Penulis: Cindy Trianita – UKI
Aku bukan kucing mahal. Aku lahir di belakang warung dekat gang, dan suatu sore seorang anak perempuan kecil menemukan aku di sana, kurus, kotor, tapi hidup. Dia menggendongku pulang sambil bilang,
“Bu, boleh ya? Kasihan banget kucingnya.”
Itulah hari pertama aku bertemu Nara. Sejak itu, aku tinggal di rumahnya, rumah kecil bercat biru muda dengan halaman sempit dan sandal-sandal berantakan di depan pintu.
Nara memberiku nama Milo karena katanya buluku mirip warna minuman cokelat kesukaannya.

Dulu, pagi di rumah ini ramai tapi menyenangkan.
Ayah berangkat kerja sambil membawa termos kopi, Ibu sibuk menyiapkan sarapan, dan Nara makan roti bakar sambil bercerita panjang lebar tentang sekolah.
Aku biasanya duduk di bawah meja makan, menunggu remahan jatuh ke lantai. Kadang Ayah menepuk kepalaku
“Kucing pintar. Nggak minta makan mulu.”
Dan Ibu menambahkan,
“Dia jinak banget, mungkin karena disayang Nara.”
Rumah ini penuh suara, tapi bukan suara yang menakutkan. Lebih seperti suara yang bikin nyaman, bikin aku pengen tidur siang di dekat jendela.
Sore hari, Nara suka mengerjakan PR sambil menatapku. Kadang dia cerita hal-hal kecil yang nggak kumengerti tapi kuingat.
“Tadi aku nilai matematikanya jelek, tapi nggak papa. Aku mau belajar lagi.”
Aku cuma menatapnya dan mengeong. Aku nggak tahu apa itu “nilai”, tapi aku tahu dia orang baik.
Beberapa bulan kemudian, suasana di rumah mulai aneh.
Awalnya cuma hal-hal kecil: Ayah sering pulang lebih malam, Ibu lebih cepat marah, dan Nara sering diam di kamar.
Mereka masih makan bersama, tapi nggak banyak bicara.
Aku duduk di bawah meja seperti biasa, tapi kali ini nggak ada remahan yang jatuh — karena mereka juga nggak banyak makan.
Suatu malam aku terbangun karena suara keras dari ruang tamu.
Aku dengar Ayah membentak, Ibu menjawab dengan nada tinggi, lalu bunyi benda jatuh.
Aku langsung sembunyi di bawah sofa, buluku berdiri semua.
Aku lihat Nara keluar kamar dengan mata setengah terbuka, lalu menutup telinganya.
Aku ingin mendekat, tapi kakiku gemetar.
Malam itu aku belajar, kalau rumah bisa berubah jadi tempat yang menakutkan tanpa perlu ada monster.

Sejak itu, Nara jarang tersenyum.
Dia masih memberiku makan, tapi lebih sering melamun. Kadang dia menatapku lama tanpa bicara apa-apa.
“Milo, kamu enak ya, nggak ngerti masalah orang tua,” katanya suatu hari.
Aku nggak tahu maksudnya, tapi nada suaranya bikin dada terasa sesak.
Mungkin aku nggak ngerti, tapi aku bisa ngerasain kalau dia sedih.
Aku mulai sering tidur di bawah tempat tidurnya. Setiap malam, dia muter lagu pelan dari ponselnya, lalu memeluk bantal sampai ketiduran. Kadang aku naik ke sampingnya, cuma untuk memastikan dia nggak mimpi buruk.
Di rumah ini, cuma kami berdua yang masih saling tenang.
*****
Suatu malam, semuanya pecah lagi.
Aku dengar suara pintu dibanting, langkah kaki berat, dan teriakan.
Nara nangis di kamar. Ibu nyuruh dia jangan keluar, tapi suara mereka nggak kalah keras dari suara bentakan Ayah.
Aku sembunyi di bawah meja — tempat aman versiku.
Dari sana aku bisa lihat bayangan mereka di dinding, bergerak cepat.
Lalu ada suara kaca pecah, dan Nara berlari keluar kamar.
Dia teriak, “BERHENTI!”
Suara itu menggema di seluruh rumah.
Setelah itu hening.
Ayah pergi, Ibu terduduk di lantai, dan Nara menangis sambil memeluknya. Aku berjalan pelan ke arah mereka, lalu duduk di sebelah Nara. Dia menatapku sambil sesenggukan.
“Kamu ngerti, kan, Milo? Aku capek banget.” Aku cuma mengeong. Tapi dalam hatiku, aku tahu — nggak ada anak kecil yang seharusnya bilang “capek” karena orang tuanya.
Beberapa minggu kemudian, Ayah mulai jarang terlihat. Ibu sibuk kerja, pulang malam, wajahnya selalu lelah.
Rumah ini jadi sepi — kadang terlalu sepi.
