Penulis: Salsabila Azahra – Universitas Negeri Jakarta
Aku muak. Orang tuaku selalu memaksaku mengikuti jejak mereka, jejak kakek dan nenek, pun kedua kakakku. Mereka selalu menganggap aku anak kecil yang harus dituntun. Padahal di usiaku saat ini aku sudah bisa memilih jalan hidupku sendiri. Mereka mengharuskanku terjun ke dunia politik, menjadi politikus, seperti mereka. Mungkin kurang rasanya jika tidak semua anggota keluarga berpartisipasi untuk negara.
Posisi dan jabatan. Aku tidak membutuhkan itu semua. Sejak kecil, teman-temanku tidak pernah melihatku sebagai aku. Mereka melihatku sebagai anak pejabat. Semua penghargaan yang aku dapatkan pasti disangkutpautkan dengan jabatan orang tuaku. Ibu selalu menyuruhku untuk tidak memikirkan perkataan teman-temanku dan menganggapnya angin lalu. Memang aku pun tidak pernah memusingkannya.
Beberapa waktu belakangan ini, obrolan keluarga di meja makan tidak jauh-jauh dari media sosial. Topik pembahasan yang kerap muncul di meja makan adalah sajak-sajak yang diunggah secara anonim di media sosial. Pasalnya, sajak-sajak tersebut semakin lama semakin mengerucut ke keluargaku yang sudah dikenal sebagai darah murni politisi. Sebagai penggemar sastra, kuakui sajak-sajak yang diunggah akun @SajakMenjejak bukan sekadar tulisan iseng. Penyairnya pasti juga memiliki kegemaran terhadap sastra.
“Tapi tulisannya bagus, kok.” Ucapanku mengundang tatapan semua orang yang berada di meja makan. Gelak tawa pertama kali muncul dari mulut besar kakak pertamaku.
“Kamu masih mengincar jurusan sastra? Mau jadi apa ketika lulus nanti? Sudahlah nurut saja omongan orang tua. Kami sudah menuruti keinginanmu untuk menunda kuliah. Ambil saja jurusan ilmu politik atau hukum dan setelah lulus bergabung dengan partai kakakmu.” Ayah memulai topik pembicaraan tentang karirku. Aku sudah hafal di luar kepala apa saja kalimat-kalimat yang akan muncul setelah ini. Sekali menutup telinga dari semua omongannya tidak menjadi masalah.
Televisi di depanku seperti tidak memiliki harga diri. Ia menampilkan suatu tayangan, tetapi tidak ada yang menontonnya. Aku sibuk membaca buku dan tidak ada orang lain di ruangan ini, sehingga televisi tidak memiliki teman yang benar-benar menonton pertunjukannya. Kilas berita ditayangkan di tengah-tengah iklan, seperti biasanya. Pembawa berita menyebutkan nama ayahku, aku melirik ke televisi sekejap, setelah itu fokus kembali ku alihkan ke buku. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang ayah katakan di televisi, padahal layar itu benar-benar berada di depan mataku.
“Mohon satu pertanyaan lagi, Pak. Apakah Bara, putra bungsu Bapak, akan terjun ke dunia politik dan mengikuti jejak anda, Pak?” Pandangan kembali ku alihkan ke televisi begitu mendengar wartawan mengajukan pertanyaan dengan cepat. Untuk apa wartawan menanyakan kehidupan pribadi anak dari orang yang sedang ia wawancarai?
“Ya, ya, dia sudah bilang akan terjun ke dunia politik. Memang sejak dulu dia sudah bercita-cita meneruskan jejak keluarganya yang berkecimpung di dunia politik ini.” Minat membacaku turun dengan cepat. Buku yang sedari tadi berada di tangan menjadi korban atas kemarahanku. Sekarang ia tergeletak mengenaskan di lantai kamar yang dingin. Bukannya aku sombong atau meninggikan namaku. Tetapi aku yakin beberapa saat lagi bermunculan berita dan perkataan orang-orang yang tidak mengenakkan.
