Majalah Sunday

Saksi Mata

“Seret saja anak nakal itu ke kantor polisi! Dimata hukum, sanksi bagi orang miskin sangatlah berat. Ia lebih pantas merasakan itu, dari pada hanya pukulan dari kita!”, salah satu serigala membuka suara.

“Sebelum kita bawa ke kantor polisi, kita beri anak ini sedikit pelajaran”, serigala lain menyahutinya.

 

Prak, prak, prak…
Terdengar suara pukulan dimana-mana. Darah menetes dari hidungnya. Wajahnya yang teduh seketika berubah menjadi lebam. Warna biru tua bercampur dengan kulit tubuhnya yang berwarna sawo matang. “Ampun, Pak” ucap anak kecil itu dengan tertatih-tatih penuh kepasrahan. Tubuhnya yang mungil hanya bisa terkapar lemah, sembari memeluk tas hitam wanita berukuran sedang. Seakan tak memperdulikan kata-kata tersebut, segerombolan serigala hutan dengan ganas menggerogoti mangsanya tanpa ampun.

“Berikan tas saya!” , emosi seorang wanita tua menumpah ruah. Ekspresi kemarahan terpancar dari wajahnya. Diambilnya tas hitam yang warnanya sudah berpadu dengan warna darah sang anak. Orang-orang yang melihat tragedi itu, menambah luka batin dengan meneriakinya “Pencopet kecil, enyahlah kau!”.

Aku yang sedang berada tak jauh dari kerumunan itu merasa bingung. Sore hariku yang kupikir akan menyenangkan karena aku bisa pulang lebih awal, seketika berubah menegangkan. Aku malah melihat pertumpahan darah yang tepat berada di depan kantor tempatku bekerja. Tubuhku melemas, lututku gemetar. Aku membayangkan diriku apabila aku diposisi anak itu. Barangkali, aku sudah ingin mati saja. Mati dengan kondisi berdosa dan penuh penyesalan.

Tak berselang lama, satu persatu serigala itu mulai meninggalkan mangsanya. Aku mencoba menghampiri anak yang kondisinya kini sudah tak berdaya. “Tolong, tolong!” ku keluarkan suara lantangku. Aku teriak sekuat tenaga. Suaraku menggelegar memecah jalanan ibu kota. Aku tak peduli, jikalau aku sedang di pinggir jalan sekalipun. Banyak orang yang berlalu-lalang. Banyak orang yang memiliki telinga, tapi tidak ada satupun diantara mereka yang memiliki hati.

Kuhentikan taksi yang kulihat.

“Pak, tolong antarkan kami ke rumah sakit terdekat. Cepat ya!”. Pintaku.

Taksi yang kami naiki melintas sangat cepat, seperti sedang dalam pertarungan balap. Mungkin ia mengerti bahwa dirinya sedang membawa penumpang yang nyaris sekarat.

Begitu sampai di rumah sakit, perawat bergegas mendorong anak itu menggunakan tempat tidur pasien. Dipasangkannya alat-alat medis yang dapat membantu kehidupannya.

 

***
Setelah mengurus administrasi, aku kembali ke ruangan tempat anak itu dirawat. Aku merasa lelah sekali. Baru selangkah aku berjalan, sekejap ku mendengar suara yang terbata-bata. Suaranya sangat pelan, bahkan aku hampir saja tak menyadarinya.
“bu.. kan a..ku” ucapnya dengan mata yang masih terpejam. Tak lama kemudian, ia kembali tak sadarkan diri.

Kuhampiri dia secara perlahan, karena aku takut akan mengagetkannya. Sempat kupandangi wajahnya beberapa saat. Naluriku berkata, mana mungkin anak yang memiliki wajah tak berdosa ini berani melakukan perbuatan keji. Mana mungkin tangan lusuh yang menunjukan bahwa ia seorang pekerja keras ini berani merampas barang yang bukan miliknya. Mana mungkin. Mana Mungkin?

Kulihat jam yang menempel pada dinding diatas televisi berukuran 21 inci, waktu telah menunjukan pukul enam petang. Pandangan ku secara spontan melihat ke arah kamera pengawas yang terletak tak jauh dari jam dinding. Seakan mendapat isyarat dari tuhan, bahwa aku harus melakukan sesuatu. Ya, mengapa tak terpikirkan olehku untuk memeriksa kamera pengawas yang terpasang di depan kantorku saja? Bukankah tragedi nahas yang menimpa anak itu berdekatan dari halaman kantorku?

Aku bergegas mengambil tas dan berlari keluar ruangan untuk pergi ke kantorku lagi. Di seberang rumah sakit, aku melihat beberapa bajaj. Tanpa berpikir lama, aku segera memesannya. Sepanjang perjalanan, rasa penasaran melanda diriku. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Apakah aku menolong orang yang tepat, atau malah sebaliknya. Ah sudahlah…

Beruntungnya gerbang kantor masih terbuka lebar. Aku meminta kepada bagian pengawas CCTV untuk melihat rekaman sekitar dua jam yang lalu. Dia mengizinkannya. Ku saksikan rangkaian kejadian yang tampil pada monitor kecil itu, ku perhatikan dengan teliti detik perdetiknya.

Rekaman dimulai dengan adanya sosok anak kecil penjual bros manik-manik. Kantung pelastik bening transparan dikalungkan di pergelangan tangan kirinya. Ia terlihat kelelahan, punggung tangannya sigap mengusap keringat yang menetes dikeningnya. Ia berjalan dengan sangat berhati-hati. Pandanganku seketika tertuju pada tongkat hitam panjang yang dibawanya. Tongkat yang ia fungsikan sebagai pengarah kemana dirinya akan melangkah. Ternyata, anak itu tunanetra.

Kulihat ada lelaki berlari dengan tergesa-gesa mengarah ke anak kecil itu. Badannya kecil, posturnya tidak terlalu tinggi. Tas hitam yang sedari tadi menjadi barang bukti, ia lemparkan ke arah anak itu. Karena merasa terkejut, anak itu langsung terjatuh dengan kepala yang menunduk serta telapak tangan dan lutut yang menyentuh aspal. Barang dagangannya pun berserakan tak beraturan. Sedangkan sang pencopet dapat meloloskan dirinya dari amukan masyarakat. Kulihat segerombolan orang sudah mulai berdatangan, mengincar siapapun yang memegang tas hitam hasil rampasan. Mereka mulai menghakimi anak malang itu.

Cukuplah bagiku untuk melihat rekaman itu. Bagai mimpi buruk yang terulang kedua kalinya. Kita hidup di dunia, maka sang penghuni dunialah yang berkehendak semaunya. Tanpa mereka sadari, bahwa sang pencipta dunia sesungguhnya melihat. Melihat hambanya dan mencatat segala amal perbuatannya.

 

Oleh : Nelin Novalin, Universitas Negeri Jakarta.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Now
Selamat Datang di Majalah Sunday, ada yang bisa kami bantu?