Aku masih di sini, di bawah meja yang sama. Tempat aku dulu sembunyi, tempat Nara sekarang sering duduk diam sambil menggambar di buku kecilnya.
Gambarnya banyak tentang langit, rumah, dan kucing berwarna cokelat.
“Aku pengen pindah, Milo,” katanya suatu sore.
“Ke tempat yang tenang.”
Aku tahu dia serius. Tapi aku juga tahu, meskipun pergi, sebagian dirinya akan tetap di rumah ini — di setiap sudut yang penuh kenangan buruk tapi juga sedikit cinta.
Sekarang Nara sudah jarang di rumah. Dia tinggal sama tantenya, kata Ibu. Aku masih di sini, nemenin Ibu yang makin sering duduk sendirian di dapur. Dia nggak banyak ngomong, tapi kadang memanggil namaku cuma buat memastikan masih ada yang hidup di rumah ini selain dirinya. Setiap kali ada suara langkah kecil di depan rumah, aku langsung lari ke pintu. Aku berharap itu Nara. Kadang cuma petugas paket, kadang cuma angin. Tapi aku tetap menunggu.
Karena aku Milo, kucing yang dulu dipungut oleh anak kecil bernama Nara.
Dan sejak hari itu, tugasku cuma satu: menjaga rumah ini, sampai dia siap pulang.

Sudah bertahun-tahun sejak hari terakhir aku melihat Nara keluar dari pintu rumah. Waktu itu dia masih kecil, memakai tas biru besar dan mata bengkak karena habis nangis.
Sekarang, kalau aku coba ingat suaranya, yang muncul cuma samar-samar. Tapi setiap kali aku dengar anak kecil tertawa di luar rumah, aku masih berpikir itu dia.
Aku tidak tahu berapa umurku sekarang, aku tidak lagi berlari secepat dulu. Melompat ke meja saja rasanya berat. Bulu di punggungku mulai menipis, dan mataku nggak seterang dulu. Tapi aku masih di sini — di rumah yang dulu berisik, lalu sunyi, dan kini hanya tinggal kenangan yang menempel di dinding.
Ibu Nara masih tinggal di rumah ini. Sekarang rambutnya sudah agak beruban. Dia jarang marah, tapi juga jarang tersenyum. Setiap pagi dia menatap foto di rak — foto dirinya, Ayah, dan Nara waktu masih kecil. Aku sering duduk di dekatnya, cuma untuk memastikan dia nggak sendirian. Aku dan dia sudah terbiasa dengan rutinitas sepi. Dia masak, aku duduk di dapur. Dia nonton TV, aku tidur di karpet. Kadang dia bicara sendiri, pelan, seolah ada orang lain yang bisa dengar.
“Milo, kamu inget Nara nggak?” Aku mengeong pelan.
Tentu saja aku ingat. Aku ingat semuanya — terutama cara Nara menatapku dengan mata sedih tapi hangat, seperti aku satu-satunya hal di dunia yang masih bisa dia percaya.
Hari itu langit mendung, dan udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Ibu baru saja selesai menyiram tanaman di depan rumah.
Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan pagar, lalu langkah kaki perlahan mendekat.
Aku menatap dari balik pintu. Seseorang berdiri di sana — perempuan muda dengan rambut dikuncir, mengenakan jaket cokelat, dan membawa tas besar. Ibu sempat diam lama, lalu membuka pintu perlahan.
“Nara…?” katanya pelan, seperti takut salah sebut. Perempuan itu tersenyum kecil. “Iya, Bu. Aku pulang.”
Aku langsung berdiri, meskipun lututku gemetaran.
Aku tahu suara itu. Aku tahu aroma itu. Itu Nara.
Dia melihat ke arahku, lalu matanya langsung berkaca-kaca.
“Milo?” katanya, ragu-ragu tapi bahagia.
Aku berjalan pelan ke arahnya, ekorku bergetar.
Begitu dia jongkok dan membuka tangan, aku langsung mendekat.
Dia mengelus kepalaku seperti dulu lembut, lama, seolah mencoba memastikan aku benar-benar nyata.
“Kamu masih hidup… ya Tuhan, kamu masih di sini…”
Aku ingin mengeong keras, tapi yang keluar cuma suara kecil.
Aku ingin bilang, aku nunggu kamu, tapi manusia nggak bisa dengar kata-kata kucing.
Hari-hari setelah itu terasa lebih hangat. Nara sering datang, membantu Ibu bersih-bersih rumah. Mereka jarang membahas masa lalu, tapi dari cara mereka bicara, aku tahu luka lama masih ada. Bedanya, kali ini mereka berdua nggak lari dari itu.
Nara sering duduk di teras sambil mengelusku.
Dia cerita tentang tempat tinggalnya, tentang kuliah, tentang pekerjaan barunya.
“Aku sempat mikir buat adopsi kucing di apartemen, tapi kayaknya nggak bisa, Milo. Soalnya aku masih pengen punya kamu.”
Aku hanya mendengkur pelan.
