Penulis: Olivia Elena Hakim
Siapa di sini yang masih bingung akan masa depan, karena merasa belum kunjung menemukan passion hidupnya? Margaretha Ely Vera alias Kak Mage merasakan hal tersebut, apalagi saat waktunya memilih kampus dan jurusan sudah menghadang di depan mata. Panik, cemas, ovt? Simak perjalanan Kak Mage yang penuh kejutan, hingga menemukan tempatnya di Sastra Inggris UKI.
“Awalnya, aku nggak pernah terpikir untuk mengambil jurusan Sastra Inggris, nggak pernah berpikir untuk mencari tahu apa yang dipelajari di sana,” kata Kak Mage. Dia sempat terpikir mengambil jurusan lain yang terdengar “lebih keren”, seperti Kedokteran atau Hukum. Namun, keadaan membawanya “terdampar” ke Sastra Inggris di UKI.
“Ada momen struggle banget memilih jurusan dan tempat kuliah,” kenangnya. “Dulu aku ingin kuliah di universitas negeri luar kota, jauh dari orang tua. Namun, semesta tidak mendukung, orang tua tidak mengizinkan, PTN juga tidak dapat.”
“Sudah, yang dekat-dekat aja, silakan pilih jurusan yang kamu mau,” demikian pesan orang tua kala itu. Jadi ya sudah, UKI saja agar tidak merepotkan orang tua – batinnya kala itu. “Awalnya, saya ingin mengambil jurusan Komunikasi atau HI. Kebetulan, tante saya adalah alumni Sastra Inggris UKI dan kariernya bagus,” hal ini kemudian menginspirasi orang tua Kak Mage.
“Akhirnya, saya ikut dan pasrah. Saya tidak tahu Sastra Inggris akan belajar apa. Saya sebenarnya benci bahasa Inggris dulu, belajar bahasa Inggris hanya dari les waktu SD,” tutur Kak Mage.
Jika demikian, bagaimana nasib Kak Mage di UKI?
Seperti yang telah ia duga, Kak Mage mengalami masa adaptasi yang penuh tantangan di hari-hari awal berkuliah. “Semester 1-2 parah banget dan sempat minder, karena teman-teman saya ada yang sudah jago Bahasa Inggris. Jadi mereka tuh udah cukup mudah untuk mengikuti mata kuliah gitu. ”
“Aduh gimana ya mau nanya juga harus pakai Bahasa Inggris, terus ngerjain tugas, semuanya Bahasa Inggris gitu,” Kak Mage mengenang. Namun bersama dengannya, ada juga para mahasiswa yang merantau dari daerah, mungkin mereka bahkan tidak mengalami les Bahasa Inggris seperti yang Kak Mage dapat di SD.
“Nah tapi di UKI semua tuh jadi mudah. Karena kita tuh saling gitu loh. Gak ada gap antara kamu yang sudah bisa sama yang belum bisa. Dosen-dosennya juga mantap sih. Jadi walaupun misalnya ada gap nih karena ada yang dari daerah, nggak di-bully atau gimana gitu ya. Dosen-dosennya dan temen-temen tuh mendukung,” ujarnya.
Kak Mage pun termotivasi untuk tidak memusingkan grammar, dan yang penting berani untuk ngomong dulu. Para dosen pun tidak lelah memotivasi para siswa untuk jangan malu. “Apa yang jadi struggle kita jadinya terkalahkan. Dosen itu bener-bener nge-push sampai kalian mau nggak mau ngatasin tantangan!”
Setelah hari-hari berat di semester 1-2, menyesalkah Kak Mage “terdampar” di Sastra Inggris gara-gara mengikuti saran orang tua? “Memang awal kuliah, belajarnya seperti les bahasa Inggris: grammar, tenses, vocabulary. Tapi masuk semester 3, 4, dan seterusnya, aku mulai merasakan ternyata menarik juga nih Sastra Inggris.”
Apa yang terjadi? Ternyata, di tahapan itu Kak Mage mulai dikenalkan sama budaya, sejarah, dan teori-teori lainnya yang ia tidak tahu sebelumnya. “Di Sastra Inggris UKI, ada konsentrasi literatur, linguistik, dan translasi. Saya mengambil literatur, belajar tentang budaya-budaya kesusastraan. Kebetulan, saya cinta banget sama seni, jadi banyak kesinambungannya,” ujar Kak Mage.
Mata kuliah yang membuat Kak Mage jatuh cinta:
Kak Mage dan teman-temannya merupakan perintis Teater Kaki UKI, teater kampus yang masih eksis hingga kini.
Sebagai alumni Sastra Inggris UKI angkatan 2017 yang lulus pada tahun 2021, saat ini Kak Mage aktif mengajar performing arts di UPH College dan juga menjadi sutradara teater di berbagai sekolah dan universitas.
“Yang pasti, aku menyadari bahwa bahasa Inggris itu di zaman sekarang tuh penting banget. Nggak cuma soal tahu teori-teori bahasa Inggris saja, tapi untuk komunikasi di perkantoran,” tegasnya.
Kak Mage sendiri baru kurang dari setahun menjadi pengajar, sebelumnya ia kerja kantoran. Dan di sana ia mendapati, skill yang banyak banget dicari itu adalah kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris atau nggak.
“Terlebih sekarang, aku kerja mengajar di sekolah yang berbasis internasional yang sehari-hari berbahasa Inggris. Puji Tuhan, karena kuliah di Sastra Inggris, aku bisa komunikasi sama murid-murid,” ujarnya.
“Aku pernah diskusi sama teman-teman dan senior yang sudah lulus, dan ternyata kuliah Sastra Inggris itu tuh berdampak besar banget di kantor-kantor kita. Karena yang dimau oleh perusahaan-perusahaan kan, aksi nyara dari karyawan-karyawan baru. Bisa nggak kalau misalnya dikasih tugas ini? Bisa nggak kerjain proyeknya? Nah, kami di UKI yang sering mengadakan event, sudah biasa dengan itu.”
Dari kegiatan UKM saat kuliah Sastra Inggris, ternyata skill berteater Kak Mage membentuk karirnya hari ini.
Teman-teman SMA atau SMK yang masih mikir-mikir, “Oke nggak ya kalau ambil program Sastra Inggris di UKI?” Jangan takut. Kamu akan menikmati banyak pengalaman dari kegiatan-kegiatan di kampus. Selain belajar, kamu akan bisa tukar pikiran dengan sesama mahasiswa dan dosen-dosen yang gaul. Banyak program student exchange yang dibantu oleh para dosen. Kalian akan mendapatkan banyak pengalaman menarik yang bisa dibawa pada saat bekerja nanti.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, tips belajar dan cerita cinta hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.