Majalah Sunday

Sebuah Cerpen - Aku Benci Papaku, Tapi Aku Butuh (Uang) Dia

Penulis: Afifah Fayza- UKI

Keluarga yang Terlihat Sempurna

Deni, mahasiswa pertama di salah satu Universitas di Surabaya. Deni tumbuh di keluarga yang dari luar kelihatan bahagia banget. Rumah besar, mobil di garasi, makan malam lengkap tiap minggu. Papanya pengusaha sukses di Surabaya, mamanya ibu rumah tangga yang lembut dan selalu nyiapin sarapan jam enam pagi.

Tapi di balik semua itu, hubungan mereka dingin. Papa sibuk, Mama sering diam, dan Deni udah lama ngerasa kayak hidup di rumah yang nggak punya suara selain bunyi sendok dan piring.

Deni tahu papa selingkuh dan disuap agar diam. Aku Benci Papaku, Tapi Aku Butuh (Uang) Dia kisah tentang uang, rahasia, dan hati yang hancur.

Pesan yang Mengubah Segalanya

Malam itu Deni lagi ngambil satu amplop cokelat berukuran besar untuk keperluan dia ngasih berkas ke kampus, tapi tiba tiba Deni ngeliat notif pesan masuk dari hp papa nya — foto, emoji hati, dan nama perempuan yang nggak asing.

Satu detik cukup buat semua rasa percaya itu hancur. Tangannya gemetar, matanya panas. Ia pengen marah, tapi yang muncul cuma diam. Diam yang lama, berat, dan nyakitin.

Beberapa hari kemudian, Deni dipanggil ke ruang kerja.

“Kamu udah tahu, ya?” kata Papa datar.

Deni cuma angguk pelan. “Deni, kadang hal-hal di dunia orang dewasa itu nggak sesimpel yang kamu pikir.”

Papa narik laci, keluarin amplop tebal. “Anggap aja bonus.”

Deni nggak jawab, tapi malam itu dia buka amplopnya, dan di dalamnya ada uang yang cukup buat hidup dia sampe naik semester dua. 

Uang yang terasa kayak racun

Senyum yang Mulai Palsu

Hari-hari berjalan, tapi semuanya aneh.

Papanya jadi lebih perhatian, nanya kabar kuliah, ngajak makan bareng, bahkan beliin motor baru, tapi setiap kali Deni terima sesuatu dari Papa, hatinya kayak ditampar rasa malu. Di tongkrongan, temen-temennya bilang,

“Enak banget, Den, bokap lo royal banget.”

Deni cuma ketawa kecil. Mereka nggak tahu, kalau setiap rupiah yang dia pegang terasa kayak beban.

Tatapan di Meja Makan

Lama kelamaan, mamanya mulai curiga. Deni yang awalnya gapernah minta apa apa, tapi sekarang apa yang dia minta selalu di turutin.

“Kamu kenapa akhir-akhir ini kadang dingin banget sama Papa, tapi kadang akrab banget juga?”

Deni hampir buka semuanya, tapi papanya datang. Tatapan matanya tajam, kayak ngingetin untuk diam.

Beberapa hari kemudian, saat makan malam, suasana hening.
Makanan nggak tersentuh, dan Deni akhirnya buka suara

“Aku tahu semuanya.” dan mulai menceritakan dari Sabang sampai Merauke.

Piring jatuh, sendok bergetar. Papa membeku, Mama cuma bisa nangis tanpa suara.

Rumah yang Tak Lagi Sama

Setelah malam itu, semuanya berantakan.

Papa marah besar, Mama nggak berhenti menangis. Deni mutusin pergi dari rumah beberapa hari tanpa ada yang tahu dia dimana.

Waktu dia balik ke rumah, rumahnya udah sunyi. Papa tetap menyangkal di depan publik bahkan Papa memilih diam soal selingkuhan nya juga di depa Mama, dan Mama? Mama jadi jauh memilih diam dan ngurung diri.

Nggak ada lagi sarapan jam enam pagi. Nggak ada lagi makan malam keluarga. Yang tersisa cuma sisa-sisa kehangatan yang udah dingin.

Di kamarnya, Deni nulis di jurnal:

“Diam memang bisa dibayar, tapi tenang nggak bisa dibeli. Aku milih hidup dengan luka yang nyata daripada bahagia yang palsu.”

Dia tutup bukunya pelan.

Mungkin malam itu, untuk pertama kalinya, Deni benar-benar jujur  bukan ke orang lain, tapi ke dirinya sendiri.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Post Views: 2