Dulu aku yang butuh dia. Sekarang mungkin dia yang butuh aku — tapi bukan untuk diselamatkan, cuma untuk diingatkan kalau dia pernah selamat.
Lampunya hangat, dan jendela sedikit terbuka.
Aku bisa dengar suara jangkrik di luar, dan napas Nara yang tenang di kasurnya.
Aku menatapnya lama. Dia bukan anak kecil lagi, tapi di mataku dia tetap Nara — gadis kecil yang dulu suka bersembunyi di bawah meja saat rumah ini penuh teriakan.
Sekarang tidak ada teriakan.
Tidak ada piring pecah.
Hanya suara kipas dan detak jam dinding.
Aku memejamkan mata. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah ini terasa seperti rumah lagi.
Aku nggak tahu sejak kapan tubuhku mulai sering lemas.
Kadang kakiku gemetar waktu jalan ke dapur. Kadang napasku pendek, kayak ada batu kecil di dada.
Tapi aku masih berusaha ikut Nara ke mana pun dia pergi — ke dapur, ke ruang tamu, ke halaman belakang yang dulu tempatku berjemur waktu kecil. Sekarang aku nggak banyak makan. Ibu sering khawatir, tapi Nara cuma mengelus punggungku pelan.
“Dia udah tua, Bu. Mungkin capek aja.”
Mereka benar. Aku memang capek. Tapi bukan cuma karena umur.
Capek karena sudah lama sekali aku menjaga rumah ini sendirian.
Hari itu Nara bangun pagi-pagi. Aku bisa dengar suara langkahnya dari kamar.
Dia menyapu lantai, lalu memanggil namaku,
“Milo, sini, makan dulu.”
Aku datang, pelan, walau langkahku berat.
Dia menaruh makananku di mangkuk kecil warna kuning — mangkuk yang sudah tergores di pinggirnya, tapi masih kupakai sejak aku kecil.
Aku makan sedikit. Setelah itu, aku duduk di dekat pintu dan menatapnya.
Dia sudah besar sekarang. Rambutnya diikat, wajahnya tenang.
Kadang aku masih sulit percaya kalau ini anak yang dulu suka nangis sambil peluk aku di bawah meja.
“Kamu masih suka duduk di situ ya,” katanya sambil ketawa kecil. Aku mengeong pelan. Ya, karena dari situ aku bisa lihat semuanya.
Hari itu cuacanya panas sekali.
Nara duduk di ruang tamu sambil baca buku, dan aku berbaring di karpet dekatnya.
Suara kipas muter pelan, dan aku bisa denger burung di luar jendela.
Aku mulai mengantuk. Entah kenapa, kali ini rasanya beda. Bukan kayak tidur biasa. Lebih tenang, lebih dalam.
Aku dengar suara Nara memanggilku, tapi suaranya jauh sekali, seperti datang dari mimpi.
“Milo? Hei, kamu tidur ya?”
Aku ingin buka mata, tapi rasanya berat. Aku masih bisa rasakan tangannya menyentuh kepalaku. Hangat, seperti dulu.
Aku ingin bilang, aku di sini kok, Nara, tapi suaraku nggak keluar.
Lalu semuanya perlahan jadi hening. Udara di sekitar terasa ringan. Aku nggak sakit lagi. Aku nggak lelah lagi.
Tapi aku mendengar suara Nara menangis pelan. Dia memeluk tubuhku, dan aku bisa rasakan air matanya jatuh di buluku.
“Terima kasih, Milo,” katanya sambil terisak. “Kamu sabar banget, ya.”
Aku ingin bilang “iya,” tapi yang keluar cuma keheningan.
Dan itu cukup. Karena dia tahu.
Ibu datang dan memeluk Nara.
Mereka berdua duduk lama di lantai ruang tamu, nggak bicara banyak.
Hanya diam tapi aku tahu mereka saling mengerti, sama seperti dulu waktu aku hanya bisa diam tapi mereka paham maksudku.
Beberapa hari kemudian, Nara menanam bunga kecil di halaman belakang. Di bawahnya ada batu kecil dengan tulisan cat tangan:
“Milo — teman baik, penjaga rumah, dan keluarga.”
Setiap sore, dia duduk di sana sambil cerita ke Ibu. Kadang mereka tertawa, kadang mereka diam. Tapi sekarang, diamnya bukan karena sedih — lebih seperti lega.
Rumah biru itu akhirnya benar-benar tenang. Tidak ada teriakan, tidak ada ketakutan.
Hanya suara angin, tawa kecil, dan kenangan yang tinggal dalam bentuk bunga.
Dan aku;
aku tetap di sini, dalam setiap sudut rumah ini.
Bukan untuk menjaga lagi, tapi untuk memastikan mereka tahu: kadang, kita tidak perlu melakukan apa-apa untuk membantu seseorang.
Cukup bertahan, cukup menunggu, cukup ada.
Dan aku sudah melakukannya.
*****

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.