Benar saja, kini namaku bersanding dengan nama ayah di setiap judul berita. Sajak-sajak dari akun @SajakMenjejak kembali bermunculan. Tertawa getir aku membacanya, tidak ada yang salah dari sajaknya.
“Ayah sudah bilang di media kamu akan terjun ke dunia politik. Jangan mempermalukan ayah dengan memilih jalan lain!” titah ibu dengan tegas. Ia seakan tidak menerima bantahan apa pun. Padahal aku yakin sekali, tidak akan ada yang peduli jika aku tidak mengikuti jejak keluarga.
Semakin lama ayah semakin memaksaku untuk mendalami dunia politik. Sebelumnya aku masih bisa bernafas dengan sedikit tenang. Namun, saat ini benar-benar membuatku sesak. Setiap ada kesempatan, ayah selalu membahas tentang politik bersamaku. Herannya kesempatan itu datang setiap hari.
Lama-kelamaan, sajak-sajak yang diunggah akun itu tidak lagi berima seperti kebanyakan sajak. Kalimat-kalimatnya semakin frontal dan tidak memikirkan estetika. Mungkin ayah sudah mencapai puncak kesabaran, dia memang selalu memaksakan kehendaknya, tetapi ayah tetaplah kepala keluarga yang tidak terima kalau keluarganya dihina. Ia menyuruh tangan kanannya untuk melacak siapa bajingan yang berlindung di balik akun tersebut.
“Aku sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, bahkan sejak aku kecil pun kalian sudah sering mendengar perkataanku yang satu ini.” Sebelum orang kepercayaan ayah mengungkapkan siapa orang di balik akun itu, aku terlebih dahulu mengumpulkan keberanian untuk menegaskan sekali lagi bahwa aku tidak ingin berada di dunia politik.
“Aku suka membaca, aku suka membuat karya tulis, dan aku rasa jalan yang tepat untukku adalah dunia sastra, bukan dunia politik seperti yang selama ini kalian lakukan,” perkataanku terpotong oleh ketukan dari pintu ruang kerja ayah, orang kepercayaannya ternyata. Ia membuat keberanian yang telah aku susun menjadi berantakan, tidakkah ia melihat sedang terjadi percakapan serius antara ayah dan putra bungsunya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia segera memberikan diska lepas ke meja. Ayah menyambungkannya ke komputer. Selama beberapa saat jarinya berkutat di papan pengetik, matanya terpaku ke layar. Beberapa detik kemudian, bola matanya membesar. Ayah menemukan fakta bahwa orang di balik akun @Sajak Menjejak adalah putra bungsunya sendiri, aku. Pipi sebelah kiriku terasa begitu panas sesaat setelah telapak tangan ayah mendarat dengan sukses.
“Sejak awal aku sudah bilang sama sekali tidak ingin turun ke dunia politik sama seperti kalian. Tapi kalian tidak mendengar ucapanku. Kalian tidak mempercayaiku memilih jalan untuk diriku sendiri. Aku terbiasa dilatih untuk menutup mulut, mulutku ini tidak bisa berbicara. Jadi aku menggunakan jari untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan.”
Setelah aku menutup mulut saat itu, semua terasa cepat berlalu. Kedua orangtuaku mengizinkanku untuk memilih jalan hidup sesuai dengan keinginanku. Mereka tidak lagi ikut campur dengan apa yang aku pilih. Dan di sinilah aku sekarang, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, jauh dari tempat asal, dan yang lebih penting jauh dari politik. Katakan saja mereka membuangku, tetapi setidaknya aku bebas di sini, aku bisa membuka mulut kapan pun aku mau, aku bisa bersuara sesuka hatiku.
*****
Dapatkan informasi mengenai kesehatan mental, edukasi seksual, dan tips pelajar hanya di Majalah Sunday, teman curhat remaja Indonesia.