengangkatnya.

Ketika aku sadar, Andre buru-buru mematikan telepon dan mengembalikan ponselku sambil tertawa kecil. Tapi tidak berhenti di situ—ternyata dia melanjutkan chat dengan Jasmin melalui HP-ku. Katanya, aku kangen sama Jasmin tapi malu untuk memulai obrolan duluan lalu menghapus pesan itu.

Beberapa menit kemudian, ponselku berbunyi. Sebuah chat masuk dari Jasmin.

“Kenapa?”

Aku tertegun. Kenapa? Memangnya aku melakukan apa?

Saat mengecek riwayat panggilan, aku baru sadar Andre benar-benar menelponnya barusan. Rasanya langsung panas seluruh tubuhku. Malu setengah mati.

Aku mencoba menjelaskan dengan tenang.

“Nggak apa-apa, Jas. Tadi Andre jahil aja minjem HP aku terus call kamu. Maaf ya ganggu.”

Tak lama, Jasmin membalas.

“Oh gitu. Tapi… apa yang Andre bilang bener?”

Aku makin bingung.

“Hah? Memangnya Andre bilang apa ya?”

Alih-alih menjawab, Jasmin malah menggoda. “Kenapa harus dibantu temen kamu buat bilang gitu?”

Jantungku rasanya meloncat. Balasannya panjang, hangat… seperti dulu. Ada peluang untuk bicara lagi setelah sekian lama. Aku mencoba tetap tenang.

“Emang Andre bilang apa? HP aku tadi dia bajak, jadi aku bener-bener nggak tahu.”

Kali ini, Jasmin menjawab dengan jelas. “Katanya kamu kangen aku? Boong ya berarti Andre ini?”

Aku panik… tapi juga senang.

Secara tidak langsung, Andre membuka pintu komunikasi kami lagi. Jahil atau tidak, untuk itu aku bersyukur.

Kami akhirnya ngobrol panjang. Saling update hidup. Rasanya aku menemukan kembali energi yang selama ini hilang. Jasmin memang separuh jiwaku. Dia membuatku bahagia—bahagia yang lama tidak kurasakan.

Dan mungkin karena terlalu larut… aku bertanya hal yang seharusnya tidak kutanya.

Aku mengetik pelan “Kita nggak bisa kayak dulu lagi ya, Jas?”

Ia tidak langsung membalas. Dan aku tahu… pertanyaanku pasti terasa tiba-tiba baginya.

Beberapa menit kemudian, sebuah balasan muncul.

“Kayak dulu?”

Aku menarik napas.

“Iya, kayak dulu. Aku… kamu… kita bareng-bareng lagi.”

Lalu, jawabannya datang. Pelan, tapi seperti menohok dadaku.

“Nath, tolong jangan jahat ya. Aku juga sayang sama kamu. Tapi aku tahu kamu udah punya pasangan. Apa pun alasan kamu ngomong ini, aku rasa kalau kita makin dekat, kita justru makin sakit. Tolong hargai perasaan cewek kamu yang sekarang.

Aku mau fokus sama diri aku sendiri tanpa siapa-siapa.

Aku harap kamu ngerti maksud aku.

Bahagia terus, Nath. Doain adek kamu ini biar bisa sukses dan cepat kelar kuliahnya ya.

Aku sayang sama kamu… as my brother.”

Aku terdiam lama. Tidak membalas pesannya. Ternyata Jasmin tahu aku sudah punya pacar. Dan aku… benar-benar bodoh.

Aku belum sepenuhnya bisa melepaskan dia. Tapi dia benar.

Aku tidak boleh jahat pada orang yang sedang bersamaku sekarang. Aku harus belajar menghargai apa yang kini aku miliki.

Beberapa menit aku hanya diam, sampai akhirnya aku mengetik:

“Makasih, Jas. Kamu bener. Aku harusnya jaga dan hargai apa yang aku punya sekarang. Kamu tetep jadi bagian penting hidup aku, tapi aku belajar buat nggak egois lagi. Semoga kamu bahagia di jalan kamu.”

Aku kirim.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dadaku rasanya lebih ringan. Bukan karena aku udah benar-benar move on, tapi karena aku akhirnya berani mengakui bahwa nggak semua orang yang kita sayang harus kita genggam. Ada yang cukup kita simpan di hati, bukan di kehidupan.

Kadang Tuhan nggak ngasih kita seseorang untuk dimiliki, tapi untuk mengajarkan cara mencintai, lalu merelakan.

Jasmin tetap menjadi kisah terindah dalam hidupku, tapi bukan bab yang harus kuulang.

Dia adalah halaman yang tetap kubuka sesekali kalau rindu, tapi bukan buku yang harus terus kupaksa lanjutkan.

Dan soal aku?

Aku masih belajar.

Belajar hadir sepenuhnya untuk orang yang bersamaku sekarang.

Belajar berhenti compare masa depan dengan masa lalu.

Belajar bahwa cinta yang dewasa itu bukan tentang kembali… tapi tentang menerima.

Mungkin ini bukan ending yang aku mau, tapi ini adalah ending yang aku butuhkan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama…

aku merasa siap mulai hidup lagi dan berhenti jatuh cinta dengan perempuan yang semarga denganku hehe..

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 6