Majalah Sunday

Sebuah Asa

Sebuah hubungan memang bersifat mengikat. Namun, bukan berarti kita terkekang dari dunia dan seisinya. Begitu pula dengan Linda yang sangat mencintai Ari. Mereka menjalin hubungan sudah cukup lama. Linda seorang pekerja paruh waktu, dan Ari yang seorang pekerja sukses, yang memiliki sedikit masalah dengan pekerjaannya saat ini. Dengan kesibukannya itu mereka tetap saling melengkapi dan tetap saling mencumbu, dalam keterikatannya itu.

“Aku dikeluarkan dari pekerjaanku, mungkin kita akan mengurangi pertemuan kita. Atau bahkan tidak sama sekali.” Linda terkesiap, benar saja, sepertinya permasalahan yang sedikit itu kini memburuk. Ya, Ari baru saja dikeluarkan dari pekerjaannya, pekerjaan yang menjadi satu-satunya penghasilan untuk mencumbu sang kekasih setiap pertemuannya. “Bagaimana bisa? Kamu tidak pernah menceritakannya kepadaku!” Kesal Linda.

“Aku rasa ini hanya masalah kecil yang tak perlu kamu tahu,” ucap Ari.

“Masalah kecil tak seharusnya sampai membuatmu dikeluarkan,” balas Linda.

Ari hanya terdiam, ia sedang memikirkan bagaimana kelak membayar biaya sewa rumah. Wajar, dia seorang perantau yang sukses, sebelum dikeluarkan seperti ini. Mungkin tabungannya cukup untuk dua bulan ke depan, namun tidak termasuk biaya makan ayam goreng balado kesukaannya. Satu-satunya cara adalah pulang. Pulang ke kampung halaman yang selama ini telah ia tinggalkan sejak lama.

“Sepertinya sementara aku akan pulang ke kampung halaman Lin,” tutur Ari dengan terbata-bata.

“Lalu bagaimana dengan hubungan kita? Apa akan berakhir begitu saja?” tanya Linda.

“Ti-tidak, kita akan tetap berhubungan, kita kan bisa berkirim surat,” jawab Ari gugup.

Mata Linda mulai berkaca-kaca, aku tidak bisa jika berhubungan jauh seperti ini, dalam benaknya. Ia terus berpikir dan terus. Ia berpikir bagaimana semua ini akan berakhir. Dua hingga tiga tetes air matanya telah jatuh, ia bingung dengan semua keadaan ini. Akhirnya ia memberanikan diri untuk menyatakannya.

“Aku tidak bisa Ri, aku tidak bisa berhubungan jarak jauh seperti itu,” ucap Linda.

“Lalu?” tanya Ari yang seakan tak percaya dengan keputusan Linda.

“Kita akhiri saja hubungan ini, mungkin memang sudah akhirnya,” jawab Linda.

Semua hening, lebih hening dari kesunyian malam tanpa sinar bulan. Mereka pun mengakhiri pertemuan mereka. Saling membelakangi, melangkah masing-masing, dan tanpa mereka sadari kini langkah itu menciptakan kenangan. Mereka kian menjauh, lalu akhirnya menghilang ditelan oleh batas-batas.

Mereka pun mulai melanjutkan kehidupan mereka, Linda yang semakin fokus dengan pekerjaannya sebagai karyawati disebuah perusahaan, lalu Ari yang kini sedang dalam perjalanan menuju kampung halamannya di Jawa sana. Mereka mulai membangun kembali perasaan mereka masing-masing. Membuat suasanannya masing-masing. Semuanya serba masing-masing, karena jelas mereka kini telah berpisah jauh.

Bukan sebulan dua bulan mereka berpisah, melainkan hingga dua tahun. Ketika semua sudah mulai terbiasa dan tak lagi sama. Sepulang dari berkerja, Linda menerima surat, dari tempat yang samar-samar pernah ia dengar, Oh iya, ini kampung halamannya Ari, ucapnya dalam hati. Surat tersebut berisi.

“Hai lin, apa kabar? Apa kau masih mengingatku? Semoga saja seperti itu.”

Seketika semua kenangan yang telah terpendam dalam, bukan main dalamnya, kini dikit demi sedikit mulai muncul ke permukaan. Linda bingung harus balas apa, atau ia tak perlu membalasnya? Hingga keeseokan harinya ternyata linda memberanikan diri membalas surat Ari,

“Tentu aku masih ingat, kabarku baik di sini. Bagaimana dengan kabarmu? Kerja apa kamu saat ini?”

