Majalah Sunday

Sebab Aku Orang Tengah

Penulis: Wafiq Azizah – Universitas Negeri Jakarta

Sudah dua jam berlalu setelah Saras ditemani kedua orang tuanya membuka laman pengumuman penerimaan pendaftaran kuliahnya. Warna biru ditempatkan di paling atas laman itu, tanda ia telah diterima. Betapa tak terkontrolnya senyum semringah gadis bernama lengkap Sarasvati Laila itu sejak tadi. Sekarang—masih dengan senyum semringah di wajahnya—ia beranjak untuk mencangklongkan handuk sebelum mandi.

Sebelum kakinya benar-benar sampai, ia mendengar orang tuanya berbicara. Tak ada yang menarik perhatian Saras sampai ibunya menyebutkan namanya.

“Tapi susah, Pak, kalau Saras ….”

Suara ibunya masih sayup-sayup terdengar. Saras pun berhenti ketika ia melewati kamar bapak dan ibunya. Gendang rungunya sengaja ia fokuskan. Ia mendekatkan kepalanya ke celah pintu yang terbuka.

“Kalau dia nge-kos, emangnya cukup buat biayain Khei sama Pita? Kuliah Khei sebentar lagi lulus, loh, Pak. Pita juga mau masuk SMA.”

“Jadi maksud Ibu, kita prioritasin Khei sama Pita?”

Ada jeda sedikit di antara percakapan mereka. Saras masih dengan bersabar menunggu kelanjutan percakapan itu.

“Yaaa, nggak juga sih, Pak. Kuliah Saras masih aman buat sekarang. Saras masih bisa ngajuin beasiswa, ‘kan?” Nada ibunya berubah mencoba untuk meyakinkan. “Pita itu loh, Pak. Kebutuhannya pasti banyak, belum beli seragam, buku, dan buat uang muka. Khei juga sama, masih harus siapin uang wisuda dia nanti.”

“Iya juga, sih, Bu. Yasudah nanti Saras kuliahnya pulang-pergi aja. Berat di ongkos transportasi, tapi lebih berat lagi kalau nge-kos. Masih bisa dibantu sama beasiswa Saras nanti kalau dapat.”

Hati Saras teriris mendengarkannya. Matanya seakan hendak mengundang pilu. Gadis itu tak tahu harus bagaimana. Selepas ini, ia tutup lumat-lumat telinganya karena tak ingin mendengar sepatah kata pun yang keluar baik dari mulut bapaknya maupun ibunya. Saras pun membalikkan badannya dan meneruskan niatnya untuk mandi. Sayangnya, pikirannya sekarang semakin jenuh. Seperti ia dihantam bebatuan kenyataan. Ia mandi, tetapi matanya entah melihat ke mana. Tangannya mengambil sampo, tetapi isinya malah ia tuangkan ke wajah.

***

Saras frustasi setengah mati. Ia siap mengubur dirinya sendiri kala berhadapan dengan bapak dan ibunya nanti. Ada sekitar 10 beasiswa, 2 di antaranya dari pemerintah, dan 8 beasiswa lainnya yang merupakan beasiswa swasta, tetapi seluruhnya tidak berhasil Saras dapatkan.

Setelah berkutat pada laptopnya dalam beberapa saat, Saras akhirnya keluar dari kamarnya. Matanya memandangi seluruh sudut ruang keluarga. Ibunya sedang menonton TV seraya memotong kangkung, bapaknya sedang menyemir sepatu kerjanya, dan Pita sedang menyampul buku tulisnya. Tidak ada abangnya, Khei, karena seingat Saras abangnya itu belum kunjung pulang dari indekosnya.

Saras mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk membuka mulut dan berkata, “Saras nggak dapet beasiswanya.”

Tangan ibunya sontak berhenti memotong kangkung, begitu pula bapaknya yang menjatuhkan sepatu kulit dari tangannya. Maka sebelum di antara keduanya memberikan respons, Saras lebih dulu menjelaskan.

“Sebagian nggak diterima karena Bapak itu PNS. Sebagiannya lagi nggak diterima karena rumah kita terlalu bagus untuk disebut kalangan tidak mampu.”

