Penulis: Afifah Fayza – UKI
Kadang orang yang paling ceria justru yang paling terluka. “Bunga Matahari yang Cantik” nyeritain Falika, siswi SMA yang selalu senyum, tapi diam-diam kehilangan dirinya sendiri di tengah keramaian.
Pagi itu seperti biasa. Sekolah ramai, tawa teman-teman memenuhi lorong, dan aku berjalan di tengahnya tersenyum, menyapa, bercanda seperti semua orang lain. Kadang aku heran, bagaimana bisa senyum yang sama bisa menutupi begitu banyak hal.
Aku Falika, siswi kelas akhir yang aktif, supel, dan “selalu ceria”. Orang-orang suka bilang aku menyenangkan. Tapi malam-malamku selalu berakhir dengan air mata yang aku sembunyikan di balik bantal. Rasanya seperti hidup di dua dunia satu yang terang dan penuh tawa, satu lagi yang hening dan berat.
Di sekolah, aku ikut organisasi, jadi panitia lomba, bantu teman-teman belajar. Tapi di kamar, aku menatap langit-langit berjam-jam, mencoba mencari alasan kenapa semua ini terasa hampa. Aku menulis di buku harianku, bukan tentang kisah cinta atau cita-cita, tapi tentang rasa kosong yang tak bisa aku jelaskan.
Kavia, Lena, dan Mira selalu ada di sekitarku. Mereka seperti matahari kecil yang menghangatkan hariku. Tapi bahkan sinar matahari kadang terlalu terang buat mataku. Aku gak mau mereka tahu kalau di balik tawa ini, ada bagian dari diriku yang perlahan memudar.
Akhir-akhir ini aku sering menulis hal-hal aneh. Tentang bunga matahari. Aku suka bunga itu. Katanya, bunga matahari selalu menghadap ke arah cahaya. Tapi aku bertanya-tanya, bagaimana kalau mataharinya gak muncul? Ke mana mereka harus menghadap?
Kadang aku bayangin, kalau suatu hari aku pergi, aku ingin banyak bunga matahari di sekelilingku. Bukan karena aku suka kuningnya, tapi karena aku ingin terlihat seperti sedang menghadap cahaya meski akhirnya aku memilih gelap.
Aku tahu itu terdengar aneh. Tapi menulis itu membuatku tenang. Setidaknya pena ini masih jujur, meskipun mulutku tidak.
Malam itu, hujan turun pelan. Aku duduk di depan cermin. Rambutku berantakan, mataku sembab, tapi aku tetap tersenyum. Aku peluk diriku sendiri. “Maaf ya, Falika. Kamu udah berusaha, tapi mungkin emang gak apa-apa kalau lelah.”
Tanganku gemetar, tapi entah kenapa aku merasa lebih ringan. Seolah aku sudah lama menunggu untuk bisa berkata begitu pada diriku sendiri
Keesokan harinya, sekolah tetap ramai. Kavia teriak memanggilku dari ujung koridor, tapi aku gak jawab. Dunia tetap berjalan. Guru tetap mengajar. Tapi kursi di pojok belakang itu kosong. Di kamar kosku, ada secarik kertas di atas meja.
“Kalau aku pergi nanti, kalian bawain buket bunga matahari yang cantik yaa!”
Beberapa hari kemudian, meja belajarku dipenuhi bunga matahari. Kuningnya mencolok, cantik, tapi anehnya… sunyi.
Kavia bilang, mereka gak nyangka sama sekali.
“Falika itu selalu ceria, gak mungkin dia….” katanya sambil menangis.
Tapi mungkin justru karena itu karena aku terlalu pandai berpura-pura baik-baik saja.
Kini aku gak lagi menatap cahaya, tapi mungkin aku sudah jadi bagian dari sinarnya. Untuk pertama kalinya, aku merasa tenang. Dikelilingi bunga matahari yang cantik, seperti yang aku mau.

*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
