Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Arkan dan Aksara

Penulis: Renaldi Manurung, SMA Budhaya 2 St. Agustinus

Sepasang kaki kian berpacu di sepanjang koridor dari waktu ke waktu. Rambut hitamnya yang dibiarkan terurai menyibak ke sana ke mari seiring dengan langkah kakinya yang mempercepat gerakan. Dia terus berlari hingga tanpa sadar seseorang memanggil namanya. “Aninda, ke mana saja kamu! Habis ini penampilanmu!” Wanita paruh baya itu berseru dalam pekikan tertahan. Jantungnya agak sedikit mencelus sebenarnya. Lantas, gadis yang disebut-sebut sebagai Aninda itu berhenti dalam gerakan mendadak. Dia berjalan ke arah wanita itu seraya membenarkan kacamatanya. Jika saja dia tidak ditunjuk-tunjuk sebagai perwakilan sekolah dalam kompetisi menulis puisi. Dia tidak akan datang ke tempat tersebut pada hari sabtu pukul sepuluh tepat.

Arkan dan Aksara

Aninda mengatur napasnya, tenggorokannya agak kering, dia menyambar tangan keriput milik wanita itu kemudian menyalaminya. “Aduh, maaf Bu Retno, tadi saya sempat kesasar.” Sebenarnya dia ingin memberikan nada gurauan di dalam kalimatnya. Namun, perlu dicatat! Hal tersebut tidak akan pernah berpengaruh kepadanya, guru pembimbing paling killer dari sekolahnya.

Wanita paruh baya yang dipanggil Bu Retno itu tidak beringsut dari tempatnya. Kedua lengannya dilipat di depan dada. Beberapa daging tampak jatuh membentuk beberapa gelambir, terlihat jelas untuk menunjukkan seberapa tua dirinya.

“Ibu tidak peduli! Sekarang, siapkan puisimu lalu duduk di sana sekarang!” Telunjuk Bu Retno menuntun pandangan Aninda tepat di tengah lapangan. Sebuah panggung besar berukuran tujuh kali tujuh meter, rangkaian kain keemasan terlihat dalam corak selaras, didesain berbagai bentuk hingga sedemikian rupa, di bawahnya berderet jajaran kursi plastik berwarna biru gelap. Lengkap dengan anak-anak sekolah lain yang siap menjadi kompetitornya.

Aninda menghela napas, samar-samar dia dapat melihat pembawa acara yang berdiri tepat di atas permadani merah itu. Dia mengulas senyum sumringah, tingginya semampai, dia memakai seragam sekolah menengah atas pada umumnya, kemeja putih serta celana kain abu-abu. Matanya menelusup ke arah penonton, hingga tanpa sadar pandangan mereka bertemu. Hanya beberapa detik, kemudian berpaling. Waktu melamun baginya ternyata tidak berlangsung lama. Sesaat setelah itu, Bu Retno menegurnya, “Heh, ini anak malah melamun. Udah sana, kamu duduk, sebentar lagi kamu tampil.” Aninda mengangguk, kepalanya dijulurkan kembali ke Bu Retno. Ia menarik senyum simpul, kemudian berkata, “Ya udah deh, Bu. Saya ke sana, ya!” Aninda kemudian berjalan dengan mantap. Sebuah puisi telah dibuatnya kemarin malam. Sindiran akan politik, sesuai dengan tema yang telah ditentukan sebelumnya.

Arkan dan Aksara

Udara menjadi semakin dingin dari detik ke detik. Mengiris kulitnya dari ujung kepala hingga kaki. Aninda begitu gusar terhadap sikap ketidakpercayaan diri yang masih melekat di dalam dirinya. Dia menegukkan salivanya, menerawang ke atas laksana ada yang mendukung setiap pergerakannya. Dia kemudian memejamkan mata perlahan, kemudian memulai puisinya. “Sinestesia Hitam dan Putih, karya Aninda Frista.” Jantungnya sekarang kian berpacu dengan cepat, dia kembali membuka kelopak matanya dalam sekali hitungan. Pandangannya jatuh ke pembawa acara tadi. Mata mereka saling bertemu, kemudian gadis itu membacakan puisi yang berada di genggamannya.