Rupanya, Saras telah menduga yang ingin dikatakan bapak dan ibunya. Ketika ibunya mulai berteriak dan melontarkan amarah, Saras berusaha untuk mengosongkan pikiran dan medan rungunya.

“Lagian, kamu, sih! Sudah ibu bilang kalau kamu nggak usah terlalu jujur. ‘Kan, imbasnya di kamu juga, jadi nggak dapet! Jangan salahin bapakmu yang PNS! Kalau kamu nggak kuliah—nging.

Suara ibunya yang tadinya memenuhi atmosfer rumah berubah menjadi dengungan yang Saras sendiri tak bisa menerka datang dari mana asalnya. Saras menatap ibunya, terlihat ibunya masih berteriak. Berkali-kali ibunya memukul gagang pisau pada lantai karena marah. Pandangannya kemudian beralih kepada bapaknya yang berdiri mengambil remot dan mematikan TV.

Dengungan di telinga Saras masih berdenyut panjang. Lama-kelamaan dirinya merasakan pusing. Kakinya yang semula terpaku di depan pintu kamar, kini berjalan sendiri kembali ke dalam kamar. Suara dengung nyaring perlahan hilang seiring dirinya yang kini berdiri di depan kaca.

Gadis itu nampak kucel dengan mata bengkak. Rambutnya yang dikuncir semula rapi kini amburadul. Sementara itu, bajunya di sisi kanan agak turun. Baru ia ketahui, usahanya mencari beasiswa bagai dimasak dengan profesional sebelum dimuntahkan sekeji-kejinya. Ia pandangi refleksi sosok di depannya itu, sedangkan genangan air mulai merembes di pelupuk matanya.

***

Bukan salah Saras sekarang ia masih bisa berkuliah tetapi rasanya ia menopang seluruh beban hidup di pundak pada wujud gadis yang belum genap dua puluh tahun. Uang kuliahnya yang masuk golongan paling rendah itu hanya dibayarkan setengahnya oleh orang tuanya. Kalau tidak, orang tuanya itu akan menyumpahinya segala bentuk kekesalan yang tak pernah Saras dengar sebelumnya.

Ibu Saras akan membanding-bandingkan dirinya dengan Khei dan Pita, seolah ia memang pantas hidup tak layak. Bapaknya lebih banyak diam, tetapi ia pun juga tak bisa membantu Saras sedikit pun.

Untuk melunasi uang kuliah Saras setengahnya lagi, ia pun mencoba mencari kerja paruh waktu. Jam malam ia habiskan untuk bekerja di sebuah minimarket sebagai pramuniaga. Di masa ia menginjak semester 1, segalanya terasa sulit. Perlahan di semester 2, ia mulai terbiasa. Namun, di semester 3 ia merasa bahwa dirinya memang tidak layak untuk hidup.

Sore itu, adalah pembagian nilai UAS seluruh mata kuliah untuk semester 3. Betapa kecewanya Saras pada dirinya sendiri kala mengetahui ia harus mengulang sejumlah tiga mata kuliah. Ia harus absen berkali-kali di mata kuliah tersebut karena dirinya bangun kesiangan dan kelelahan akibat terlalu fokus bekerja. Tidak hanya itu, mata kuliahnya yang lain juga hanya memiliki nilai yang pas-pasan. Kalau begini jadinya, ia sudah siap dimarahi ibunya lagi saat pulang ke rumah.

Saras jadi takut pulang ke rumah hari itu. Ia juga tak pergi ke tempat kerjanya. Setelah ia pulang dari kampus dengan naik bus kota, ia hanya melamun sendirian di halte tempat bus menurunkan dirinya.

Walaupun ia sekarang berada di luar, tetapi relung memorinya mengingat segala yang ada di rumah. Bahwa ibunya tidak pernah mengeluhkan uang perkuliahan abangnya, Khei; bahwa ibunya tak pernah memarahi adiknya, Pita, yang meminta uang sejumlah sepuluh juta untuk pergi jalan-jalan; dan bahwa bapaknya yang dengan sedia mengantar Khei dan Pita ke mana pun mereka ingin pergi jauh.