Kini surat itu tengah dalam perjalanan menuju kampung halaman Ari. Kurang lebih lima hari surat itu sampai di pelataran rumah orang tua Ari, ya memang waktu yang cukup lama. Ari hanya tersenyum manis, diiringi kenangan lama yang mulai muncul kembali. Namun, dengan segera ia tidak memedulikannya. Mencoba kembali memendamnya dalam-dalam.

Ari pun dengan segera membalasnya, begitu sebaliknya. Lalu, kini mereka lebih sering berbalas surat, lebih dari cuci pakaian setiap Minggunya. Linda menceritakan kehidupannya di kota dan pekerjaannya, yang kini ia baru saja naik pangkat, dan Ari yang menceritakan usahanya kini makin maju dan banyak memiliki pelanggan. Menurut linda semuanya kembali seperti dahulu, semuanya sama, tak lagi berbeda. Namun, tidak demikian dengan Ari…

“Sudah kedua kali, Ari telat membalas suratku. Apa dia sedang sibuk ya. Atau kantor pos yang sedang penuh. Entahlah.” Linda merenung. Lagi, lagi, dan lagi Ari semakin sering telat membalas surat. Linda merasa gelisah pun khawatir, wajar, kini perasaannya sama seperti yang dua tahun lalu.

Tiba akhirnya Ari tak membalas lagi surat dari Linda. Juga akhirnya, Linda benar-benar merasa digantung, menunggu surat yang entah dikirim atau tidak oleh Ari. Semuanya menjadi tidak fokus, pikiran dan pekerjaannya menjadi kacau. Kini yang diingat hanya Ari. Ya, Ari seorang, orang yang membuatnya tidak bisa tidur dan menonton dengan tenang.

Akhir tahun pun tiba, Linda mendapat cuti sekitar 5 hari. Tidak begitu lama namun cukup untuk memberanikan diri, mengunjungi Ari di ujung sana. Ya kalian tak salah membaca, Linda sudah tak kuat menanggung semua kegelisahannya. Ia pergi ke Jawa sana dengan alamat yang tertera pada surat, surat terakhir yang dikirim oleh Ari. Tak hanya berbekal alamat di surat, namun ia juga membawa makanan dan minum secukupnya.

Ia pergi ke sana menggunakan kereta, malam-malam yang ia lewati kini bisa tidur tenang. Bagaimana tidak, sebentar lagi ia akan menemui sang pujaan, Ari. Stasiun demi stasiun ia lewati. Tak banyak stasiun yang dilewati, karena ini kereta lintas provinsi. Sesampainya di sana, ia tak langsung istirahat melainkan langsung sibuk mencari kendaraan umum, yang menuju kampung halaman Ari.

Singkat cerita, yang sebenaranya tidak begitu singkat. Ia sampai di depan rumah yang konon katanya, adalah rumah Ari.

“Permisi! Selamat siang!” tegur Linda, seraya berharap balasan.

Keluarlah seorang wanita cantik yang menggunakan kerudung tengah menggendong anak kecil yang amat lucu.

“Iya, siang. Dengan siapa ya?” jawab wanita itu.

“Saya Linda, teman Ari dari kota,” ucap Linda.

“Oh temannya mas Ari, bentar ya saya panggilkan dulu,” lanjut wanita itu.

Sebelum wanita itu masuk, dengan wajah penasaran, Linda memberanikan diri untuk bertanya bahwa siapa wanita ini gerangan.

“Ohiya, kalo boleh tau. Mba ini siapanya Ari ya?” tanya Linda dengan rasa takut.

“Kebetulan saya istrinya dan ini anaknya,” jawab wanita itu sambil melanjutkan masuk ke dalam rumah.

Seketika ada petir yang menyambar hati Linda. Semua kenangan indah yang ia harap bisa terulang kini runtuh. Tak ada lagi senyum dibibirnya. Yang tersisa hanya tangis yang mulai menetes, dan kini sudah membasahi pipi. Ia sangat tak percaya dengan semua ini.

Ari keluar, dan tak ada seseorang pun disana. Hanya angin yang terasa lebih dingin dari biasanya.

“Aku harap dia mengerti..” ucap Ari.

 

Oleh: Mochamad Fahriza, Universitas Negeri Jakarta.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?