“Kobaran api ledakkan raga, lenyap tertelan suara …. Aspirasi sekadar alat peraga. Akhir hidup layaknya metafora.” Detik ke detik menjadi kecanggungan yang luar biasa hebat. Kebisuan kini menyelimuti tempat tersebut. Dia kembali menerawang ke sekitar, kemudian melanjutkan puisinya, “sebuah sinestesia hitam dan putih. Sindiran halus memanipulasi, seonggok harapan tertatih-tatih. Tak seorang pun yang dapat menguasai. Lagi … dan lagi.”

Arkan dan Aksara

Suara tepuk tangan terdengar riuh memenuhi udara, dia mengakhiri penggalan puisinya dengan mantap. Matanya menelusuri setiap sudut, pria itu! Dia sedang bertepuk tangan di antara keramaian. Gadis itu tahu betul, beberapa saat setelah ini, dia akan berteman baik dengan lelaki asing itu. Dan … dugaannya terbukti benar.

***

   Sudah satu minggu mereka berteman baik. Namanya Arkan, sederet nama yang masih tertanam jelas di dalam memorinya. Setelah dua hari usainya acara itu, Aninda mendapatkan juara ketiga dari sekian banyak peserta yang mewakili masing-masing sekolahnya. Kini gadis itu dikenal dengan cepat di antara banyak kalangan di sekolahnya. Keadaan makin tak terkendali apalagi ketika teman sekelasnya mengetahui bahwa Arkan dan dirinya mulai berteman semenjak acara itu. Gosipnya ialah, dia memang sudah lama menjadi pembawa berbagai acara. Lelaki itu adalah mantan ketua OSIS di sekolahnya.

Kedekatan mereka menciptakan sebuah kebiasaan aneh yang selalu dibawa oleh Arkan. Pria itu selalu menyukai setiap puisi yang selalu dibuat oleh gadis itu setiap dua hari sekali. Sebetulnya, yang tidak pernah Aninda tahu, ini bukanlah kisah mereka. Ini tentang dia, yang datang tanpa mengetuk pintu, yang datang tanpa memberi peringatan, yang datang untuk menanti setiap lembar rangkaian aksara ciptaannya. Ini tentang dia, Arkan dan aksara.

Gadis itu menggegah maju di antara kerumunan lautan manusia. Dia tak sanggup menyeka air matanya yang tak dapat dibendung lagi. Waktu berjalan dan terus merambat. Rasa menyesal menjadi rasa amarah. Dia ingin merapalkan siasat. Fakta sebenarnya adalah, gadis itu mencintai Arkan. Sebaliknya, dia berpikir lelaki itu juga mencintainya. Namun, Aninda salah besar. Ini bukan tentang dirinya, ini tentang Arkan dan aksara, yang selalu di torehkannya di kertas berwarna itu.

Arkan dan Aksara

Setelah mengetahui bahwa Arkan memberikan puisi buatannya kepada gadis pujaannya, hatinya seakan dihempaskan dari ketinggian, kemudian remuk dalam seketika. Napasnya seakan tercekat. Dia tidak peduli dengan belaian angin di sekitarnya. Dia menuliskan sajak terakhirnya untuk Arkan. Intelegensi Suara.

Kepada sang penikmat aksara
Atas nama sastra membungkam suara
Oleh sang karsa penarik harapan
Hingga sang surya hilang dari peradaban

Intelegensimu gagah perkasa
Tetapi aksara bukan sekadar kata
Aksara ialah sebuah bahasa
Pengganti kata menjadi suara

Gadis itu menangis untuk pertama kalinya hanya karena sekadar salah hati. Dia tak sadar bahwa selama ini dia telah mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Di balik pekatnya penyesalan, seharusnya gadis itu tahu, bahwa hanya berharap tidak pernah bernasib baik.

*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 37