Tengah malam di sebuah halte.

Hiruk-pikuk kota malam itu hanya menemaninya seorang diri. Kemudian dilihatnya sekitar halte, ada mobil dan motor berbagai jenis sedang berlalu-lalang di jalanan besar. Di sebelah kiri, orang-orang berbondong-bondong makan malam di sebuah angkringan. Tetiba perutnya muncul suara keroncongan. Ternyata Saras lupa untuk makan.

Ketika Saras menunduk sambil memegangi perutnya, tak sadar pandangannya terpusat pada sebuah tas jinjing hijau yang lusuh karena terinjak-injak. Di depannya terpampang tulisan, “Bantuan sosial bagi masyarakat fakir miskin.”

Saras kembali memandang ke depan, masih ada mobil-mobil dan motor-motor yang melintas di jalan. Di seberang, para gedung pencakar langit saling berderetan. Melihat perbandingan tersebut, ia baru menyadari satu hal: ia hanyalah bagian dari orang dengan ekonomi menengah, ia adalah orang tengah.

Bansos yang ditujukan kepada yang tidak mampu tidak pernah ia dapatkan, begitu pula beasiswa yang seharusnya bisa ia peroleh. Ia juga tidak pergi ke kampus menggunakan kendaraan pribadi. Rumahnya juga bukan seperti gedung pencakar langit di seberang jalan. Jika boleh dibilang, ia lebih tampak seperti orang-orang yang sedang berkumpul untuk makan di angkringan di dekat tempatnya berada sekarang ini.

Muncul nada dering notifikasi pesan di ponsel Saras. Pesan itu muncul dari Khei dan Pita yang menanyakan kabarnya. Kebetulan, Khei sedang pulang dari indekosnya selama seminggu. Hanya mereka yang mengkhawatirkan Saras. Ia coba cari pesan dari ibu atau bapaknya, tetapi tidak ada satu pun yang terlihat. Dari situ ia juga baru sadari, selain orang tengah, ia juga hanyalah anak tengah. Tak ada yang bisa menyangkal fakta itu bahkan Saras sendiri.

“Benar, sebab aku orang tengah. Semuanya akan begini-begini saja.”

***

Ketika Saras menyadari dirinya hanyalah orang tengah, ia tidak lantas menyalahkan keadaan dirinya. Selain bekerja paruh waktu, ia coba kumpulkan modal yang tersisa. Dari modal itu, Saras mulai bekerja dengan berjualan di toko daring. Bisnis yang bisa ia kerjakan kapan pun. Mulai dari berjualan stiker karakter, perhiasan buatan tangan, dan juga gantungan kunci. Halnya berbuah manis, tokonya ramai pembeli dari kalangan muda. Ia jadi tidak harus bekerja paruh waktu ketika esoknya harus pergi ke kampus di waktu pagi. Semuanya ia lakukan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui keluarganya.

Pernah ketika Saras mengabari ibunya untuk bekerja paruh waktu di minimarket, ibunya mengiyakan. Akan tetapi, ibunya meminta, “Kalau bisa, ibu bagi sedikit, ya, upah kamu. Buat beli sayur, sama buat beli sepatu baru Bapak.”

Oleh sebab hal itu, Saras tidak akan pernah mau lagi memberitahukan ibu atau bapaknya perihal uang yang ia dapatkan. Lagipula, ibu dan bapaknya tidak pernah memberikan uang untuknya berkuliah kecuali hanya cukup untuk membayar uang semesternya.

Bila nanti saatnya tiba, Saras akan menyiapkan keberaniannya untuk memberitahukan orang tuanya, termasuk memberi mereka “upah” yang pernah dipinta. Entah kapan, tapi yang jelas, ketika Saras bukan lagi bagian dari orang tengah, maupun anak tengah.

*****

Majalah Sunday, Teman Memahami Tips Belajar, Edukasi Seksual dan Kesehatan Mental

Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.

Ikutan berkarya di
Majalah Sunday

Post Views: 74
Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?